Selamat Datang! | Welcome!

DALAM WAKTU YANG SEMAKIN MENDESAK UNTUK TRANSFORMASI MIMPI, DIMANA RUANG-RUANG HIDUP SUDAH SEDIKIT TERSISA UNTUK KAMI MENGKREASIKAN MIMPI. DIMANA RUANG-RUANG HIDUP BUKAN LAGI BEBAS BERBICARA TENTANG MIMPI SETIAP INDIVIDU, BEBAS MEMILIH JALAN BUDAYA-PERADABAN UNTUK SETIAP KOMUNI, NAMUN SUDAH PENUH DENGAN MIMPI-MIMPI MASSAL DAN JALAN HIDUP BUDAYA-PERADABAN MASSAL DALAM BINGKAI PERBUDAKAN MANUSIA.

IDEOLOGI, PEMERINTAHAN, PASAR, KORPORASI, STRUKTUR HIDUP DALAM SEJARAH TERCIPTA MASIH BELUM MAMPU MEMBEBASKAN MANUSIA DI ATAS ALAM YANG NETRAL INI, MAKA UPAYA-UPAYA UNTUK MENCIPTAKAN RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS ALAM INI ADALAH UPAYA PEMBEBASAN INDIVIDU MANUSIA.

INDIVIDU BUKANLAH APA YANG IA PAKAI, APA YANG IA KENDARAI, APA YANG IA PERCAYAI. INDIVIDU BUKANLAH SETIAP MASALAH-MASALAH YANG MELEKAT PADA DIRINYA, LABEL-LABEL YANG DIBERIKAN KELUARGA DAN LINGKUNGANNYA. INDIVIDU ADALAH ENERGI INDEPENDEN DALAM KETAKDEFINISIAN YANG MAMPU MEMBERIKAN API KEHIDUPAN KEPADA ALAM, DIMANA ENERGI TERSEBUT JUGA BERASAL DARI API KEHIDUPAN ALAM DAN INI DINAMAI DENGAN SPIRIT.

MAKA PEMBEBASAN SPIRIT AKAN MEMBEBASKAN DUNIA, ADALAH VITAL UNTUK MENGHANCURKAN RUANG-RUANG YANG MENDESAK. PERANG TERHADAP MANIPULASI INFORMASI, HARAPAN-HARAPAN PALSU, DAN SEGALA STRUKTUR YANG MELEMAHKAN INDIVIDU DAN MEMBANGUN KEMBALI RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS KEHANCURANNYA SAMBIL MEMELIHARA DAN MENGEMBANGKAN RUANG-RUANG BEBAS YANG SUDAH TERCIPTA.

SUDAH SAATNYA BEBASKAN SPIRITMU MAKA KAMU MEMBEBASKAN DUNIAMU! ANGKAT BERPERANG KARENA INI ADALAH MEDAN PERTEMPURAN & PERTARUNGAN SPIRITUALITAS!


FREE SPIRIT-FREE WORLD
AQUARIAN
aquarian.free@gmail.com

Kunjungi Pustaka Online Aquarian

QUOTES FOR LIFE TRANSFORMATION

Sabtu, 28 Februari 2009

Fire of Human Liberation in Greece (Heaven Storm) part 1


Format 3Gp; Size 5.36 MB; Download here!

Fire of Human Liberation in Greece 15


Format JPEG; Size 413.07 KB; Download here!

Fire of Human Liberation in Greece 14


Format JPEG; Size 470.81 KB; Download here!

Fire of Human Liberation 13


Format JPEG; Size 655.98 KB; Download here!

Fire of Human Liberation in Greece 12


Format JPEG; Size 475.69 KB; Download here!

Fire of Human Liberation in Greece 11



Format JPEG; Size 539.24; Download here!

Fire of Human Liberation in Greece 10



Format JPEG; Size 455.67 KB; Download here!

Selasa, 24 Februari 2009

FAST CRASH-Unfriendly

Artist: FAST CRASH
Entitled: Unfriendly
Format Mp3; Size 1.62 MB; Play/Download here!

BUCKSKIN BUGLE-Just be Fine

Artist: BUCKSKIN BUGLE
Entitled: Just be Fine
Format Mp3; Size 1.38 MB; Play/Download here!

Dalam Mihrab Cinta


Novelet ini adalah ringkasan atau petikan dari roman.
"Dalam Mihrab Cinta" yang sedang saya siapkan.
Sengaja saya kenalkan setengah dari alurnya kepada
pembaca agar nanti lebih familiar dan lebih mantap
dalam membaca roman "Dalam Mihrab Cinta."
Meskipun berbentuk petikan atau ringkasan, namun
roman "Dalam Mihrab Cinta" ini insya Allah sudah
menyuguhkan jalinan cerita yang utuh. Dengan novelet
ini saya mencoba menguraikan pepatah yang sangat
terkenal di tanah Jawa yaitu, "Becik ketitik olo kethoro"
(kebaikan akan tampak dan kejahatan akan kelihatan).
Saya juga mencoba mengajak para generasi muda untuk
optimis menatap masa depan.

Author: Habiburrahman El Shirazy

Format ZIP; Size 1.33 MB; Download here!

Berwisata ke Dunia Reksa Dana


Melalui buku ini, kami akan mengajak Anda berwisata menjelajahi dunia reksa
dana. Anda akan kami perkenalkan dengan objek-objek menarik seputar dunia
reksa dana. Tentu, dengan harapan, Anda akan memahami dan menikmati "betapa
indahnya" dunia reksa dana itu.

Ada tujuh kota wisata yang bakal kita singgahi, yaitu Pengenalan Konsep Dasar
Investasi; Pengertian Reksa Dana; Prospektus Reksa Dana; NAB/Unit, Hasil
Investasi dan Kinerja Reksa Dana; Pengelolaan Investasi Reksa Dana; Laporan
Kinerja Reksa Dana; Pemanfaatan dan Penjualan Reksa Dana.

Tujuan lebih jauh, kami mengajak Anda menelusuri objek-objek wisata reksa dana
adalah ingin mengubah kebiasaan Anda: dari seorang penabung menjadi seorang
investor.

Selain itu, nantinya, Anda diharapkan mampu memanfaatkan reksa dana - sebagai
wahana investasi dengan segala potensi keuntungan dan risiko - dengan bijak.
Semoga!

Author: Eko P. Pratomo

Format PDF; Size 2.17 MB; Download here!

Fire of Human Liberation in Greece 9


Photographer: Anonym

Format JPEG; Size 504.64 KB; Download here!

Fire of Human Liberation in Greece 8


Photographer: Anonym

Format JPEG; Size 353.41 KB; Download here!

Fire of Human Liberation in Greece 7


Photographer: Anonym

Format JPEG; Size 325.08KB; Download here!

Fire of Human Liberation 6


Photographer: Anonym

Format JPEG; Size 278.40 KB; Download here!

Fire of Human Liberation in Greece 5


Photographer: Anonym

Format JPEG; Size 326.79 KB; Download here!

Fire of Human Liberation in Greece 4

Photographer: Anonym

Format JPEG; Size 282.27 KB; Download here!

Jumat, 20 Februari 2009

Gerak Termekanisasi akan Membunuh Emosi


Pada akhirnya, jika kamu tidak berhati-hati, ini yang akan terjadi pada dirimu: kamu dapat menangis tanpa kontrol ketika sedang menonton film, tapi kamu tidak dapat menangis dalam kehidupan nyata.
—Adbusters, Januari 2004—
Sebermula Adalah Aku
Berangkat dari Renaisans, modernitas mulai mengarungi keniscayaan. Renaisans adalah titik tolak perkembangan sains dan teknologi, perluasan dan ekspansi perdagangan besar-besaran; sebagai pendewaan rasionalitas dalam masalah-masalah manusia. Bagi jaman modern, manusia—dengan kemampuan rasionalnya—dijadikan sebagai aku (subyek) yang sentral dalam pemecahan masalah dunia. Hal ini merupakan sesuatu yang mekanistis di mana pengertian rasional dijadikan sebagai ukuran tunggal kebenaran, dan mesin dijadikan sebagai paradigma.
Untuk mewujudkan kekuasaannya, manusia modern harus memutuskan diri dan menaklukan lingkungan sekitarnya—termasuk nilai-nilai spiritual yang eksis sebelumnya. Kehidupan manusia modern digenjot menjadi kehidupan yang terpola untuk memenuhi kebutuhan yang seketika menjadi kompleks. Hal ini secara langsung meningkatkan harapan ke tingkat yang sangat tinggi dengan di saat bersamaan menghilangkan harapan itu sendiri. Lahan-lahan yang sebelumnya kosong dibuka untuk dijadikan pemukiman, hutan-hutan digunduli untuk dijadikan jalan raya yang akan mendukung akselarasi pembangunan; alam bukan lagi sesuatu yang dikategorikan sebagai teman—seperti yang terjadi pada jaman sebelumnya—tetapi sesuatu yang seharusnya ditaklukan. Teknologi dan mesin dikembangkan lewat berbagai cara dengan kredo mempermudah hidup. Di sini masa depan adalah sesuatu yang telah diprediksikan dan dikalkulasikan secara ketat hasil-hasilnya.
Tak mengherankan jika kemudian dalam masyarakat modern segala sesuatu dimiliki dan dinamai, lalu dijadikan sebagai sebuah komoditi; barang maupun jasa yang dapat diperjualbelikan dalam sebuah pasar. Sistem ekonomi pasar, hingga saat ini, telah menjadi sesuatu yang dominan. Ia juga semakin mengambilalih segala aspek kehidupan manusia. Kerjasama secara sukarela maupun kebebasan adalah sesuatu yang harus dihancurkan untuk melanggengkan sistem ini dan digantikan dengan kompetisi yang seragam dalam berbagai variannya. Namun hal ini pun ironis dalam kenyataannya. Barang-barang dan kekuasaan tidak dapat dimiliki oleh setiap orang dan terpusat hanya ke beberapa gelintir kalangan saja.
Kini tak ada lagi hubungan yang nyata antara produksi barang dengan kegunaannya. Malahan segala produk diproduksi hanya dengan satu tujuan, yaitu menciptakan laba bagi mereka yang sama sekali tidak terlibat langsung dalam proses produksi. Hal tersebut telah menghilangkan perbedaan yang memisahkan apakah sebuah produk benar-benar dibutuhkan atau tidak. Selama sebuah perusahaan mengeruk keuntungan dan menumpuk laba, hal itu selalu saja dilakukan dan dikaitkan dengan alasan akan kontribusinya bagi peningkatan ekonomi sosial yang berpengaruh juga pada kenaikan harga barang-barang biasa (selain hasil produksi dari perusahaan tersebut). Bahkan untuk aktifitas produksi yang sebenarnya perlu dilakukan, bila dianggap kurang memenuhi standar pendapatan laba, selalu saja dianggap bukan “produk nyata”—tidak peduli seberapa berharga dan perlunya produk yang dihasilkan tersebut sebenarnya.
Pembangunan pabrik semen di sebuah kawasan pertanian, misalnya. Ia dipercayai sebagai penyuplai kebutuhan banyak orang sehingga apa pun alasan untuk menolak kehadirannya (seperti alasan pengrusakan alam dan penurunan penghasilan bagi penduduk sekitarnya) akan dieliminasi. Semen sendiri merupakan sesuatu yang dibutuhkan terus menerus hanya bagi mereka yang memiliki modal besar. Sementara bagi kebanyakan orang, kebutuhan akan semen sepertinya akan cukup terpenuhi dari produksi yang telah ada tanpa perlu penambahan jumlah pabrik maupun jumlah produksinya.
Industri, dalam paradigma modern merupakan suatu blue-print tak terelakkan. Ia bukanlah sebuah mekanisme netral di mana siapa pun yang “mengemudikannya” dapat dengan sekenanya mengendalikan laju arahnya. Industri adalah tangan kanan sebuah sistem dominatif, di mana mereka yang memiliki kapital akan mampu untuk mengumpulkan dan mendapatkan lebih banyak lagi, dengan harga yang harus dibayar oleh mereka yang tidak memiliki kapital.

Mekanisasi Hubungan Sosial
Pada sistem teknologi industrial, dalam usahanya untuk memproduksi barang dan jasa yang diperlukan, kebanyakan orang—termasuk juga diri kita—dipaksa untuk membuat diri kita menjadi sebuah komoditi: disewakan pada sebuah pasar dengan harga tertinggi. Untuk meningkatkan nilai kita dalam harga jual sebuah pekerjaan, kita harus menginvestasikan diri kita melalui bidang pendidikan. Sebenarnya hal terpenting dari diadakannya pendidikan “kemampuan bekerja” adalah untuk belajar bagaimana menerima perintah dan menjalankan tugas-tugas yang kita terima seperti sebuah robot yang tentu saja harus patuh pada perintah apa pun. Kita terpaksa melakukan hal ini karena uang dan kekuasaan tidak dimiliki secara merata oleh masing-masing dari kita tapi mereka. Dalam bekerja, kita tidak lagi mendapat kebebasan, kita tidak lebih daripada sebuah barang sewaan yang digunakan dalam sebuah sistem pengeruk laba.
Sistem industrial bukanlah sebuah entitas tersendiri yang terpisah dengan pranata-pranata sosial yang membentuknya. Ia adalah sebuah teknik, mesin, ruang, relasi, dan masyarakat yang terintegrasi, yang dirancang untuk mereproduksi hubungan sosial dan memuluskan serta memajukan eksistensinya.
Sistem industrial juga bukan sekedar alat untuk menghasilkan profit. Ia pun bertugas sebagai alat pengontrol dari kapitalis dan penguasa agar masing-masing komponennya yang terdiri dari banyak hal—termasuk manusia—dapat terus berada dalam dominasinya dan tidak memberontak.
Selain itu, sistem industrial juga menyerang sisi psikologis manusia. Orang-orang menjadi terasing bukan hanya pada alat dan hasil produksinya, tapi juga terasing dari hasrat-hasrat terdekatnya (seperi inisiatif dan daya kreatif)—semenjak sistem industrial tak akan membiarkan siapa pun untuk mereguk kebebasan di luar koridor yang telah dibuatnya. Dunia komunikasi yang sedemikian massifnya semisal telepon dan internet, telah membuat komunikasi langsung menjadi sesuatu yang tampak aneh. Orang telah sedemikian terbiasa dimediasi oleh alat-alat sehingga mengalami kegagapan saat berkomunikasi langsung. Kedudukan manusia bukan lagi sebagai tuan atas sebuah alat; ia telah bertransformasi menjadi budak dari sebuah alat. orang-orang dapat menjadi stres dan frustasi ketika tidak ada satu pun SMS atau panggilan pada handphonenya. Agar komunikasi terus berlangsung, mereka berlomba-lomba mengisi pulsa untuk terus menjaga ekstasi dari sebuah komunikasi.
Relasi sosial yang terjadi pun begitu dangkal. Orang-orang berkumpul dalam kuantitas yang sangat massif namun mereka kehilangan rasa kebersamaan dan tetap menjadi individu yang terpisah satu sama lainnya. Gairah, seperti juga hal-hal lainnya, telah kehilangan sensasinya. Keliaran dianggap sesuatu yang tidak wajar dan sebisa mungkin dihindari. Orang-orang saling menghindari konflik dan jika konflik tetap terjadi, mereka dengan sukarela akan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak-pihak lain agar ditengahi: orang-orang lebih rela membayar hansip, satpam, polisi, untuk memberi keamanan. Lebih dari itu, mereka telah menyerahkan kekuasaan hidup mereka pada sesuatu di luar dirinya.
Dorongan alamiah yang terjadi pada masyarakat industrial modern disuplai oleh dorongan-dorongan yang dapat terpuaskan dengan upaya minimal dan dorongan-dorongan yang tak dapat cukup terpuaskan tak peduli seberapa besar upaya yang dilakukan. Dorongan-dorongan ini, terutama dorongan yang kedua, membuat orang menjadi frustasi dan depresi. Agar frustasi dan depresi ini tidak menemui jalan keluarnya, diciptakanlah imaji-imaji artifisial yang membuat orang tetap berada dalam ketertundukannya. Imaji ini dapat berupa harapan akan kesuksesan dan kebahagiaan hidup dalam keberlimpahan materi. Namun tentu saja, sekali lagi, hal ini hanya dapat direalisasikan oleh segelintir orang saja; sementara mayoritasnya terus menerus hidup dalam labirin impian yang tidak nyata: berlomba-lomba menjadi sempurna seperti para selebritis, misalnya. Intinya, mereka terus menerus dicekoki harapan-harapan artifisial agar tetap tunduk dan dapat ditaklukan oleh sistem hari ini.
Di dalam sistem teknologi industrial, manusia tak lebih dari sekedar angka pada sebuah pabrik besar. Pada sebuah sistem—apa pun sebutannya—homogenisasi adalah sebuah racun bagi kehidupan. Kekurangan akan perbedaan menginisiasikan ketidakberdayaan dan kegagalan.

Kemungkinan Dunia yang Lebih Baik
Industri, sebagai sesuatu yang bersifat integral dalam mesin besar hubungan sosial, tidak mungkin diasumsikan sebagai sesuatu yang netral, yang dapat kita pergunakan untuk kepentingan kita. Ia adalah salah satu alat dari sebuah hubungan hierarkis yang hanya melayani kepentingan penguasa, bukan aspirasi dan kehendak kita.
Untuk menuju dunia lain yang lebih baik, kita tidak dapat hanya sekedar menghancurkan salah satu kondisi dari banyak hal yang membuat sistem ini eksis. Sekedar merebut alat produksi tak akan mampu membuat kita bebas—semenjak pabrik dan segala interiornya didesain untuk mendominasi dan memekanisasi manusia. Karena di dalam pabrik, inisiatif individual harus hilang dalam deru mesin dan percepatan produksi. Perebutan kembali hidup kita harus dimulai dengan penghancuran setiap relasi hierarkis yang dominatif.
Menghancurkan sistem yang eksis hari ini tentu saja akan membawa hal-hal yang “menyakitkan” dalam proses penghancuran dan pembangunannya. Tapi sistem ini pun tidak hadir secara tiba-tiba: ia mempengaruhi dan mengontrol kita setiap hari secara konstan lewat berbagai pranata dan propagandanya. Menghancurkannya, bisa saja terjadi secara spontan ataupun secara gradual; masa depan belum lagi tertulis. Namun satu hal yang telah kita pelajari dan rasakan bersama adalah dunia lain yang lebih baik tidak akan mungkin tercipta lewat hubungan yang hierarkis dan dominatif.
Hal ini pun bisa saja gagal di tengah jalan. Mungkin kita tidak bisa menghentikan laju dari monster kapitalisme tersebut, tetapi setidaknya biarkanlah kita “melemparkan sedikit pasir pada tatanan mesin mereka” untuk hanya demi mempertahankan martabat kita dan untuk memberi respek pada diri kita sendiri.
Atau seperti satir yang diungkapkan Nietszche, “Lebih nyaman mematuhi ketimbang menguji sesuatu. Adalah sesuatu yang lebih menggoda untuk berpikir ‘aku memiliki kebenaran’ daripada melihat kegelapan di sekeliling kita.”

HOMICIDE-Senjakala Berhala

Artist: HOMICIDE
Entitled: Senjakala Berhala
Format Mp3; Size 1.66 MB; Play/Download here!

Sabtu, 14 Februari 2009

Efficient Anarchy?

In a recent paper, Efficient Anarchy, Peter Leeson examines the conditions under which anarchy is efficient. There are, essentially, two reasons for the existence of anarchy as a means to organize a society. Either the costs of government exceed the gains from government, or the gains from government are so minimal that, taking transaction costs into account, individual agents lack the incentive to create one.

What are the costs of government?
• Organizing collective action, including, of course, the opportunitiy cost of those whose individual choices are being replaced by collective action.
• Enforcing the rules promulgated by the government, which requires courts, police, and an admininstrative system.
• The costs of providing traditional public goods such as roads and education.

The primary gains from government are the reduction of uncertainty and the lowering of transaction costs for exchanges among strangers. A simple formula captures this framework. L (= low) is the net welfare in a state where government is absent. H (= high) is the net welfare in a state where government is present. G is the cost of government. It follows that government is rational only if H - L > G. Where H - L < G, anarchy is efficient. There are certain common environmental factors that influence both the direct costs of government and the indirect gains from government. Here is a partial list.  • Population size. The greater the population size, the higher the cost of organizing and enforcing collective action and the greater the potential benefits from trade. • Diversity. The more diverse a population in terms of endowments, preferences, and productive abilities, the higher the cost of achieving consensus and the greater the benefits from trade • Social norms facilitating exchange. If such norms are present (e.g., arbitration, non-communal possessions), trade will yield greater benefits, which diminishes the potential gains from formal government. Against this backdrop, Leeson proceeds to outline the two types of efficient anarchy: Having established what affects the cost of government and what affects the benefits government provides by moving society from a lower trade equilibrium to a higher trade one, it is now possible to distinguish two types of efficient anarchy: (1) “big G anarchy,” in which despite the presence of a substantial gap between social wealth in the higher vs. lower trade equilibrium, government is too costly to justify its emergence, and (2) “small H – L anarchy,” in which even though government may be inexpensive to create, the difference between social wealth in the higher and lower trade equilibrium is so small as to make the state inefficient on cost-benefit grounds. At least theoretically then, these are situations in which statelessness is socially optimal. A society of rationally self-interested agents operating in either environment would thus (rationally) choose anarchy over government. One of the most intriguing aspects of Leeson’s paper is that he is unafraid of applying his theoretical framework to the real world. “Small H - L anarchy,” Leeson proposes, is observed in small, primitive societies … such as the Eskimo tribes of the North American Arctic, Pygmies in Zaire, Indian tribes like the Yoruk of North America, the Ifugao of the Philippines, the Massims of East Paupo-Melanesia, Indian tribes of South America like the Kuikuru, the Kabyle Berbers of Algeria, the Land Dyaks of Sarawak and the tribal Santals of India, none of which had governments. In these societies, because of their relatively small population size, exclusionary social norms, and homogeneity of endowments, preferences, and productive abilities, the markets are so thin that the benefits from government (moving from L to H) are not sufficient to outweigh the costs G of forming even the most minimal state. Leeson’s example for “big G” anarchy is international relations. Given the world’s population of 6.5 billion and significant differences in endowments, preferences, and abilities, the potential gains from trade are enormous. International anarchy, consequently, must be the result of the costs of truly global government outweighing even those massive gains. In Leeson’s words: Organizational costs [of a world government] would also rise considerably because of the vast increase in the heterogeneity of  the relevant population. If it is difficult to arrive at a decision regarding where a new police station is to be located within a community of 20,000 suburbanites, imagine the difficulty of coming to a much larger decision when over a billion people are involved from Beirut to Mexico City. What is one to make of Leeson’s argument? I find the explanation for “small H - L” anarchy more compelling than the case for “big G” anarchy. One of the main problems with “international anarchy” is that we are leaving the individual as the unit of analysis. Nation states are not individuals and applying an incentive based framework to analyze and explain their actions is fraught with methodological problems. In other words, “big G” anarchy is a very different kind of anarchy than “small H - L” anarchy, the former more metaphoric, the latter more directly rooted in the behavioral postulates of economics. In practical terms, it makes little sense to identify elements of anarchy in the relations between a German and a US citizen, just because their respective nation states relate to each other in a metaphorical state of nature.  Rather than looking to the international domain, “big G” anarchy is probably much more prevalent at the micro-level of interpersonal exchanges for which the costs of legal enforcement are too high. There must be millions of exchanges taking place in the US every day, where one party is wronged but effectively left without recourse because the costs of accessing the legal system are too great. For example, few plaintiffs lawyers would take a $1,000 case, and for many, the opportunity costs of going to a small claims court far outstrip the potential gains from winning the case. That’s not a “small H - L” problem, because the gains from moving to the higher level of trade would be considerable. Rather, the cost of providing access to the legal system for minimal “sub-legal” claims is too high. Leeson’s paper is worth reading, if only because the question “Why have government at all?” is no longer seriously asked by mainstream political science. There is no good reason for ignoring this fundamental question. Let’s not forget that modern political science originated with the problem of anarchy in the 17th Century, when Hobbes broke with political Aristotelianism. Of course, Hobbes incorrectly conceived of the natural state as a zero sum game, which led him down the path of government as the necessary enabler of trade. But the fact that Hobbes got the answer (or at least some fundamental assumptions of his analysis) wrong doesn’t mean that he didn’t ask the right question.



Api Yunani: Dari kerusuhan Menuju Pemberontakan Sosial

Sebuah Analisa Insureksi di Yunani


Kebangkitan terkini di Yunani tampaknya hadir di bawah tanda api, sesuatu yang dipicu oleh pembunuhan seorang remaja oleh polisi di Athena beberapa saat lalu. Tetapi apa yang dimulai sebagai sebuah kemarahan yang terkonsentrasi pada polisi telah melebar ke dalam dimensi sebuah pemberontakan sosial, bergerak melampaui aksi-aksi sebuah "kekerasan kaum pinggiran" hingga melibatkan sejumlah besar anak-anak muda. Saat tak diragukan lagi memiliki karakteristik-karakteristik Yunani yang spesifik, gerakan ini telah menarik perhatian di mana-mana. Pemerintah Perancis juga telah mengekspresikan kecemasan akan kemungkinan adanya "penularan" pada anak-anak muda di negeri mereka. Mereka bahkan hingga memutuskan untuk membatalkan sebuah rencana untuk mereformasi pendidikan sekolah menengah Perancis, mengungkapkan ketakutan akan adanya sebuah kemungkinan hal tersebut menjadi alasan untuk melakukan event-event Yunani di Perancis. Terdapat protes-protes solidaritas di sejumlah negara, termasuk aksi-aksi para anarkis Turki yang memperlihatkan simpati mereka terhadap kawan-kawan mereka di Yunani.
 
Apabila reaksi terhadap pembunuhan yang dilakukan oleh polisi hanya terbatas menjadi pertikaian antara polisi dan sekeompok anarkis, bagaimanapun juga, even-even di Yunani secara literer akan berakhir hanya dalam beberapa hari. Apa yang menarik tentang situasi terkini lebih tepatnya adalah bagaimana hal tersebut berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar, menyebar dari pertempuran-pertempuran jalanan hingga pendudukan sekolah-sekolah menengah dan fakultas-fakultas universitas, serta memperlihatkan bahwa tidak hanya semangat bertempur tetapi juga inisiatif dan imajinasi, sebagaimana perebutan televisi dan stasiun radio yang berlangsung dramatis oleh para pemrotes yang lantas mengambil alih kontrol atas mikrofon dan kamera. Para pemirsa saluran televisi nasional Yunani, NET, pada 16 Desember melihat sebuah siaran pidato perdana menteri Yunani diinterupsi oleh sebuah tayangan yang memperlihatkan para pemrotes di jalanan membawa spanduk bertuliskan, "Berhenti menonton telesisi. Turun ke jalan." Sehari kemudian, para pemrotes memasang sebuah spanduk besar di Parthenon, mentransformasikan sebuah situs wisata menjadi sebuah forum yang menyerukan agar dilakukan aksi solidaritas Eropa pada 18 Desember. Pada 18 Desember sendiri, para demonstran-demonstran muda di Athena mengenakan barcode besar untuk menyimbolkan penolakan mereka untuk diperlakukan sebagai benda, sebagai komoditi. Sikap-sikap tersebut selain puitis, juga langsung ke pokok masalah, mengajukan kritik terhadap sistem saat ini.
Sebagai sebuah serangan balasan terhadap polisi yang melebar menjadi sebuah kerusuhan yang hadir di minggu pertama bentrokan, minoritas revolusioner yang berada di tengah pemberontakan–yang mana pemerintah Yunani dan media selalu berusaha isolasikan dan dilabeli sebagai 'kriminal'–menyadari bahwa pesan anti-negara dan anti-kapitalisme telah bergaung dalam sebuah generasi yang menghadapi berantakannya berbagai prospek ekonomi. Lebih jauh lagi, sebagaimana yang lain–mayoritas, walaupun bukan semuanya, pelajar–mulai melibatkan diri, pemberontakan tidak lagi menjadi 'milik' para anarkis, walaupun memang selama ini para anarkis tersebut tidak pernah mengklaim kepemilikan atas pemberontakan tersebut. Bahasa-bahasa yang dalam beberapa minggu sebelumnya dianggap ekstrim kini mulai memasuki diskursus publik di mana banyak suara yang dapat mengekspresikan diri mereka sendiri. Di tengah kerusuhan, dialektika, argumentasi dalam bahasa Yunani kembali dipraktekkan di jalan-jalan dan gedung-gedung yang diduduki. Kebangkitan ini juga bukan lagi sekedar urusan orang-orang Yunani, sejumlah besar imigran-imigran muda–yang memiliki sejarah panjang yang memilukan atas perilaku-perilaku polisi–bergabung. Terdapat juga sejumlah indikasi bahwa para pekerja bergabung dalam pemberontakan. Indikasi ini dibuktikan saat pada 17 Desember, sekelompok "insurgen pekerja" menduduki markas besar federasi serikat pekerja Yunani. Para pekerja tersebut memproklamirkan sebuah deklarasi yang di antara beberapa hal lain, menyatakan tujuan dari perebutan gedung tersebut oleh mereka:
“Untuk membuka ruang ini untuk pertama kalinya–sebagai sebuah kelanjutan dari pembukaan sosial yang diciptakan oleh insureksi ini sendiri–sebuah ruang yang telah dibangun atas kontribusi kami, sebuah ruang di mana justru kami tak pernah dipedulikan...Kami telah merebut suara kami, untuk bertemu, berbicara, memutuskan dan bertindak. Melawan serangan umum yang kita semua terima. Penciptaan perlawanan-perlawanan kolektif akar rumput menjadi satu-satunya cara." (Komunike Dewan Umum Insurgensi Pekerja, Athena, 17 Desember 2008).
Mereka yang merespon pemberontakan adalah kekuatan negara Yunani, dilakukan di beberapa tempat dengan preman-preman di bawah organisasi Golden Dawn. Selain itu, yang juga mengambil peran dalam kontra-insurgensi adalah partai-partai politik, termasuk kaum Kiri di KKE (Partai Komunis Yunani), yang justru menyatakan bahwa mereka yang melawan polisi di jalanan dengan kekerasan adalah kriminal. Sementara partai Kiri Baru, Syriza (Koalisi Kiri dan Progresif) mengambil posisinya sendiri–yang mendukung gerakan protes secara kritis–tetapi semuanya hanya berakhir untuk dapat mengkooptasi para insurgen agar selanjutnya menjadi pendukung mereka dalam pemilu.
Apabila gerakan pendudukan di Yunani menjadi semakin meluas, maka pemberontakan tersebut dapat menjadi kebangkitan yang paling signifikan di Eropa di awal abad ini, bahkan akan mampu melebihi gelombang protes yang melanda Perancis dalam dekade ini. Apa yang juga membuat kebangkitan Yunani ini secara khusus menarik adalah karakternya yang cair dan fleksibel. Sebagiannya adalah insureksi, sebagiannya demonstrasi, sebagiannya pendudukan, tapi juga tanpa dapat dikotak-kotakkan dalam kategori tunggal. Bagaimanapun juga, kebangkitan ini akan berkembang lebih jauh hanya apabila ia mampu memperlebar dan memperdalam "pembukaan sosial" yang dikutip dari komunike para insurgen pekerja tadi, sehingga dapat menjadi sebuah fenomena sosial secara luas dan tak lagi hanya menjadi urusan anak-anak muda radikal saja. Memang terdapat indikasi-indikasi yang menguatkan kemungkinan tersebut, tetapi hal tersebut juga hanya dapat terjadi apabila pemberontakan tersebut dapat bergerak melampaui negasi dan afirmasi, melampaui penolakan dan penghancuran hingga ke dalam visi pembangunan dunia baru. Apabila hal ini tidak terjadi, maka kebangkitan tersebut akan menyurut ke dalam sesuatu yang telah terprediksikan selama ini, walaupun memang tetap menarik, yaitu sekedar teater jalanan radikal. Salah satu slogan terkenal di tengah insureksi, yang disemprotkan dengan cat di dinding-dinding dalam bahasa Inggris, adalah "No Control" (Tanpa kontrol). Di sini, terdengar sebuah gaung dari pemberontakan anak muda Inggris setelah peristiwa Mei 1968 Perancis melalui punk, "No Future" (Tanpa masa depan); tapi juga sebuah alur yang mengarah pada kelompok anarkis paling radikal di era perang sipil Spanyol yang dengan bangga menyebut diri mereka los incontrolados (Yang tak dapat dikontrol). Dan mana yang lebih dominan memang krusial: apakah Yunani akan mengarah pada revolusi sosial seperti di era perang sipil Spanyol ataukah hanya berakhir pada nihilisme konsumtif seperti punk.
Dengan menyerang negara sekaligus kapital, para insurgen Yunani telah memperlihatkan bahwa dua hal tersebut tak dapat dipisahkan seperti dua sisi dari sebuah keping mata uang. Para insurgen tidak berusaha mencari pemerintah yang berbeda, melainkan bentuk masyarakat yang berbeda. Pemberontakan mereka juga merupakan pengingat bahwa transformasi radikal dunia tidak selalu berjalan sesuai dengan determinisme sejarah. Siapa yang pernah menyangka bahwa sebuah pembunuhan oleh polisi dapat meletupkan sebuah gelombang insureksi?
Dalam era Byzantin, Api Yunani adalah sebuah istilah untuk menyebut sebuah senjata pemusnah hebat yang terdiri dari elemen-elemen berbeda yang dikomposisikan secara tepat. Insureksi di Yunani akhir tahun 2008, merepresentasikan sebuah penggabungan api-api yang ada, di mana bahan bakarnya diambil dari berbagai kondisi sosial yang eksis di mana-mana. Panasnya api telah berhasil melubangi tabir-tabir yang menutupi kondisi sosial yang makin hari semakin memburuk. Di tengah kondisi yang semakin tanpa harapan dan frustratif, insureksi telah menawarkan pilihan lain: membawa penerangan pada dunia.
Imitasi adalah bentuk paling jujur dari sebuah penghargaan, tetapi pada akhirnya hal tersebut tetap sekedar imitasi. Berusaha secara buta mereplikasi skenario Yunani di tempat lain jelas akan dikutuk menemui kegagalan, seperti apa yang terjadi di Amerika Serikat, di mana kondisi-kondisi sosialnya berbeda. Awal tahun ini di Oakland, Amerika Serikat, kerusuhan serupa juga berusaha diletupkan oleh anak-anak muda atas penembakan oleh polisi, tapi apa yang tidak diperhatikan adalah bahwa aturan polisi di Oakland berbeda dengan aturan polisi di Yunani. Di Oakland, polisi kini diperbolehkan menembak apabila molotov dilemparkan (di Yunani sekedar lemparan molotov tidak diperbolehkan untuk menjadi alasan bagi polisi untuk mulai menembak); lalu di Yunani universitas secara hukum tetap menjadi sebuah area di mana polisi tidak diperkenankan masuk sementara di Oakland, tak ada area yang dilarang secara hukum untuk dimasuki polisi apalagi setelah ada alasan pemadaman pemberontakan.
Dalam upaya mengakumulasi semangat insureksi Yunani dibutuhkan sedikit, walaupun juga tetap cukup besar: bukan sekedar keinginan dan harapan, kemarahan, melainkan juga kreativitas dan intelegensi. Catatan sejarah insureksi Yunani ini hingga kini (11 Januari 2009-red) masih belum ditutup, sehingga tulisan ini adalah sebuah teks yang jelas belum selesai. Sesuatu yang diharapkan akan terus berlanjut, hingga api yang dibawanya dapat menjadi pilar awal yang menerangi dunia.

Laskar Pelangi


Ceritanya berkisah tentang perjuangan dua orang guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan. Novel ini menunjukkan pada kita bahwa pendidikan adalah memberi hati kita kepada anak-anak, bukan sekadar memberikan instruksi atau komando, dan bahwa setiap anak memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang pada masa depan, apabila diberi kesempatan dan keteladanan oleh orang-orang yang mengerti akan makna pendidikan yang sesungguhnya.

Author: Andrea Hirata

Format Zip; Size 866.89 KB; Download here!

Jakarta Undercover 1


Meski kini seperti tak ada jarak perilaku seks antara pria dan wanita, tapi kalau diamati selalu ada perbedaan sikap dalam casual sex-nya. Secara historis laki-laki merasa lebih bisa menikmati tahapan seks demi seks itu sendiri. Sikap itu memang tidak selalu bisa dipahami, tapi paling tidak bisa diterima. Seks anonim —baik dalam bentuk pertunjukan seks atau seks prostitusi, dianggap menjadi part of life laki-laki. Makanya, tak heran kalau laki-laki tak jauh dari hooker, whore atau wanita pekerja seks profesional untuk ber-one nite stand, di manapun dan kapanpun. 

Wanita tampaknya juga menerima kalau seks anonim merupakan kepentingan dan minat laki-laki. Hanya saja, mereka tetap tak habis mengerti di mana letak daya tarik seks anonim tersebut. 

Itulah sex life lelaki yang memang penuh tanda tanya. Apakah perilaku seks yang biasa disebut seks anonim seperti itu memang ada nilainya, jika dibanding dengan seks yang sifatnya amat personal, entah dengan istri, teman selingkuh atau pacar. Mengapa lelaki mau mengeluarkan kocek dari sakunya — seringkali dalam jumlah besar, waktu dan kejujuran untuk sebuah kenikmatan sependek itu? Dan benarkah itu 'nikmat'?

Author: Moammar Emka

Format Pdf; Size 1,022.89 KB; Download here!

Ayat-Ayat Cinta


Tidak main-main, sebagai novel pembangun jiwa, novel ini ditulis dengan menggunakan sepuluh referensi. Bahkan 'hanya' untuk menuliskan adegan bertemunya Fahri dengan sahabat Nabi Imam Ibnu Mas'ud dalam mimpi, penulis perlu mendasarkan ceritanya pada Kitab Ar-Ruuh karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.

Karena judul novel ini mengandung kata 'cinta', akan tidak lengkap rasanya jika kita tidak membahas kesan yang tertangkap bahwa novel ini merupakan novel romantis. Memang, novel ini juga novel asmara. Kehidupan Fahri diwarnai dengan kisah hubungan lelaki dan perempuan. Perasaan Fahri diceritakan dengan baik ketika ia harus menjadi rebutan tiga orang perempuan. Pada bagian cerita bulan madu Fahri dan Aisha jelas sekali digambarkan terjadinya adegan percintaan yang selalu merupakan bagian penting dari disebutnya novel asmara. Di sinilah kelbihan lain novel ini yang menceritakan hubungan suami-istri namun tidak terjatuh ke dalam kevulgaran.

Author: Habiburrahman El Shirazy

Format Pdf; Size 1.00 MB; Download here!


Get Your TAROT Reading