“...kami tidak punya rasa takut...”
Pada tanggal 18 September 1985, sebanyak 18 juta warga kota Meksiko digoncangkan kembali oleh sebuah gempa bumi yang masif. Ketika tanah mulai berhenti berguncang dan debu-debu di udara mulai menjernih, tampaklah sebuah pemandangan akan kehancuran yang total.
Di wilayah pusat kota yang padat, sekitar 10 persen dari bagian kota porak-poranda. Padatnya lingkungan Tepito, yang berada di zona gempa, membuatnya hancur berantakan. Blok-blok menara tinggi yang mengelilingi daerah tersebut telah runtuh, menjatuhi rumah-rumah yang berada di bawahnya dengan beribu-ribu ton besi dan beton. Di dalam kerusakan-kerusakan dari reruntuhan dan puing-puing tersebut, banyak orang terperangkap tidak berdaya di dalamnya.
Penyelamatan datang dengan segera. Seketika guncangan berhenti dan tanah telah tenang, mereka yang selamat dari bencana memulai usaha penyelamatan. Warga-warga terdekat yang wilayahnya tidak terkena kerusakan segera ikut membantu mereka. Dengan hanya beralatkan sekop dan tangan kosong mereka berusaha keras untuk membebaskan tetangga mereka dari reruntuhan. Mereka bekerja tanpa henti, menggali reruntuhan, menyingkirkan puing-puing yang berat demi mencari mereka yang masih selamat; banyak dari para penyelamat ini mengambil resiko yang tinggi untuk membawa orang-orang ke daerah yang aman.
Seiring dengan kerja penyelamatan yang terus berjalan, semakin banyak orang yang datang untuk membantu. Di sekitar pusat kerusakan, sebuah jaringan bantuan dan pertolongan mulai bertumbuhan. Mereka yang selamat dan tidak memiliki rumah ditampung oleh keluarga-keluarga mereka, tetangga, maupun oleh orang yang tidak mereka kenal. Makanan dan pakaian dibagi-bagikan secara gratis kepada para korban yang dilakukan oleh sebuah gerakan spontan yang mandiri dan kooperatif. Satu dari banyak contoh yang memperlihatkan solidaritas manusia yang diekspresikan oleh rakyat jelata kota Meksiko adalah ketika seorang wanita, yang begitu senangnya ketika menemukan suaminya masih hidup, memberikan semua uangnya untuk menyogok seorang polisi yang melarang seorang ibu mengubur anaknya yang telah meninggal.
Di manakah pemerintah pada saat-saat seperti ini? Ketika pasukan penyelamat pemerintah tiba, mayoritas dari korban telah diselamatkan oleh usaha masyarakat secara mandiri. Korban-korban yang masih terperangkap hanya bisa diraih dengan menggunakan alat-alat besar, masyarakat tidak dapat menyelamatkan mereka karena tidak memiliki alat-alat tersebut. Di hari-hari berikutnya, pemerintah melakukan usaha-usaha yang tidak serius dalam menanggulangi krisis yang berkelanjutan, masyarakat dapat melihat dengan jelas, jika saja segala sesuatunya dipasrahkan kepada pemerintah maka penderitaan yang dialami akan menjadi sesuatu yang lebih pelik. Dihadapi dengan ketidakefisienan pasukan pemadam kebakaran dan unit kesehatan darurat, dan tidak bergunanya polisi serta pemerintah, hanya usaha spontan dari rakyat biasalah yang dapat melakukan penyelamatan dan dukungan bagi mereka yang selamat dari bencana.
Namun media-media dunia mengabarkan sebuah cerita yang berbeda. Televisi dan koran-koran hanya menggambarkan sebuah kota yang lumpuh tak berdaya dengan korban-korban yang menderita, pasif dan terkejut; pemerintah berkata pada jurnalis bahwa “mereka berada dalam kendali penuh”. Pemerintah dan media sama-sama butanya dalam melihat kenyataan dari jalan-jalan yang porak-poranda.
Gerakan mutual aid dan solidaritas yang terbentuk setelah terjadinya gempa bumi tidak datang dari tempat lain. Bagi masyarakat kota Meksiko yang tinggal di rumah-rumah petak, gubuk-gubuk, dan daerah pinggiran, kehidupan sudah seringkali menjadi sebuah cerita panjang yang keras akan penderitaan, kemiskinan dan kekacauan. Tanpa pembentukan sebuah jaringan dukungan yang kuat dan berkelanjutan, cukup sukar dipastikan para korban bisa bertahan hidup. Pemerintah, yang hanya mengkhawatirkan untuk terus menjaga sebuah ilusi tatanan, hanya melakukan sedikit hal; malahan kalau bisa dibilang, mereka bertanggung jawab untuk meningkatnya penderitaan yang dialami oleh rakyat.
Sebelum kematiannya di garis depan Aragon tahun 1936, si anarkis Spanyol Buenaventura Durruti mengatakan hal ini ketika ia berbicara perihal subyek destruksi:
Kami tidaklah takut akan kehancuran. Kamilah yang akan mewarisi bumi; tidak ada yang perlu diragukan mengenai hal tersebut. Kaum borjuis dapat saja memusnahkan dan menghancurkan dunia mereka sebelum meninggalkan panggung sejarah. Kami memikul sebuah dunia baru, di dalam hati kami. Dunia tersebut sedang berkembang menit ini juga.
Materi diambil dari buku ANARKI: SEBUAH PANDUAN GRAFIS karya Clifford Harper
Tidak ada komentar:
Posting Komentar