Paradoks Pemberontakan Libido: Deseksualisasi Seks
"Sex is missing, it's because we have too much sex this day.”
—Jean Baudrillard
Revolusi seksual yang seringkali dianggap sebagai sebuah pelepasan belenggu represifitas, ternyata juga tidak melulu sempurna. Represi masih ketat berlangsung di tengah-tengah masyarakat yang dianggap telah membebaskan seks. Seks justru menjadi sebuah industri baru yang terang-terangan. Dan dalam dampak lainnya, seks tidak lagi bersifat privat, melainkan publik. Seks bukan lagi sekedar keintiman terdalam dari dua orang manusia. Seks yang berkekuatan sangat dahsyat menjadi lepas tak terkendali. Masalahnya, dalam seks yang meninggalkan posisi sebagai bentuk keintiman sebuah relasi, ia memaksa manusia untuk menjadi pribadi-pribadi eksibisionis.
Eksibisionis di sini bukan sekedar dalam artian seseorang yang gemar mempertontonkan alat kelaminnya pada publik seperti yang dipahami oleh banyak orang. Eksibisionis di sini ialah dalam artian bagaimana seorang individu bukan lagi mempertontonkan ketelanjangannya, melainkan individu yang mendapat kenikmatan saat dirinya ditonton. Ini terlihat jelas dalam dunia mode fashion. Mode bermain-main dalam batas-batas imajinasi—ia mempermainkan imajinasi. Orang tidak perlu lagi telanjang, tapi ia justru memainkan fantasi ketelanjangan. Orang juga berlomba-lomba untuk tampil seksi—tak peduli perempuan atau lelaki. Batasan-batasan tentang keseksian juga mulai dibentuk dalam masyarakat industri. Perhatikan saja iklan di televisi, perempuan yang seksi adalah mereka yang berambut hitam dan berkilau, serta menggunakan ponsel keluaran terbaru. Sementara lelaki, adalah mereka yang menenggak minuman penambah energi, menghisap rokok merk tertentu atau seperti yang dikatakan oleh salah satu iklan, "Kerempeng, mana keren?"
Pribadi-pribadi eksibisionis ini jelas menjadi cenderung narsistis. Ia memuja dirinya, bukan lagi sekedar merayakan tubuhnya. Ini juga diperparah oleh kondisi masyarakat urban modern yang telah memilah-milah manusia menjadi individu-individu yang terpecah dan tercerabut dari komunitasnya—dengan ilusi-ilusi individual yang ditawarkan oleh industri media seperti slogan "Gue banget." Ia juga dibentuk oleh lingkungan terdekatnya semenjak kecil dalam tipe keluarga nuklir yang teratomisasi, yang ironisnya justru menjadi tipe keluarga ideal masyarakat modern. Bagi pribadi-pribadi narsistis, mengutip kata-kata Erich Fromm, sebagai manusia yang hanya mementingkan "perasaannya, pikirannya, semangatnya, keinginannya, tubuhnya, keluarganya, pendeknya semuanya, yang merupakan adanya dan (dianggap) miliknya." Apa yang ada di luar dirinya adalah sesuatu yang sama sekali tidak penting. Ia tidak pernah menilai dirinya dari berbagai sudut pandang, tapi ia hanya menilai dirinya, dari dirinya sendiri dan terlepas dari segala sesuatu di luar dirinya. Hasil akhirnya mudah ditebak: individualisme yang terlepas dari komunitas, konsumerisme, luxurisme. Alienasi total. Ia hanya melihat segala sesuatu dari kenikmatan yang diperoleh dirinya, apabila sesuatu hal dianggap tak membuatnya nyaman, maka hal itu yang salah. Ia tak pernah melihat bahwa ada kemungkinan dirinyalah yang bermasalah.
Seks yang terpublikkan secara otomatis juga merajai ruang publik, telah mentransformasikan orgasme dalam segala bentuknya, ia telah mulai menghancurkan nilai kebebasan yang semula diusungnya. Di Jerman, ada sebuah pepatah yang berkata, die Vergesellschaftung des Orgasmus atau dengan kata lain: pemasyarakatan orgasme. Segala hal menjadi satu. Uang, materi dan seks, telah menjadi satu dalam satu tujuan: orgasme. Konsekwensinya, materi dan uang bisa ditawarkan dengan efektif, bila ia disatukan dengan seks. Ini jawaban mengapa iklan mobil mewah seringkali diembel-embeli dengan perempuan seksi, mengapa industri rokok menjajakan produknya dengan memanfaatkan perempuan-perempuan cantik dan seksi, begitu juga dengan produk lainnya. Lelaki dipaksa bekerja untuk mampu mengkonsumsi suatu produk, sementara perempuan dipaksa bekerja untuk menjajakan suatu produk. Dan keduanya diikat oleh kehausan (yang tersamarkan) untuk orgasme. Tatanan ideal masyarakat konsumer.
Pada gilirannya, revolusi seksual yang disuguhkan masyarakat industri justru telah mendeseksualisasikan seks.
Seks tidak lagi dinikmati dan dipahami sebagai seks. Seks kini dinilai dan ditemukan dalam sebuah produk. Seks menjadi kehilangan keutuhannya, ia telah terfragmentasikan. Kini, orang semakin haus akan orgasme yang mendalam, yang terus dicari melalui konsumsi segala hal, dari konsumsi produk yang tak terkait langsung dengan seks, maupun produk seks seperti alat-alat bantu seks, mode-mode seksi dan erotik, tawaran-tawaran entertainment seksual dan lain sebagainya. Tidak heran apabila lantas tabloid-tabloid yang belum lama ini marak dan memiliki oplah penjualan yang tak pernah surut, adalah tabloid yang bertemakan seks. Problemnya, semakin kedalaman orgasme itu dicari melalui seluruh produk tersebut, semakin ia menjauh. Tanpa sadar, seks telah menghilang dan memudar. Dan hal ini terjadi di tengah kondisi yang semakin permisif terhadap seks. Saat energi seksual dilepaskan tanpa kendali sama sekali dan diinkorporasikan dalam sebuah komoditi.
Kita semua telah memahami, saat sesuatu telah terinkorporasikan, maka sesuatu tersebut hanya dapat dimiliki apabila kita memiliki uang. Demikian juga dengan seks. Tanpa uang, tak akan ada seks.
Inilah paradoks yang lahir dari jalan panjang pembebasan sejak meletusnya pemberontakan libido: libido kini terpenjara dalam kapitalisme. Dan jelas, bahwa pembebasan seksual dalam masyarakat industri tidak memberikan jalan menuju pembebasan, ia hanya mengembalikan seks ke bawah represi seperti yang dialaminya di bawah kekuasaan otoritarian agama di abad-abad sebelumnya.
"Sex is missing, it's because we have too much sex this day.”
—Jean Baudrillard
Revolusi seksual yang seringkali dianggap sebagai sebuah pelepasan belenggu represifitas, ternyata juga tidak melulu sempurna. Represi masih ketat berlangsung di tengah-tengah masyarakat yang dianggap telah membebaskan seks. Seks justru menjadi sebuah industri baru yang terang-terangan. Dan dalam dampak lainnya, seks tidak lagi bersifat privat, melainkan publik. Seks bukan lagi sekedar keintiman terdalam dari dua orang manusia. Seks yang berkekuatan sangat dahsyat menjadi lepas tak terkendali. Masalahnya, dalam seks yang meninggalkan posisi sebagai bentuk keintiman sebuah relasi, ia memaksa manusia untuk menjadi pribadi-pribadi eksibisionis.
Eksibisionis di sini bukan sekedar dalam artian seseorang yang gemar mempertontonkan alat kelaminnya pada publik seperti yang dipahami oleh banyak orang. Eksibisionis di sini ialah dalam artian bagaimana seorang individu bukan lagi mempertontonkan ketelanjangannya, melainkan individu yang mendapat kenikmatan saat dirinya ditonton. Ini terlihat jelas dalam dunia mode fashion. Mode bermain-main dalam batas-batas imajinasi—ia mempermainkan imajinasi. Orang tidak perlu lagi telanjang, tapi ia justru memainkan fantasi ketelanjangan. Orang juga berlomba-lomba untuk tampil seksi—tak peduli perempuan atau lelaki. Batasan-batasan tentang keseksian juga mulai dibentuk dalam masyarakat industri. Perhatikan saja iklan di televisi, perempuan yang seksi adalah mereka yang berambut hitam dan berkilau, serta menggunakan ponsel keluaran terbaru. Sementara lelaki, adalah mereka yang menenggak minuman penambah energi, menghisap rokok merk tertentu atau seperti yang dikatakan oleh salah satu iklan, "Kerempeng, mana keren?"
Pribadi-pribadi eksibisionis ini jelas menjadi cenderung narsistis. Ia memuja dirinya, bukan lagi sekedar merayakan tubuhnya. Ini juga diperparah oleh kondisi masyarakat urban modern yang telah memilah-milah manusia menjadi individu-individu yang terpecah dan tercerabut dari komunitasnya—dengan ilusi-ilusi individual yang ditawarkan oleh industri media seperti slogan "Gue banget." Ia juga dibentuk oleh lingkungan terdekatnya semenjak kecil dalam tipe keluarga nuklir yang teratomisasi, yang ironisnya justru menjadi tipe keluarga ideal masyarakat modern. Bagi pribadi-pribadi narsistis, mengutip kata-kata Erich Fromm, sebagai manusia yang hanya mementingkan "perasaannya, pikirannya, semangatnya, keinginannya, tubuhnya, keluarganya, pendeknya semuanya, yang merupakan adanya dan (dianggap) miliknya." Apa yang ada di luar dirinya adalah sesuatu yang sama sekali tidak penting. Ia tidak pernah menilai dirinya dari berbagai sudut pandang, tapi ia hanya menilai dirinya, dari dirinya sendiri dan terlepas dari segala sesuatu di luar dirinya. Hasil akhirnya mudah ditebak: individualisme yang terlepas dari komunitas, konsumerisme, luxurisme. Alienasi total. Ia hanya melihat segala sesuatu dari kenikmatan yang diperoleh dirinya, apabila sesuatu hal dianggap tak membuatnya nyaman, maka hal itu yang salah. Ia tak pernah melihat bahwa ada kemungkinan dirinyalah yang bermasalah.
Seks yang terpublikkan secara otomatis juga merajai ruang publik, telah mentransformasikan orgasme dalam segala bentuknya, ia telah mulai menghancurkan nilai kebebasan yang semula diusungnya. Di Jerman, ada sebuah pepatah yang berkata, die Vergesellschaftung des Orgasmus atau dengan kata lain: pemasyarakatan orgasme. Segala hal menjadi satu. Uang, materi dan seks, telah menjadi satu dalam satu tujuan: orgasme. Konsekwensinya, materi dan uang bisa ditawarkan dengan efektif, bila ia disatukan dengan seks. Ini jawaban mengapa iklan mobil mewah seringkali diembel-embeli dengan perempuan seksi, mengapa industri rokok menjajakan produknya dengan memanfaatkan perempuan-perempuan cantik dan seksi, begitu juga dengan produk lainnya. Lelaki dipaksa bekerja untuk mampu mengkonsumsi suatu produk, sementara perempuan dipaksa bekerja untuk menjajakan suatu produk. Dan keduanya diikat oleh kehausan (yang tersamarkan) untuk orgasme. Tatanan ideal masyarakat konsumer.
Pada gilirannya, revolusi seksual yang disuguhkan masyarakat industri justru telah mendeseksualisasikan seks.
Seks tidak lagi dinikmati dan dipahami sebagai seks. Seks kini dinilai dan ditemukan dalam sebuah produk. Seks menjadi kehilangan keutuhannya, ia telah terfragmentasikan. Kini, orang semakin haus akan orgasme yang mendalam, yang terus dicari melalui konsumsi segala hal, dari konsumsi produk yang tak terkait langsung dengan seks, maupun produk seks seperti alat-alat bantu seks, mode-mode seksi dan erotik, tawaran-tawaran entertainment seksual dan lain sebagainya. Tidak heran apabila lantas tabloid-tabloid yang belum lama ini marak dan memiliki oplah penjualan yang tak pernah surut, adalah tabloid yang bertemakan seks. Problemnya, semakin kedalaman orgasme itu dicari melalui seluruh produk tersebut, semakin ia menjauh. Tanpa sadar, seks telah menghilang dan memudar. Dan hal ini terjadi di tengah kondisi yang semakin permisif terhadap seks. Saat energi seksual dilepaskan tanpa kendali sama sekali dan diinkorporasikan dalam sebuah komoditi.
Kita semua telah memahami, saat sesuatu telah terinkorporasikan, maka sesuatu tersebut hanya dapat dimiliki apabila kita memiliki uang. Demikian juga dengan seks. Tanpa uang, tak akan ada seks.
Inilah paradoks yang lahir dari jalan panjang pembebasan sejak meletusnya pemberontakan libido: libido kini terpenjara dalam kapitalisme. Dan jelas, bahwa pembebasan seksual dalam masyarakat industri tidak memberikan jalan menuju pembebasan, ia hanya mengembalikan seks ke bawah represi seperti yang dialaminya di bawah kekuasaan otoritarian agama di abad-abad sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar