Selamat Datang! | Welcome!

DALAM WAKTU YANG SEMAKIN MENDESAK UNTUK TRANSFORMASI MIMPI, DIMANA RUANG-RUANG HIDUP SUDAH SEDIKIT TERSISA UNTUK KAMI MENGKREASIKAN MIMPI. DIMANA RUANG-RUANG HIDUP BUKAN LAGI BEBAS BERBICARA TENTANG MIMPI SETIAP INDIVIDU, BEBAS MEMILIH JALAN BUDAYA-PERADABAN UNTUK SETIAP KOMUNI, NAMUN SUDAH PENUH DENGAN MIMPI-MIMPI MASSAL DAN JALAN HIDUP BUDAYA-PERADABAN MASSAL DALAM BINGKAI PERBUDAKAN MANUSIA.

IDEOLOGI, PEMERINTAHAN, PASAR, KORPORASI, STRUKTUR HIDUP DALAM SEJARAH TERCIPTA MASIH BELUM MAMPU MEMBEBASKAN MANUSIA DI ATAS ALAM YANG NETRAL INI, MAKA UPAYA-UPAYA UNTUK MENCIPTAKAN RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS ALAM INI ADALAH UPAYA PEMBEBASAN INDIVIDU MANUSIA.

INDIVIDU BUKANLAH APA YANG IA PAKAI, APA YANG IA KENDARAI, APA YANG IA PERCAYAI. INDIVIDU BUKANLAH SETIAP MASALAH-MASALAH YANG MELEKAT PADA DIRINYA, LABEL-LABEL YANG DIBERIKAN KELUARGA DAN LINGKUNGANNYA. INDIVIDU ADALAH ENERGI INDEPENDEN DALAM KETAKDEFINISIAN YANG MAMPU MEMBERIKAN API KEHIDUPAN KEPADA ALAM, DIMANA ENERGI TERSEBUT JUGA BERASAL DARI API KEHIDUPAN ALAM DAN INI DINAMAI DENGAN SPIRIT.

MAKA PEMBEBASAN SPIRIT AKAN MEMBEBASKAN DUNIA, ADALAH VITAL UNTUK MENGHANCURKAN RUANG-RUANG YANG MENDESAK. PERANG TERHADAP MANIPULASI INFORMASI, HARAPAN-HARAPAN PALSU, DAN SEGALA STRUKTUR YANG MELEMAHKAN INDIVIDU DAN MEMBANGUN KEMBALI RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS KEHANCURANNYA SAMBIL MEMELIHARA DAN MENGEMBANGKAN RUANG-RUANG BEBAS YANG SUDAH TERCIPTA.

SUDAH SAATNYA BEBASKAN SPIRITMU MAKA KAMU MEMBEBASKAN DUNIAMU! ANGKAT BERPERANG KARENA INI ADALAH MEDAN PERTEMPURAN & PERTARUNGAN SPIRITUALITAS!


FREE SPIRIT-FREE WORLD
AQUARIAN
aquarian.free@gmail.com

Kunjungi Pustaka Online Aquarian

QUOTES FOR LIFE TRANSFORMATION

Senin, 30 Maret 2009

Jangan Hanya Golput! Segera Bentuk Komunitasmu!

Dalam demokrasi, harus ada yang menang dan kalah—Hillary Clinton, Program Musik Dahsyat di RCTI 19 Feb 09

Semua revolusi modern telah berakhir dengan kembalinya kekuatan negara—Albert Camus


Dewasa ini, “demokrasi” menguasai dunia. Runtuhnya rezim komunis Rusia, pendudukan di Afghanistan dan Irak yang mengatasnamakan demokrasi, sistem Pemilu multipartai yang semakin dipopulerkan di berbagai negara-negara miskin Dunia Ketiga, pertemuan-pertemuan tingkat dunia yang membahas persoalan demokrasi ekonomi, pembantaian warga sipil palestina di Jalur Gaza dan serangan balas dendam pada warga Israel yang tidak bersalah demi kekuasaan modal, juga jadwal Pemilu pada bulan April 2009 di Indonesia—yang selalu diklaim dan digembar-gemborkan sebagai pesta demokrasi. Lalu kenapa kita tidak merasa ada sesuatu yang menggembirakan, jika demokrasi adalah solusi dari segala masalah kita dan dunia? Kenyataannya dunia masih juga berjalan di antara kemiskinan, pengangguran, penghancuran ekologi, penghancuran hak-hak warga oleh korporasi, dan masalah-masalah lainnya. Lebih dari itu, kemandirian komunitas telah menjadi sesuatu yang benar-benar langka. Apakah ada yang salah dengan “demokrasi”? Apakah ada alternatif yang lebih memungkinkan dari “demokrasi”?

Setiap Anak Kecil Dapat Tumbuh Menjadi Seorang Presiden

Bohong. Menjadi seorang Presiden berarti memegang sebuah kekuatan dalam posisi yang hierarkis, sama halnya dengan menjadi seorang milyuner: untuk ada satu orang Presiden, harus ada milyaran orang yang memiliki kekuatan lebih rendah dari dirinya. Dan seperti halnya dengan milyuner, hal yang sama berlaku juga dengan keberadaan seorang Presiden: bukan sebuah kebetulan bahwa kedua tipe tersebut saling menguntungkan, semenjak keduanya datang dari dunia yang memiliki banyak hak-hak istimewa dengan cara membatasi hak-hak kita sebagai orang-orang yang bukan bagian dari mereka. Sistem ekonomi kita, juga sebenarnya tidaklah demokratis, kita semua sudah tahu bahwa sumber kekayaan didistribusikan dengan proporsi yang secara absurd sangatlah tidak adil. Untuk menjadi seorang Presiden engkau harus memulainya dengan memiliki sumber kekayaan, atau setidaknya memiliki kedudukan untuk mengumpulkan lebih banyak lagi sumber kekayaan. Walaupun apabila memang benar bahwa setiap orang dapat tumbuh menjadi seorang Presiden, hal tersebut tidaklah akan menolong milyaran dari kita yang kebetulan tidak menjadi seorang Presiden—yang masih harus hidup dalam bayang-bayang kekuasaannya. Hal inilah yang menjadi kesulitan mendasar, yang intrinsik, dalam sistem demokrasi representatif[1]—di mana kesulitan tersebut terjadi dalam level paling bawah maupun dalam level teratas. Sebagai contoh: Walikota, bersama beberapa orang politisi profesional, dapat mengagendakan pertemuan-pertemuan yang mendiskusikan masalah-masalah yang dialami oleh warga kota tersebut. Kemudian mereka menghasilkan berbagai keputusan setiap harinya untuk ditaati oleh setiap warga kota, tanpa sekalipun pernah mengkonsultasikannya dengan para warganya. Masalahnya, masalah yang dialami oleh tiap warga pasti berbeda-beda, sehingga mereka yang tidak mengalami masalah yang sama jelas akan merasa keberatan dengan diberlakukannya keputusan sepihak dari Walikota. Tidak perlu heran apabila ketidakpuasan akan terus terjadi. Para warga kota dapat memilih Walikota yang lain, walaupun pilihannya hanya akan kembali ke lingkaran yang itu-itu saja: mereka yang telah disediakan dalam daftar politisi atau calon politisi yang sudah dipilihkan untuk warga kota. Dari pilihan itu, tetap saja kepentingan dan kekuatan kelas dari para politisi tersebut akan selalu bertentangan dengan kepentingan warga kota. Lagipula, para loyalis partai politik selalu saja hanya melakukan hal-hal yang dianggap baik demi mendapatkan kursi kekuasaan dan bagaimana caranya mempertahankan kursi tersebut. Apabila tidak ada Presiden, maka bukan berarti bahwa “demokrasi” kita tersebut kurang demokratis. Masalah mendasarnya adalah korupsi, kepemilikan hak-hak istimewa dan hierarki tidak akan pernah lenyap walaupun kita telah memilih jutaan Presiden; karena cacat tersebut tidak terletak secara personal pada siapa yang menjadi Presiden, melainkan bahwa hal-hal tersebut merupakan metode-metode pemerintahan yang telah melekat erat dalam bentuk pemerintahan apa pun.

Tirani Mayoritas

Apabila anda pernah mengalami suatu masa di mana anda menjadi bagian dari kelompok minoritas yang tidak masuk hitungan sama sekali, sementara kelompok mayoritas memutuskan bahwa anda harus kehilangan sesuatu yang sangat penting bagi diri anda sendiri tapi dianggap tidak penting oleh kelompok mayoritas, akankah anda hanya menurut demi kepentingan mayoritas? Saat hal tersebut terjadi, benarkah seseorang akan menyadari bahwa kekuasaan sekelompok orang ada karena mereka telah menyingkirkan hak-hak orang lainnya? Kita menerima kebenaran secara mutlak bahwa kepentingan mayoritas lebih penting karena kita tidak pernah percaya bahwa hal tersebut akan mengancam kepentingan kita—dan biasanya mereka, para minoritas yang telah terancam kepentingannya, telah ditutup dulu mulutnya sebelum kita sempat mendengar langsung tentang kondisi yang mereka alami. Tak ada “masyarakat biasa” yang mengakui bahwa dirinya terancam oleh aturan mayoritas, karena setiap orang berpikir ada sebuah “kekuasaan moral” yang menyatakan bahwa kepentingan mayoritas ada di atas segala-galanya: sesuatu yang di dalam kenyataan disebut sebagai fakta dengan merujuk pada standarisasi nilai-nilai yang tidak pernah ditanyakan terlebih dahulu, apakah kita sepakat atau tidak dengan aturan tersebut. Kalaupun hal tersebut tidak disebut sebagai fakta, setidaknya kita begitu sering mendengar hal tersebut dari berbagai teori, yang menyatakan bahwa ide tentang kepentingan mayoritas ada di atas segala-galanya. Dari demokrasi tersentral ala negara-negara Komunis, demokrasi Pancasila, sampai dengan demokrasi pasar yang eksis sekarang ini, kesemuanya tidak pernah mengakomodir kepentingan yang berbeda dari kepentingan mayoritas[2], bahkan jika itu adalah sesuatu yang keliru. Demokrasi dengan aturan mayoritas selalu berakhir dengan keputusan bahwa, apabila segala fakta telah terbukti benar, maka semua orang akan dibuat melihat bahwa hanya ada satu macam cara melakukan sesuatu yang bisa dikatakan benar alias hanya ada satu macam kebenaran. Tak heran jika pola demokrasi seperti demikian tak ada bedanya dengan kediktatoran. Masalahnya, dalam banyak kasus bahkan apabila “fakta” dapat dihadirkan secara jelas pada semua orang (yang jelas tak akan mungkin) beberapa hal tak dapat disetujui begitu saja, yang merupakan bukti bahwa sebenarnya kebenaran tidak hanya satu macam saja. Ada begitu banyak kebenaran di dunia ini, karena masing-masing individu dan lingkungan yang membentuknya punya keunikannya sendiri. Memaksa kebenaran yang bervariatif menjadi kebenaran tunggal akan menghilangkan keindahan yang mewarnai hidup ini. Kita semua membutuhkan bentuk-bentuk demokrasi yang mampu menghitung peristiwa-peristiwa tentang perbedaan kebenaran, di mana kita juga bebas dari sebuah sistem kediktatoran mayoritas sebagaimana kediktatoran kelas yang memiliki hak-hak istimewa.

Aturan Hukum

Perlindungan yang disediakan oleh institusi-institusi legal yang kita miliki sama sekali tidak cukup. “Aturan dan hukum yang adil”, yang dewasa ini diberhalakan oleh mereka yang memang memerlukan perlindungan atas kepentingannya (misalnya tuan tanah atau direktur bank), tidak dapat melindungi setiap orang dari kekacauan atau ketidakadilan; hal tersebut hanya menciptakan arena spesialisasi baru, di mana potensi dan kekuatan yang sebenarnya dimiliki oleh komunitas akan direduksi ke dalam sebuah arena jual beli yang mahal untuk membayar hakim atau pengacara. Masyarakat yang miskin, lemah, dan tidak berdaya, adalah kelompok yang paling akhir diperhatikan oleh aturan hukum yang ada. Di bawah kondisi demikian, potensi mandiri dan kekuatan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat akan disibukkan pada persoalan pemenuhan kemampuan finansial untuk membiayai institusi pengadilan, bukan digunakan untuk merebut kembali hidup yang telah dirampas. Memapankan keadilan dalam masyarakat melalui penguatan dan pemaksaan kontrol oleh hukum tidak akan pernah berhasil: beberapa hukum hanya dapat menginstitusionalkan apa yang telah menjadi aturan dalam masyarakat. Apa yang kita butuhkan adalah meninggalkan demokrasi representatif, untuk sebuah demokrasi partisipatoris[3] sepenuhnya.

Bukan Sebuah Kebetulan Apabila “Kebebasan” Tak Ada Dalam Kotak Pemilu

Kebebasan bukanlah sebuah kondisi—melainkan sesuatu yang lebih dapat dikatakan sebagai sebuah sensasi—dan hal tersebut bukanlah sebuah konsep akan janji kesetiaan untuk dituju, sebuah sebab yang mendasari tindakan, ataupun sebuah standar yang mengharuskan kita berbaris di bawah satu bendera; melainkan sebuah pengalaman yang harus anda alami sehari-hari yang bila tidak dialami, maka kebebasan tersebut akan meninggalkan anda. Kebebasan bukanlah saat kita beraksi ketika bendera dikibarkan dan bom-bom dijatuhkan hanya demi “membuat dunia aman untuk demokrasi”, tak peduli apa pun warna bendera yang dikibarkan (bahkan juga bendera hitam). Kebebasan tak bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan ataupun doktrin filosofis apa pun. Memberikan kebebasan pada orang lain tak akan mampu memperkuat kebebasan, selain hanya mengekang kemampuan orang tersebut untuk menemukan kebebasannya sendiri. Kebebasan muncul pada saat-saat yang sederhana; saat membuat anak kecil percaya pada sesuatu yang dilakukannya, pada momen-momen bersama dengan beberapa teman dekat dan kerabat, ataupun pada saat para pekerja menolak perintah pimpinan serikat buruhnya, dan kemudian mengorganisir pemogokan mandiri tanpa pemimpin. Apabila kita memang memperjuangkan kebebasan kita, maka kita harus mulai berjanji pada diri kita sendiri untuk selalu mengejar dan menghargai momen-momen tersebut dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkannya. Hal ini jelas lebih baik daripada menghabiskan waktu kita untuk melayani kepentingan partai atau ideologi (apa pun). Kebebasan yang nyata tak akan dapat ditemui dalam kotak Pemilu. Kebebasan bukan sekedar kemampuan untuk memilih satu dari beberapa pilihan, melainkan berpartisipasi aktif untuk membuat pilihan sendiri: membentuk dan mendekor ulang lingkungan di mana pilihan-pilihan tersebut dapat terbentuk. Tanpa hal ini, kita tak akan memiliki apa pun, selain hanya menerima pilihan yang telah ada berulang-ulang kali—membuat keputusan yang hasil akhirnya juga akan selalu sama. Apabila pilihan ada di tangan kita, maka segala sesuatu berarti kemungkinan baru. Dan ketika telah tiba saatnya untuk mengambilalih kekuatan dan kekuasaan atas diri kita sendiri, maka tak akan ada seorang pun yang dapat merepresentasikan diri kita—hal itu adalah sesuatu yang harus kita lakukan secara mandiri. Kedaulatan tak akan pernah bisa direpresentasikan, bukan?!

“Lihat, Kotak Suara Pemilu—Demokrasi!”

Apabila kebebasan adalah sesuatu yang berharga di mana telah banyak generasi yang berjuang dan mati untuknya, maka kotak suara Pemilu adalah sebuah pereduksian makna atas kebebasan itu sendiri; seseorang cukup memasukkan pilihan suaranya pada sebuah kotak, kemudian kembali ke tempat kerjanya di mana dirinya tak lagi memiliki kontrol atas hidupnya, yang juga berarti hal tersebut justru tidak dapat dibilang sebagai upaya untuk meneruskan perjuangan demi kebebasan yang telah dilakukan lebih dulu oleh generasi-generasi sebelum kita. Untuk gambaran yang lebih mudah mengenai kebebasan, lihatlah musisi yang sedang melakukan improvisasi musikal bersama beberapa partnernya; ia melakukannya dalam suasana yang menyenangkan, dengan kerjasama yang benar-benar tanpa paksaan, sehingga mereka dapat aktif mencari nada, tempo, dan suasana yang nyaman di mana mereka dapat eksis—semua berpartisipasi untuk mentransformasikan dunia yang sebaliknya juga mentransformasikan diri mereka. Ambil model tersebut dan terapkan pada setiap interaksi kita dengan orang lain, maka anda akan memiliki sesuatu yang secara kualitas jadi lebih baik daripada sistem yang ada saat ini: sebuah harmoni dalam hubungan dan kehidupan manusia—sebuah demokrasi yang sesungguhnya. Untuk mencapai titik tersebut, kita harus mulai menganggap Pemilu sebagai sebuah ekspresi kebebasan dan partisipasi yang telah ketinggalan zaman dan tak layak dilakukan untuk merengkuh kebebasan yang lebih nyata.

Demokrasi Representatif Memiliki Kontradiksi Dalam Istilahnya Sendiri

Tak ada seorang pun yang dapat merepresentasikan kekuatan dan ketertarikan yang anda miliki—anda hanya akan mendapat kekuatan dengan melakukan sesuatu, dan anda hanya akan dapat tahu apa ketertarikan anda dengan cara melibatkan diri secara langsung. Para politisi telah mengembangkan karirnya dengan mengklaim bahwa mereka merepresentasikan orang lain seolah-olah kebebasan dan kekuatan politis dapat diselenggarakan oleh seorang wakil. Sejujurnya, para politisi yang sering disebut sebagai wakil rakyat, hanya orang-orang yang mewakili kepentingannya sendiri—dan kepentingan kelasnya yang berbeda dengan kita, masyarakat kebanyakan. Kepentingan para politisi yang mencari suara kita adalah mempertahankan sistem yang membeda-bedakan manusia ke dalam kelas-kelas sosial, sehingga mereka dapat menikmati hak istimewa yang hanya tersentral di sekitar mereka saja. Kepentingan kita adalah menghancurkan tersentralnya akses-akses atas hak-hak hidup dan pembagian manusia ke dalam kelas-kelas sosial, di samping memberdayakan dan memandirikan diri kita sendiri. Pemilu adalah ekspresi dari ketidakberdayaan dan ketidakmandirian kita: sebuah ijin yang kita berikan yang menyatakan bahwa kita hanya dapat mengerti kemampuan masyarakat kita melalui orang lain yang nantinya akan mewakili kita. Saat kita membiarkan para politisi tersebut menyediakan pilihan bagi kita, maka hal tersebut tak ada bedanya dengan saat kita menyerahkan urusan teknologi pada para teknokrat, urusan kesehatan pada dokter, tata kota yang kita tinggali pada ahli planologi; kita akan berakhir dengan terus hidup di sebuah dunia yang asing bagi diri kita sendiri, yang walaupun tenaga kita yang menciptakannya, kita tetap tidak mengerti apa yang sedang kita lakukan selain hanya menunggu diberitahu oleh para pemimpin dan para spesialis tentang apa saja kemungkinan yang kita miliki. Faktanya adalah kita tak perlu memilih satu di antara beberapa kandidat Presiden, merk soft-drink, channel televisi, koran, ataupun ideologi politik. Kita dapat membuat keputusan kita sendiri sebagai individu dan komunitas, kita dapat membuat makanan yang enak dengan tangan kita sendiri, membuat koalisi sendiri, media sendiri, hiburan sendiri: kita dapat menciptakan pendekatan individual kita sendiri pada hidup yang memberi kita semua keunikan masing-masing.

Konsensus

Secara radikal, demokrasi partisipatoris juga dikenal sebagai demokrasi konsensus, sesuatu yang di belahan dunia lain telah dikenal cukup akrab dan bahkan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, dari komunitas adat di Amerika Latin sampai pada sel-sel aksi politis posmodern (grup affiniti atau kelompok affinitas[4]) di berbagai negara Dunia Pertama ataupun pertanian organik yang dioperasikan secara kooperatif di Australia. Demokrasi konsensus juga telah berlangsung selama sekian waktu dalam komunitas Sedulur Sikep[5] sampai pada aksi gotong-royong para petani di Kulon Progo yang menolak penambangan pasir besi. Demokrasi konsensus adalah sebuah bentuk demokrasi langsung, yang sangat berbeda dengan demokrasi representatif: para partisipan selalu terlibat dalam pengambilan keputusan harian, melalui desentralisasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan, sehingga pengambilan kontrol atas hidup sehari-hari menjadi sesuatu yang sangat mungkin. Berbeda dengan demokrasi yang mengandalkan aturan mayoritas, nilai-nilai yang dianut demokrasi konsensus membutuhkan keterlibatan setiap individu secara setara; apabila ada satu saja orang yang tidak setuju dengan sebuah keputusan yang diambil, maka adalah tugas semuanya untuk menemukan solusi baru yang dapat diterima oleh semua. Demokrasi konsensus tidak menuntut agar seseorang menerima kekuatan orang lain atas hidupnya, walaupun hal ini juga bukan berarti bahwa tiap orang tidak membutuhkan orang lain; walaupun dalam soalan efisiensi, hal seperti ini amatlah lamban, tetapi dalam segi kebebasan dan itikad baik, hal tersebut akan mendapat poin yang sangat tinggi. Demokrasi konsensus tidak memaksa orang untuk mengikuti pemimpin ataupun standarisasi nilai, melainkan membiarkan orang lain untuk memiliki tujuannya dan cara pencapaiannya sendiri.

Otonomi

Agar demokrasi langsung dapat menjadi berarti, orang-orang harus memiliki kontrol atas hidup yang berkaitan dengan dirinya maupun sekelilingnya. Otonomi adalah ide di mana pilihan untuk menentukan apa yang terbaik bagi diri kita masing-masing ada di tangan kita, dan bukan orang lain—apalagi orang yang hanya kita kenal dari poster atau baliho yang dipasang menjelang Pemilu. Otonomi juga berarti bahwa tak ada seorang pun yang dapat menentukan pilihan tentang apa yang harus anda lakukan untuk mengisi waktu dan potensi yang anda miliki—ataupun menentukan bagaimana lingkungan sekitarmu harus dibentuk. Jangan kacaukan hal tersebut dengan “kemerdekaan” individual yang sempit—dalam kenyataannya tak ada seorang pun yang benar-benar merdeka dan mandiri sejak banyak hal dalam kehidupan kita saling terhubung dan tergantung dengan sesama kita (kita terbiasa bekerja dan menyebut diri kita mandiri, padahal kita tetap membutuhkan peran orang lain untuk membuat kita dapat hidup mandiri[6])—kedua hal tersebut hanyalah sebuah mitos individualis sempit yang membuat kita menolak mengakui perlunya keberadaan komunitas. Pemujaan yang berlebih terhadap istilah “mandiri” dalam masyarakat kompetitif menegaskan sebuah penyerangan terhadap siapa pun yang tak mau melakukan pengeksploitasian atas orang lain demi kepentingannya sendiri. Contoh jelasnya terdapat pada istilah otonomi dan mandiri seperti yang sering disebut-sebut oleh media massa dan pemerintah (seperti dalam kata “Otonomi Daerah”[7]). Otonomi yang kita tekankan adalah sebuah hubungan saling ketergantungan yang bebas di antara sesama kita yang berbagi konsensus, seperti pilihan dengan siapa kita bertindak secara bebas demi pembangunan swakelola atas seluruh aspek kehidupan, dll. Otonomi adalah sebuah antitesis dari birokrasi (sebuah hal yang jelas membuat kata “Otonomi Daerah” tampak sebagai sebuah lelucon). Agar otonomi dapat terwujud, segala aspek komunitas, dari teknologi hingga sejarah harus diorganisir ulang agar dapat diakses oleh siapa pun. Agar perjuangan ini menemui titik terang, semua orang harus menggunakan kesempatan akan akses tersebut. Grup-grup otonomis dapat dibentuk tanpa perlu sebuah agenda yang jelas, selama sesama anggotanya mendapat keuntungan dari partisipasi anggota lainnya. Beberapa grup dapat mengandung kontradiksinya sendiri, sebagaimana secara individu kita semua juga seperti itu, tetapi masih tetap dapat bekerja bersama-sama.

Momen-momen di mana kita semua harus diseragamkan di bawah satu bendera, satu model dan satu pola, sudah tak mampu lagi untuk menjawab kebutuhan kita akan kebebasan yang setara. Kita harus mencoba memasuki dunia baru. Grup-grup otonomis harus mengambil sikap yang jelas untuk melawan tekanan dari luar (maupun dari dalam) yang menyatakan bahwa tak ada hak bagi individu untuk menentukan hidupnya sendiri, atau mereka yang berusaha mengilfiltrasi otonomi dan konsensus dengan melakukan penghancuran struktur. Kekuasaan atas otonomi harus dilakukan dengan cara apa pun, termasuk penghancuran struktur status quo dan menggantikannya dengan struktur yang lebih demokratis secara radikal. Sangat tidak cukup saat kita menghancurkan jalanan karena menganggap pembangunan jalan hanya menimbulkan lebih banyak lagi polusi. Kita harus mampu mencari cara seperti menyediakan transportasi gratis, misalnya. Atau contoh lainnya, kita tak cukup sekedar mengkritik pola pendidikan di Indonesia tanpa mencoba membentuk sebuah sekolah dengan pola pendidikan yang berbeda. Tak perlu sekolah besar, cukup sekolah kecil non-formal yang menggunakan pola pengajaran yang progresif.

Aksi Langsung

Otonomi juga berarti aksi langsung, tidak menunggu proposal untuk disetujui oleh “jalur legal” yang selalu memakan waktu yang berkepanjangan dan dana yang mengalir terus menerus tanpa jelas ke mana akhirnya. Mari bangun jalur kita sendiri. Kalau kita ingin orang-orang yang kelaparan mendapatkan makanan, jangan berikan uangmu pada institusi legal yang biasanya membutuhkan biaya-biaya administrasi yang akhirnya uangmu akan habis untuk keperluan birokratis mereka—cari di mana sumber makanan murah dan cukup bergizi, kumpulkan, dan bagikan langsung pada mereka yang mengalami kelaparan. Kalau kamu membutuhkan makanan murah, jangan tunggu sampai ada orang kaya memberimu makanan ataupun mencari tanah kosong dan meminta ijin pada insitusi legal untuk menggunakan lahan tersebut—hal itu hanya akan memakan waktu bertahun-tahun dan jalur berbelit-belit yang malahan akan menghabiskan dana yang kamu miliki. Cari lahan-lahan kosong, tanami dengan tanaman pangan yang mampu tumbuh di tempat tersebut. Langkah berikutnya adalah memelihara dan menjaganya agar dapat tumbuh subur. Akan lebih baik jika dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut secara gotong-royong dengan lebih banyak orang. Kita akan mampu untuk memelihara dan menikmati hasilnya bersama-sama. Apabila ada tuan tanah berusaha meratakan lahan panganmu karena kamu dianggap menggunakan lahan kosongnya tanpa izin, pertahankanlah bersama-sama. Para tuan tanah tersebut terlihat benar hanya karena mereka memiliki uang yang jauh lebih banyak daripada dirimu dan hukum memang melindungi mereka, bukan kalian. Jangan tunggu sebuah ijin legal disahkan untukmu, jangan tunggu mereka yang memegang kekuasaan memberitahu padamu apa yang harus dilakukan dengan hidupmu. Lakukan sesuatu. Saat ini juga.

Federasi Tanpa Pemimpin

Grup-grup otonomis independen dapat bekerjasama dalam sebuah federasi tanpa satu kelompok pun yang memiliki hak lebih untuk memutuskan sesuatu yang merupakan kepentingan semua kelompok. Beberapa struktur sosial seperti demikian tampak seperti sebuah utopia. Tapi sebenarnya hal-hal seperti itu mampu direalisasikan—tak perlu berharap akan terjadi dalam skala besar, cukup kita lakukan dalam skala kecil terlebih dahulu. Hal-hal besar sendiri selalu lahir dari hal-hal kecil yang terus terakumulasi dan berkelanjutan. Individu-individu yang merasa setuju sepenuhnya dengan keputusan sebuah grup tidak boleh menutup dirinya untuk bergabung juga dengan grup lainnya untuk mengembangkan keinginannya. Agar hal-hal seperti itu dapat berjalan dalam jangka panjang, kita semua perlu untuk tetap mengembangkan sikap kooperatif, saling membutuhkan dan toleransi terhadap generasi yang muncul berikutnya—hal-hal seperti itulah yang kami usulkan saat ini.

Bagaimana Menyelesaikan Perbedaan Masalah Tanpa Perlu Keberadaan Pemerintah Ataupun
Pemimpin?


Dalam struktur sosial di mana partisipasi tiap individu diutamakan, maka harus ada sebuah tekanan untuk mendorong pereduksian kebiasaan-kebiasaan yang merusak dan penuh kekerasan. Dibutuhkan sebuah pendekatan yang humanis, bukan yang penuh paksaan dan tekanan seperti yang selama ini pemerintah lakukan dengan ancaman penjara dan aparat keamanannya yang terkenal penuh kekerasan—yang hanya memupuk korupsi di antara para petugas hukum dan membenarkan tindakan kriminal yang ada. Mereka yang menolak untuk berintegrasi dengan komunitas manapun, serta menolak bantuan atau masukan dari yang lain, jelas akan menemukan kenyataan bahwa diri mereka akan tersisihkan dari interaksi manusia; tetapi hal tersebut pun lebih baik daripada pengasingan di penjara, seperti yang selama ini selalu berlaku dalam sistem sosial kita. Kekerasan seharusnya hanya dijadikan sebuah alat untuk mempertahankan diri bagi sebuah komunitas, bukannya sebagai alasan untuk menghancurkan komunitas lainnya atas pembenaran superioritas diri seperti yang selama ini juga selalu terjadi dalam sistem sosial kita. Hal ini juga diaplikasikan bagi kelompok masyarakat ataupun grup otonomis yang belum menjalin hubungan baik dengan komunitas kita. Ketidaksetujuan yang memasuki tahapan sangat serius dapat diselesaikan dengan berbagai cara seperti reorganisasi grup ataupun pembubaran. Seringkali individu-individu yang tidak dapat lagi mendapatkan kata setuju dalam sebuah grup ataupun komunitas, justru dapat lebih banyak meraih sukses dalam melakukan pola kooperatif yang dilakukan bersama individu lain di luar komunitasnya yang pertama. Apabila dalam konsensus tak dapat ditemukan kata setuju pada sebuah komunitas, maka grup tersebut perlu untuk dipecah menjadi bagian yang lebih kecil dan saling setuju dalam beberapa aktifitasnya. Hal tersebut memang kadang membuat frustrasi, tetapi hal itu tetap lebih baik daripada akhirnya keputusan dipaksakan oleh sebagian individu yang merasa memiliki kekuatan lebih dari yang lainnya. Semua komunitas independen harus selalu berurusan dengan hal tersebut, suka atau tidak suka, apabila memang tetap ingin membangun sebuah komunitas yang sehat dan terbuka.

Hidup (Ternyata) Tak Memerlukan Ijin

Ini adalah bagian tersulit, tentu saja. Tetapi bukankah kita tidak sedang membicarakan sebuah aturan sosial yang adil? Kita sedang mendiskusikan mengenai sebuah revolusi total atas hubungan manusia sehari-hari—sebuah solusi yang perlu dilakukan untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi oleh spesies kita dewasa ini. Mari hadapi kenyataan—bahwa sebelum kita semua mampu menerapkan hal tersebut, maka tak perlu heran saat kekerasan yang terjadi dalam interaksi kita sehari-hari akan terus berlanjut, dan tak ada sistem ataupun hukum yang dapat menghentikannya dan melindungi kita. Alasan terbaik untuk menggantikan demokrasi representatif adalah dengan cara membangun demokrasi konsensus di mana tak akan ada lagi solusi palsu. Memang tak ada cara yang mudah untuk menekan angka konflik tanpa mencari akar konflik itu sendiri. Mereka semua yang terlibat harus mulai belajar untuk menjadi eksis tanpa harus merendahkan yang lain, serta mengeliminir kebiasaan-kebiasaan menyebalkan kita sendiri yang justru membuat kita lelah untuk membuat sesuatu yang lebih baik di dunia ini. Perkembangan pertama yang dapat diraih dalam dunia baru ini dapat ditemukan dalam hubungan pertemanan dan cinta kita. Saat kita semua terbebaskan dari hubungan yang dipaksakan, hubungan akan menjadi lebih nyaman. Ambil contoh ini, dan terapkan dalam seluruh masyarakat—ini arti yang dimaksud dengan kalimat “melampaui demokrasi”. Adalah sebuah prospek yang menantang untuk mencapai hal tersebut dari tempat kita berada saat ini… tetapi apa yang menjadi menarik dan indah dari konsensus dan otonomi adalah bahwa kita tidak perlu menunggu terpilihnya sebuah pemerintahan yang adil dan mengerti keinginan kita semua untuk mengaplikasikan konsep di atas—kita dapat mempraktekkannya saat ini juga, dengan orang-orang di sekitar kita dan secara langsung menerima keuntungan dari hal tersebut. Sekali saja hal tersebut dipraktekkan, maka akan terbuka jelas pola hidup tersebut bagi orang lainnya; tak perlu ada khotbah mengenai mana yang baik dan mana yang buruk saat kita menghidupi aktifitas-aktifitas secara langsung. Bentuk grup otonomismu sendiri untuk menjawab tantangan bahwa penguasa tak diperlukan untuk menentukan jalan hidupmu, dan untuk membentuk lingkungan di sekitarmu yang berarti juga hidupmu sendiri. Tak ada seorang wakil pun yang dapat melakukannya untukmu—seperti juga bahwa sejak dulu tak pernah ada seorang wakil pun yang mampu melakukan sesuatu untuk hidup kita. Dari hal-hal kecil seperti yang kita lakukanlah maka demokrasi yang sesungguhnya akan terbentuk. Maka, saat seseorang berkata kepada kita di suatu waktu, “Berterimakasihlah bahwa kamu telah hidup di dalam alam yang lebih demokratis dibanding masa lalu,” kita akan menjawabnya: “Tidak cukup sampai di situ! Kita harus mengetahui dengan lebih jelas apa yang kita inginkan dan apa yang harus kita lakukan, lewat pengalaman langsung kita sendiri.”

Aksi Langsung Versus Pemilu
Panduan Bagi Komunitas-Masyarakat Non-Partai

Di Indonesia, Pemilu yang disebut sebagai pesta demokrasi di mana “masyarakat umum” akan memilih calon pemimpin mereka—yang diharapkan akan menciptakan perubahan—telah kehilangan pamornya. Ini bukan berarti bahwa masyarakat itu sendiri telah memiliki kesadaran bahwa sistem demokrasi elit ini sudah busuk dan sepatutnya diganti. Buktinya rutinitas ajang popularitas politisi dan elit borjuis terus saja berlangsung. Mengapa seperti ini? Jawaban yang mungkin paling mudah dan sederhana adalah bahwa, meskipun masyarakat “tidak percaya lagi” terhadap pemilu, mereka tidak punya pilihan lain mengenai pilihan macam apa yang dapat menciptakan perubahan yang berarti, selain memilih politisi.

Inilah mengapa banyak masyarakat merasa tak berdaya. Apalagi menimbang mentalitas budaya dominan masyarakat Indonesia di mana ketergantungan dan pendambaan akan pemimpin politik masih sangat kental. Artinya, rasa percaya diri masyarakat terhadap potensi diri mereka sendiri untuk membuat perubahan sangatlah rendah. Meski begitu, budaya sendiri merupakan sesuatu yang dibuat oleh relasi antar manusia, oleh aktivitas manusia itu sendiri, yang berarti mentalitas yang dihasilkan oleh budaya itu sendiri sangat mungkin untuk dirubah. Untuk merubahnya, kita harus terbiasa untuk melakukan aksi langsung.

Bila memang benar bahwa pemilu hanya akan memperbesar kantong para politisi dan elit borjuis, maka, adakah cara yang lebih efisien dan efektif untuk dapat merubah kehidupan kita? Jawaban yang paling mungkin dan berarti adalah bagaimana kita mewakilkan diri kita sendiri untuk memengaruhi setiap kebijakan yang akan dibuat mengenai kehidupan kita. Bagi sebagian orang, pilihan semacam ini disebut sebagai aksi langsung.

Untuk lebih menjelaskannya, aksi langsung bukanlah cara-cara melobi atau kembali memilih kandidat untuk partisipasi politik, sama sekali bukan. Aksi langsung adalah bagaimana kita membangun suatu cara di mana kita sendiri secara langsung berpartisipasi aktif dalam perencanaan hidup kita. Ini berarti kita memotong peranan para penengah. Aksi langsung adalah juga bagaimana kita menyelesaikan permasalahan tanpa harus kompromi atau mempercayai peranan para elit politik di DPR, kepanjangan tangan korporasi, atau siapa pun yang mengklaim memiliki kekuasaan di atas kita. Contoh konkrit aksi langsung ada di mana-mana. Ketika sekelompok orang mendistribusikan pangan secara cuma-cuma bagi tunawisma tanpa harus menunggu kucuran dana atau izin pemerintah, mereka telah melakukan aksi langsung. Ketika seseorang membuat dan mendistribusikan medianya sendiri tanpa harus tergantung pada media-media milik borjuis untuk memuatnya, dia telah melakukan aksi langsung. Ketika komunitas kampung membangun sekolah mandirinya sendiri dan menginisiatifkan pelajarnya untuk membuat kurikulum pelajaran menurut kebutuhan mereka masing-masing tanpa harus bersandar atau tergantung pada lembaga pendidikan resmi, itu adalah aksi langsung. Aksi langsung merupakan fondasi perjuangan masyarakat yang sebenarnya, ketika mereka ingin melakukan perubahan yang berarti. Artinya, aksi langsung adalah ketika kita tidak lagi menuntut atau mengemis agar perubahan dapat dilakukan oleh seseorang yang berada di luar dari kita dan komunitas kita—tapi bagaimana kita dan komunitas kita sendiri yang mengupayakan perubahan tersebut sekarang juga.

Dalam banyak hal, aksi langsung jelas lebih efektif dibandingkan pemilu. Pemilu itu seperti judi, bila salah satu kandidat tidak terpilih, maka energi yang telah diupayakan oleh komunitas-masyarakat untuk menggolkan kandidatnya akan terbuang sia-sia. Dengan aksi langsung, komunitas-masyarakat akan lebih yakin dengan kerjasama serta energi yang mereka keluarkan. Dan manfaat yang didapat dari aksi langsung akan membuat infrastruktur dalam masing-masing komunitas semakin kuat. Hubungan antar komunitas pun akan lebih hidup—serta manfaat-manfaat lainnya yang tidak akan sia-sia.

Pemilu memusatkan seluruh kekuatan masyarakat ke tangan segelintir politisi. Semua itu dilakukan dengan berbagai intrik, manipulasi politik, serta kongkalikong dengan para pengusaha. Mereka memaksa setiap masyarakat untuk tunduk dan tidak punya partisipasi apa-apa, selain apa yang mereka perintahkan lewat mobilisasi massa dan bayaran yang sangat kecil dibanding keuntungan yang mereka dapatkan. Dengan aksi langsung, engkau akan lebih mengenal kemampuan, inisiatif, serta sumber daya-sumber daya yang ada di sekitarmu, dan memahami sejauh mana kau bisa melakukan perubahan yang sebenarnya.

Pemilu juga memaksa semua orang agar menyepakati suatu landasan yang belum tentu cocok dengan kita. Berbagai bentuk koalisi akan dibangun untuk membuat kompromi—setiap faksi bersikukuh bahwa landasan merekalah yang paling benar dan faksi yang lainnya hanya menjadi perusak semenjak tidak dapat mengikuti landasan faksi tersebut. Namun dari kesemuanya, tak ada satu pun yang memperjuangkan kepentingan kita. Akan ada banyak energi yang terbuang sia-sia dalam rutinitas tuding-menuding ini. Dengan aksi langsung, kita tidak membutuhkan dagelan semacam itu: berbagai kelompok yang berbeda dapat menggunakan cara yang berbeda juga—semua itu dilakukan menurut apa yang mereka percayai dan mereka butuhkan. Berikutnya, yang lebih penting, mereka merasa nyaman melakukannya. Dengan demikian, kemungkinan untuk membangun kerjasama yang saling mengisi dapat terjadi. Masyarakat yang menggunakan aksi langsung yang berbeda-beda tidak perlu berdebat sengit, kecuali mereka memang sedang mencari konflik (mungkin karena ekses pengalaman pemilu bertahun-tahun yang membuat mereka sulit untuk menerima pendapat berbeda dari yang lain). Konflik yang terjadi di masa-masa pemilu seringkali menjadi pengalihan dari permasalahan-permasalahan yang nyata, sebagaimana ketika beberapa kelompok masyarakat terlibat dalam drama dan konflik dari partai politik tertentu. Dengan aksi langsung, permasalahan yang mendesak harus diangkat, dibahas, dan menuntut untuk diselesaikan.

Lagipula, Pemilu hanya dilakukan dalam kurun waktu lima tahun sekali. Aksi langsung dapat dilakukan kapan saja. Pemilu hanya mengangkat beberapa agenda politik yang dibuat oleh elit politik, sementara aksi langsung dapat dilakukan di setiap aspek kehidupanmu dan di mana saja engkau berada. Pemilu dan voting sering dilebih-lebihkan sebagai “kebebasan” yang sedang beraksi. Pemilu bukanlah kebebasan, karena kebebasan berarti secara aktif memikirkan dan memutuskan sesuatu dari awal—bukan sekedar kebebasan dalam memilih apa yang hanya disediakan oleh mereka, para elit politik yang tak pernah kita kenal. Tak ada yang dapat menggantikan aksi langsung. Dengan aksi langsung, engkau sendirilah yang membuat rencana, mencoba pilihan-pilihan dan resiko-resikonya. Dan batas dari semua itu hanyalah langit.


Catatan:
[1] Demokrasi representatif atau demokrasi perwakilan, adalah jenis demokrasi yang paling umum kita ketahui—dari yang dipraktekkan dalam kenegaraan, sampai pada komunitas kecil pada umumnya. Demokrasi model seperti ini sangat rentan terhadap pengkhianatan yang dilakukan oleh para wakil yang diklaim dipilih oleh banyak orang. Selain itu, kendali terhadap pilihan yang akan diambil sangat terpusat hanya pada para pemimpinnya, sehingga mayoritas orang, sebenarnya hanya dijadikan alat saja bagi para pemimpin tersebut. Tak heran jika kemudian demokrasi representatif melahirkan pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan oleh para pemimpinnya. Demokrasi representatif, secara mudahnya dapat diidentifikasi berbentuk piramida di mana keputusan yang dibuat berasal dari atas (minoritas) ke bawah (mayoritas).

[2] Pada kenyataannya, kepentingan mayoritas ini juga memiliki kontradiksi. Contohnya, saat Partai Golkar memenangkan pemilu dengan suara paling banyak, mayoritas dari para pemilihnya tetap saja berkubang dalam kemiskinan dan rasa frustasi—hanya para pemimpin dan elit-elit partai tersebut saja yang dapat menikmati hak-hak istimewanya. Siapa pun pemimpinnya, selama masyarakat tidak mempunyai kontrol langsung terhadap keputusan-keputusan yang dibuat, masyarakat hanya akan dijadikan sebagai sapi perahan oleh para pemimpin.

[3] Demokrasi partisipatoris atau demokrasi akar-rumput atau biasa juga disebut demokrasi konsensus, adalah kebalikan dari demokrasi representatif. Demokrasi model ini sangat menekankan pada partisipasi aktif dari anggota komunitas bukan hanya untuk menentukan pilihan saja, tapi juga dalam pembuatan pilihan-pilihan. Demokrasi partisipatoris jelas tidak dapat dipraktekkan dalam kenegaraan karena negara membutuhkan birokrasi yang bertingkat, yang memisahkan para wakil dengan para pemilihnya. Demokrasi partisipatoris adalah demokrasi dalam artian sesungguhnya, di mana masing-masing orang memiliki hak untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Jika demokrasi representatif menggunakan metode dari atas ke bawah (top-down), maka demokrasi partisipatoris lebih menekankan pengambilan keputusan dari bawah (bottom-up).

[4] Kelompok affinitas merupakan kelompok kecil berjumlah 5 sampai 20 orang yang bekerjasama secara otonom pada proyek-proyek aksi langsung ataupun proyek lain. Kelompok affinitas menantang pengambilan keputusan dari atas ke bawah, dan memberdayakan mereka yang terlibat untuk mengambil aksi langsung yang kreatif. Kelompok affinitas memampukan orang untuk melihat aksi mereka dengan kemerdekaan penuh dan kekuasaaan untuk pengambilan keputusan. Kelompok affinitas menggunakan prinsip-prinsip desentralis dan non-hierarki.

[5] Sedulur Sikep atau dikenal juga dengan sebutan Masyarakat Samin, adalah komunitas yang di awal kelahirannya memberontak untuk membayar pajak pada pemerintah kolonial Belanda. Metode perlawanan yang mereka lakukan adalah dengan melakukan pembangkangan sosial terhadap kepatuhan yang dipaksakan pada mereka. Komunitas ini menganggap setiap orang setara. Sampai sekarang komunitas ini masih eksis dan tersebar di beberapa wilayah seperti Blora, Pati, Pacitan, dll.

[6] Kemandirian dan keberdayaan yang kami maksud adalah kemandirian yang saling terhubung antar individu maupun antar komunitas—kemandirian yang tidak terpisah dengan hal-hal lainnya. Faktor-faktor ini perlu ditekankan karena sebenarnya setiap individu maupun komunitas punya keunikannya masing-masing. Bandingkan dengan individu maupun komunitas yang hanya bisa membebek pada komunitas-komunitas lainnya: semua hal akan menjadi seragam dan membosankan.

Di sisi lainnya, kemandirian yang dimaksud oleh para individualis sempit adalah kemandirian yang memutuskan relasi sosial dengan sesamanya. Mereka merasa dirinya sendiri jauh lebih baik dari orang lain. Kemandirian yang diklaim oleh para individualis sempit ini biasanya berujung pada tindakan kekerasan terhadap kelompok lain.

[7] Otonomi Daerah adalah sebuah parodi tak lucu akan kemandirian. Bagaimana mungkin sebuah daerah mampu otonom dalam konstelasi birokrasi yang terpusat, yang keputusannya tetap berada di tingkat paling atas? Otonomi daerah hanyalah sebuah restu yang diberikan pejabat-pejabat pusat di Jakarta agar para pejabat daerah bisa korupsi lebih banyak lagi, dan artinya, yang paling menderita lagi-lagi orang-orang seperti kita.


Kunjungi situs online kami:
www.katalis.tk | www.apokalips.org | www.affinitasonline.com | www.satubumi.co.nr | www.pustaka.otonomis.org | www.kontinum.tk | www.amorfatum.wordpress.com

Jumat, 27 Maret 2009

PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH

Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama Islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha –usaha yang dikategorikan haram, dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.

Sebenarnya, fungsi-fungsi bank sudah dipraktekkan pada zaman Nabi Muhammad SAW, yakni menerima simpanan uang, pembiayaan, dan jasa transfer uang. Pada umumnya, satu orang hanya melakukan satu fungsi. Kemudian, baru di zaman Bani Abbasiyah ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu orang yang disebut jihbiz. Barulah kemudian mengalami evolusi, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh institusi.

Sejarah Perkembangan dan Perbankan Syariah Dunia 

Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 1940-an, namun usaha tersebut belum berhasil. Berikutnya, eksperimen dilakukan di Pakistan pada akhir 1950-an.

Selanjutnya eksperimen pendirian bank syariah dilakukan di Mesir di kota Mit Ghamr dengan nama Mit Ghamr Local Saving Bank. Bank tersebut merupakan bank yang paling sukses dan inovatif dari masa sebelumnya, serta memberikan inspirasi kedepannya untuk perkembangan perbankan syariah.. Pemimpin perintis usaha ini adalah Ahmad El Najjar. Perbankan syariah ini muncul tanpa menggunakan embel-embel Islam, karena adanya kekhawatiran regim yang berkuasa pada saat itu yang akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Eksperimen ini berlangsung sampai 1967, dan pada saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa.

Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social Bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariah Islam.

Kemudian pada tahun 1974, berdirilah Islamic Development Bank yang disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, yang berpusat di Jeddah. Bank ini menyerupai Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, yaitu berfungsi sebagai penyedia dana untuk pembangunan negara-negara anggotanya. Bank ini secara eksplisit menyatakan diri berdasarkan pada syariah Islam.

Pada era 1970-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank Islam sudah mulai menyebar ke banyak negara. Misalnya Dubai Islamic Bank (1975), Kuwait Finance House (1977), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977), dan Bahrain Islamic Bank (1979) di Timur Tengah. Dia Asia-Pasifik berdiri Philipine Amanah Bank (1973) berdasarkan dekrit presiden, lalu Muslim Pilgrims Saving Corporation di Malaysia pada tahun 1983 yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji, dan Bank Islam Malaysia Berhad yang jadi tonggak perkembangan perbankan di Asia Tenggara pada tahun 1983.

Di Eropa tercatat sebagai bank syariah yang pertama kali beroperasi adalah The Islamic Bank International of Denmark di kota Denmark, pada tahun 1983. Sepanjang perjalanan waktu, kajian akademis maupun praktek operasional mengenai ekonomi Islam dan perbankan syariah terus dikembangkan. Untuk kajian akademis terdapat di University of Durham (Inggris), University of Portsmouth (Inggris), University of Harvard (Amerika) dan University of Wulongong (Australia). Kemudian Inggris telah menerbitkan sukuk (obligasi syariah), dan menjadi negara Barat pertama yang mengizinkan sukuk.

Sampai januari 2007, diperkirakan ada 300 bank dan institusi finansial bebasis syariah di seluruh dunia yang asetnya diproyeksikan akan tumbuh sebesar 1 triliun dollar pada 2013. Jepang juga sudah merencanakan akan mengenalkan sistem syariah dalam industri perbankannya untuk menarik nasabah dari Timur Tengah.

Sejarah Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia 

Di Indonesia, pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim Indonesia. Padahal, pemikiran mengenai perbankan syariah sudah terjadi sejak dasawarsa tahun 1970-an. Menurut Dawam Raharjo, saat memberikan kata pengantar buku Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan, penghalangnya adalah faktor politik , yaitu bahwa pendirian bank Islam dianggap sebagai bagian dari cita-cita mendirikan Negara Islam.

BMI sempat terimbas dari krisis moneter pada tahun 1998, sehingga sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada BMI dan pada periode 1999 sampai 2002 BMI berhasil bangkit dan mendapatkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah diatur dalam UU No. 16 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan kemudian UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Setelah BMI berhasil melalui krisis, barulah dari tahun 1998 sampai 2003 tercatat ada 8 bank lagi yang menawarkan jasa perbankan syariah. Riset yang dilakukan oleh Karim Business Consulting di 12 kota pada tahun 2002 menunjukkan pasar potensial bank syariah tersebar kecil-kecil pada sebaran geografis yang luas, sehingga strategi pengembangan dengan membuka kantor cabang akan memerlukan biaya besar. Strategi membuka cabang pembantu syariah di gedung yang sama dengan cabang konvensional, sebagaimana di atur BI, merupakan pilihan yang lebih efisien.

Ketika peraturan BI nomor 8/3/PBI/2006 dikeluarkan, hal ini mampu mendongkrak penghimpunan dana perbankan syariah dalam negeri dengan penerapan office-channelling. Aturan ini memungkinkan cabang bank umum yang mempunyai unit usaha syariah dapat melayani produk dan layanan syariah, khususnya pembukaan rekening, setor, dan tarik tunai.

Sampai April 2006, office-channelling baru digunakan BNI syariah dan Permata Bank Syariah. Sejumlah 212 kantor cabang Bank Permata di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya sudah dapat melayani produk dan layanan syariah. Sementara tahap awal office channelling BNI Syariah dimulai 21 April 2006 pada 29 kantor cabang utama BNI di wilayah Jabotabek. Ditargetkan 151 kantor cabang utama BNI di seluruh Indonesia akan menyusul.

General Manager BNI Syariah, Suhardi, menjelaskan bahwa untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan syariah, diluncurkan BNI Syariah Card. Kartu ini memungkinkan nasabah syariah menggunakan seluruh delivery channel yang dipunyai BNI, seluruh ATM BNI, ATM Link, ATM bersama dan jaringan ATM Cirrus Internasional di seluruh dunia.

Hingga Desember 2006, di Indonesia terdapat 3 Bank Umum Syariah dan 20 Unit Usaha Syariah. Berdasarkan data BI hingga November 2006 tercatat pangsa bank syariah masih dibawah 1,6 persen. Walaupun begitu, potensi minat masyarakat terhadap perbankan syariah cukup tinggi, Cuma sebagian besar responden mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan inilah yang coba diatasi dengan office-chanelling.

Oktober 2007
Teguh Triatmoko

Rabu, 25 Maret 2009

ANARCHISM: WHAT IT REALLY STANDS FOR

ANARCHY
Ever reviled, accursed, ne'er understood,
Thou art the grisly terror of our age.
"Wreck of all order," cry the multitude,
"Art thou, and war and murder's endless rage."
O, let them cry. To them that ne'er have striven
The truth that lies behind a word to find,
To them the word's right meaning was not given.
They shall continue blind among the blind.
But thou, O word, so clear, so strong, so pure,
Thou sayest all which I for goal have taken.
I give thee to the future! Thine secure
When each at least unto himself shall waken.
Comes it in sunshine? In the tempest's thrill?
I cannot tell--but it the earth shall see!
I am an Anarchist! Wherefore I will
Not rule, and also ruled I will not be!
JOHN HENRY MACKAY

  THE history of human growth and development is at the same time the history of the terrible struggle of every new idea heralding the approach of a brighter dawn. In its tenacious hold on tradition, the Old has never hesitated to make use of the foulest and cruelest means to stay the advent of the New, in whatever form or period the latter may have asserted itself. Nor need we retrace our steps into the distant past to realize the enormity of opposition, difficulties, and hardships placed in the path of every progressive idea. The rack, the thumbscrew, and the knout are still with us; so are the convict's garb and the social wrath, all conspiring against the spirit that is serenely marching on.
  Anarchism could not hope to escape the fate of all other ideas of innovation. Indeed, as the most revolutionary and uncompromising innovator, Anarchism must needs meet with the combined ignorance and venom of the world it aims to reconstruct.
  To deal even remotely with all that is being said and done against Anarchism would necessitate the writing of a whole volume. I shall therefore meet only two of the principal objections. In so doing, I shall attempt to elucidate what Anarchism really stands for.
  The strange phenomenon of the opposition to Anarchism is that it brings to light the relation between so-called intelligence and ignorance. And yet this is not so very strange when we consider the relativity of all things. The ignorant mass has in its favor that it makes no pretense of knowledge or tolerance. Acting, as it always does, by mere impulse, its reasons are like those of a child. "Why?" "Because." Yet the opposition of the uneducated to Anarchism deserves the same consideration as that of the intelligent man.
  What, then, are the objections? First, Anarchism is impractical, though a beautiful ideal. Second, Anarchism stands for violence and destruction, hence it must be repudiated as vile and dangerous. Both the intelligent man and the ignorant mass judge not from a thorough knowledge of the subject, but either from hearsay or false interpretation.
  A practical scheme, says Oscar Wilde, is either one already in existence, or a scheme that could be carried out under the existing conditions; but it is exactly the existing conditions that one objects to, and any scheme that could accept these conditions is wrong and foolish. The true criterion of the practical, therefore, is not whether the latter can keep intact the wrong or foolish; rather is it whether the scheme has vitality enough to leave the stagnant waters of the old, and build, as well as sustain, new life. In the light of this conception, Anarchism is indeed practical. More than any other idea, it is helping to do away with the wrong and foolish; more than any other idea, it is building and sustaining new life.
  The emotions of the ignorant man are continuously kept at a pitch by the most blood-curdling stories about Anarchism. Not a thing too outrageous to be employed against this philosophy and its exponents. Therefore Anarchism represents to the unthinking what the proverbial bad man does to the child,--a black monster bent on swallowing everything; in short, destruction and violence.
  Destruction and violence! How is the ordinary man to know that the most violent element in society is ignorance; that its power of destruction is the very thing Anarchism is combating? Nor is he aware that Anarchism, whose roots, as it were, are part of nature's forces, destroys, not healthful tissue, but parasitic growths that feed on the life's essence of society. It is merely clearing the soil from weeds and sagebrush, that it may eventually bear healthy fruit.
  Someone has said that it requires less mental effort to condemn than to think. The widespread mental indolence, so prevalent in society, proves this to be only too true. Rather than to go to the bottom of any given idea, to examine into its origin and meaning, most people will either condemn it altogether, or rely on some superficial or prejudicial definition of non-essentials.
  Anarchism urges man to think, to investigate, to analyze every proposition; but that the brain capacity of the average reader be not taxed too much, I also shall begin with a definition, and then elaborate on the latter.
ANARCHISM:--The philosophy of a new social order based on liberty unrestricted by man-made law; the theory that all forms of government rest on violence, and are therefore wrong and harmful, as well as unnecessary.
  The new social order rests, of course, on the materialistic basis of life; but while all Anarchists agree that the main evil today is an economic one, they maintain that the solution of that evil can be brought about only through the consideration of every phase of life,--individual, as well as the collective; the internal, as well as the external phases.
  A thorough perusal of the history of human development will disclose two elements in bitter conflict with each other; elements that are only now beginning to be understood, not as foreign to each other, but as closely related and truly harmonious, if only placed in proper environment: the individual and social instincts. The individual and society have waged a relentless and bloody battle for ages, each striving for supremacy, because each was blind to the value and importance of the other. The individual and social instincts,--the one a most potent factor for individual endeavor, for growth, aspiration, self-realization; the other an equally potent factor for mutual helpfulness and social well-being.
  The explanation of the storm raging within the individual, and between him and his surroundings, is not far to seek. The primitive man, unable to understand his being, much less the unity of all life, felt himself absolutely dependent on blind, hidden forces ever ready to mock and taunt him. Out of that attitude grew the religious concepts of man as a mere speck of dust dependent on superior powers on high, who can only be appeased by complete surrender. All the early sagas rest on that idea, which continues to be the Leitmotiv of the biblical tales dealing with the relation of man to God, to the State, to society. Again and again the same motif, man is nothing, the powers are everything. Thus Jehovah would only endure man on condition of complete surrender. Man can have all the glories of the earth, but he must not become conscious of himself. The State, society, and moral laws all sing the same refrain: Man can have all the glories of the earth, but he must not become conscious of himself.
  Anarchism is the only philosophy which brings to man the consciousness of himself; which maintains that God, the State, and society are non-existent, that their promises are null and void, since they can be fulfilled only through man's subordination. Anarchism is therefore the teacher of the unity of life; not merely in nature, but in man. There is no conflict between the individual and the social instincts, any more than there is between the heart and the lungs: the one the receptacle of a precious life essence, the other the repository of the element that keeps the essence pure and strong. The individual is the heart of society, conserving the essence of social life; society is the lungs which are distributing the element to keep the life essence--that is, the individual--pure and strong.
  "The one thing of value in the world," says Emerson, "is the active soul; this every man contains within him. The soul active sees absolute truth and utters truth and creates." In other words, the individual instinct is the thing of value in the world. It is the true soul that sees and creates the truth alive, out of which is to come a still greater truth, the re-born social soul.
  Anarchism is the great liberator of man from the phantoms that have held him captive; it is the arbiter and pacifier of the two forces for individual and social harmony. To accomplish that unity, Anarchism has declared war on the pernicious influences which have so far prevented the harmonious blending of individual and social instincts, the individual and society.
  Religion, the dominion of the human mind; Property, the dominion of human needs; and Government, the dominion of human conduct, represent the stronghold of man's enslavement and all the horrors it entails. Religion! How it dominates man's mind, how it humiliates and degrades his soul. God is everything, man is nothing, says religion. But out of that nothing God has created a kingdom so despotic, so tyrannical, so cruel, so terribly exacting that naught but gloom and tears and blood have ruled the world since gods began. Anarchism rouses man to rebellion against this black monster. Break your mental fetters, says Anarchism to man, for not until you think and judge for yourself will you get rid of the dominion of darkness, the greatest obstacle to all progress.
  Property, the dominion of man's needs, the denial of the right to satisfy his needs. Time was when property claimed a divine right, when it came to man with the same refrain, even as religion, "Sacrifice! Abnegate! Submit!" The spirit of Anarchism has lifted man from his prostrate position. He now stands erect, with his face toward the light. He has learned to see the insatiable, devouring, devastating nature of property, and he is preparing to strike the monster dead.
  "Property is robbery," said the great French Anarchist Proudhon. Yes, but without risk and danger to the robber. Monopolizing the accumulated efforts of man, property has robbed him of his birthright, and has turned him loose a pauper and an outcast. Property has not even the time-worn excuse that man does not create enough to satisfy all needs. The A B C student of economics knows that the productivity of labor within the last few decades far exceeds normal demand. But what are normal demands to an abnormal institution? The only demand that property recognizes is its own gluttonous appetite for greater wealth, because wealth means power; the power to subdue, to crush, to exploit, the power to enslave, to outrage, to degrade. America is particularly boastful of her great power, her enormous national wealth. Poor America, of what avail is all her wealth, if the individuals comprising the nation are wretchedly poor? If they live in squalor, in filth, in crime, with hope and joy gone, a homeless, soilless army of human prey.
  It is generally conceded that unless the returns of any business venture exceed the cost, bankruptcy is inevitable. But those engaged in the business of producing wealth have not yet learned even this simple lesson. Every year the cost of production in human life is growing larger (50,000 killed, 100,000 wounded in America last year); the returns to the masses, who help to create wealth, are ever getting smaller. Yet America continues to be blind to the inevitable bankruptcy of our business of production. Nor is this the only crime of the latter. Still more fatal is the crime of turning the producer into a mere particle of a machine, with less will and decision than his master of steel and iron. Man is being robbed not merely of the products of his labor, but of the power of free initiative, of originality, and the interest in, or desire for, the things he is making.
  Real wealth consists in things of utility and beauty, in things that help to create strong, beautiful bodies and surroundings inspiring to live in. But if man is doomed to wind cotton around a spool, or dig coal, or build roads for thirty years of his life, there can be no talk of wealth. What he gives to the world is only gray and hideous things, reflecting a dull and hideous existence,--too weak to live, too cowardly to die. Strange to say, there are people who extol this deadening method of centralized production as the proudest achievement of our age. They fail utterly to realize that if we are to continue in machine subserviency, our slavery is more complete than was our bondage to the King. They do not want to know that centralization is not only the death-knell of liberty, but also of health and beauty, of art and science, all these being impossible in a clock-like, mechanical atmosphere.
  Anarchism cannot but repudiate such a method of production: its goal is the freest possible expression of all the latent powers of the individual. Oscar Wilde defines a perfect personality as "one who develops under perfect conditions, who is not wounded, maimed, or in danger." A perfect personality, then, is only possible in a state of society where man is free to choose the mode of work, the conditions of work, and the freedom to work. One to whom the making of a table, the building of a house, or the tilling of the soil, is what the painting is to the artist and the discovery to the scientist,--the result of inspiration, of intense longing, and deep interest in work as a creative force. That being the ideal of Anarchism, its economic arrangements must consist of voluntary productive and distributive associations, gradually developing into free communism, as the best means of producing with the least waste of human energy. Anarchism, however, also recognizes the right of the individual, or numbers of individuals, to arrange at all times for other forms of work, in harmony with their tastes and desires.
  Such free display of human energy being possible only under complete individual and social freedom, Anarchism directs its forces against the third and greatest foe of all social equality; namely, the State, organized authority, or statutory law,--the dominion of human conduct.
  Just as religion has fettered the human mind, and as property, or the monopoly of things, has subdued and stifled man's needs, so has the State enslaved his spirit, dictating every phase of conduct. "All government in essence," says Emerson, "is tyranny." It matters not whether it is government by divine right or majority rule. In every instance its aim is the absolute subordination of the individual.
  Referring to the American government, the greatest American Anarchist, David Thoreau, said: "Government, what is it but a tradition, though a recent one, endeavoring to transmit itself unimpaired to posterity, but each instance losing its integrity; it has not the vitality and force of a single living man. Law never made man a whit more just; and by means of their respect for it, even the well disposed are daily made agents of injustice."
  Indeed, the keynote of government is injustice. With the arrogance and self-sufficiency of the King who could do no wrong, governments ordain, judge, condemn, and punish the most insignificant offenses, while maintaining themselves by the greatest of all offenses, the annihilation of individual liberty. Thus Ouida is right when she maintains that "the State only aims at instilling those qualities in its public by which its demands are obeyed, and its exchequer is filled. Its highest attainment is the reduction of mankind to clockwork. In its atmosphere all those finer and more delicate liberties, which require treatment and spacious expansion, inevitably dry up and perish. The State requires a taxpaying machine in which there is no hitch, an exchequer in which there is never a deficit, and a public, monotonous, obedient, colorless, spiritless, moving humbly like a flock of sheep along a straight high road between two walls."
  Yet even a flock of sheep would resist the chicanery of the State, if it were not for the corruptive, tyrannical, and oppressive methods it employs to serve its purposes. Therefore Bakunin repudiates the State as synonymous with the surrender of the liberty of the individual or small minorities,--the destruction of social relationship, the curtailment, or complete denial even, of life itself, for its own aggrandizement. The State is the altar of political freedom and, like the religious altar, it is maintained for the purpose of human sacrifice.
  In fact, there is hardly a modern thinker who does not agree that government, organized authority, or the State, is necessary only to maintain or protect property and monopoly. It has proven efficient in that function only.
  Even George Bernard Shaw, who hopes for the miraculous from the State under Fabianism, nevertheless admits that "it is at present a huge machine for robbing and slave-driving of the poor by brute force." This being the case, it is hard to see why the clever prefacer wishes to uphold the State after poverty shall have ceased to exist.
  Unfortunately, there are still a number of people who continue in the fatal belief that government rests on natural laws, that it maintains social order and harmony, that it diminishes crime, and that it prevents the lazy man from fleecing his fellows. I shall therefore examine these contentions.
  A natural law is that factor in man which asserts itself freely and spontaneously without any external force, in harmony with the requirements of nature. For instance, the demand for nutrition, for sex gratification, for light, air, and exercise, is a natural law. But its expression needs not the machinery of government, needs not the club, the gun, the handcuff, or the prison. To obey such laws, if we may call it obedience, requires only spontaneity and free opportunity. That governments do not maintain themselves through such harmonious factors is proven by the terrible array of violence, force, and coercion all governments use in order to live. Thus Blackstone is right when he says, "Human laws are invalid, because they are contrary to the laws of nature."
  Unless it be the order of Warsaw after the slaughter of thousands of people, it is difficult to ascribe to governments any capacity for order or social harmony. Order derived through submission and maintained by terror is not much of a safe guaranty; yet that is the only "order" that governments have ever maintained. True social harmony grows naturally out of solidarity of interests. In a society where those who always work never have anything, while those who never work enjoy everything, solidarity of interests is non-existent; hence social harmony is but a myth. The only way organized authority meets this grave situation is by extending still greater privileges to those who have already monopolized the earth, and by still further enslaving the disinherited masses. Thus the entire arsenal of government--laws, police, soldiers, the courts, legislatures, prisons,--is strenuously engaged in "harmonizing" the most antagonistic elements in society.
  The most absurd apology for authority and law is that they serve to diminish crime. Aside from the fact that the State is itself the greatest criminal, breaking every written and natural law, stealing in the form of taxes, killing in the form of war and capital punishment, it has come to an absolute standstill in coping with crime. It has failed utterly to destroy or even minimize the horrible scourge of its own creation.
  Crime is naught but misdirected energy. So long as every institution of today, economic, political, social, and moral, conspires to misdirect human energy into wrong channels; so long as most people are out of place doing the things they hate to do, living a life they loathe to live, crime will be inevitable, and all the laws on the statutes can only increase, but never do away with, crime. What does society, as it exists today, know of the process of despair, the poverty, the horrors, the fearful struggle the human soul must pass on its way to crime and degradation. Who that knows this terrible process can fail to see the truth in these words of Peter Kropotkin:
  "Those who will hold the balance between the benefits thus attributed to law and punishment and the degrading effect of the latter on humanity; those who will estimate the torrent of depravity poured abroad in human society by the informer, favored by the Judge even, and paid for in clinking cash by governments, under the pretext of aiding to unmask crime; those who will go within prison walls and there see what human beings become when deprived of liberty, when subjected to the care of brutal keepers, to coarse, cruel words, to a thousand stinging, piercing humiliations, will agree with us that the entire apparatus of prison and punishment is an abomination which ought to be brought to an end."
  The deterrent influence of law on the lazy man is too absurd to merit consideration. If society were only relieved of the waste and expense of keeping a lazy class, and the equally great expense of the paraphernalia of protection this lazy class requires, the social tables would contain an abundance for all, including even the occasional lazy individual. Besides, it is well to consider that laziness results either from special privileges, or physical and mental abnormalities. Our present insane system of production fosters both, and the most astounding phenomenon is that people should want to work at all now. Anarchism aims to strip labor of its deadening, dulling aspect, of its gloom and compulsion. It aims to make work an instrument of joy, of strength, of color, of real harmony, so that the poorest sort of a man should find in work both recreation and hope.
  To achieve such an arrangement of life, government, with its unjust, arbitrary, repressive measures, must be done away with. At best it has but imposed one single mode of life upon all, without regard to individual and social variations and needs. In destroying government and statutory laws, Anarchism proposes to rescue the self-respect and independence of the individual from all restraint and invasion by authority. Only in freedom can man grow to his full stature. Only in freedom will he learn to think and move, and give the very best in him. Only in freedom will he realize the true force of the social bonds which knit men together, and which are the true foundation of a normal social life.
  But what about human nature? Can it be changed? And if not, will it endure under Anarchism?
  Poor human nature, what horrible crimes have been committed in thy name! Every fool, from king to policeman, from the flatheaded parson to the visionless dabbler in science, presumes to speak authoritatively of human nature. The greater the mental charlatan, the more definite his insistence on the wickedness and weaknesses of human nature. Yet, how can any one speak of it today, with every soul in a prison, with every heart fettered, wounded, and maimed?
  John Burroughs has stated that experimental study of animals in captivity is absolutely useless. Their character, their habits, their appetites undergo a complete transformation when torn from their soil in field and forest. With human nature caged in a narrow space, whipped daily into submission, how can we speak of its potentialities?
  Freedom, expansion, opportunity, and, above all, peace and repose, alone can teach us the real dominant factors of human nature and all its wonderful possibilities.
  Anarchism, then, really stands for the liberation of the human mind from the dominion of religion; the liberation of the human body from the dominion of property; liberation from the shackles and restraint of government. Anarchism stands for a social order based on the free grouping of individuals for the purpose of producing real social wealth; an order that will guarantee to every human being free access to the earth and full enjoyment of the necessities of life, according to individual desires, tastes, and inclinations.
  This is not a wild fancy or an aberration of the mind. It is the conclusion arrived at by hosts of intellectual men and women the world over; a conclusion resulting from the close and studious observation of the tendencies of modern society: individual liberty and economic equality, the twin forces for the birth of what is fine and true in man.
  As to methods. Anarchism is not, as some may suppose, a theory of the future to be realized through divine inspiration. It is a living force in the affairs of our life, constantly creating new conditions. The methods of Anarchism therefore do not comprise an iron-clad program to be carried out under all circumstances. Methods must grow out of the economic needs of each place and clime, and of the intellectual and temperamental requirements of the individual. The serene, calm character of a Tolstoy will wish different methods for social reconstruction than the intense, overflowing personality of a Michael Bakunin or a Peter Kropotkin. Equally so it must be apparent that the economic and political needs of Russia will dictate more drastic measures than would England or America. Anarchism does not stand for military drill and uniformity; it does, however, stand for the spirit of revolt, in whatever form, against everything that hinders human growth. All Anarchists agree in that, as they also agree in their opposition to the political machinery as a means of bringing about the great social change.
  "All voting," says Thoreau, "is a sort of gaming, like checkers, or backgammon, a playing with right and wrong; its obligation never exceeds that of expediency. Even voting for the right thing is doing nothing for it. A wise man will not leave the right to the mercy of chance, nor wish it to prevail through the power of the majority." A close examination of the machinery of politics and its achievements will bear out the logic of Thoreau.
  What does the history of parliamentarism show? Nothing but failure and defeat, not even a single reform to ameliorate the economic and social stress of the people. Laws have been passed and enactments made for the improvement and protection of labor. Thus it was proven only last year that Illinois, with the most rigid laws for mine protection, had the greatest mine disasters. In States where child labor laws prevail, child exploitation is at its highest, and though with us the workers enjoy full political opportunities, capitalism has reached the most brazen zenith.
  Even were the workers able to have their own representatives, for which our good Socialist politicians are clamoring, what chances are there for their honesty and good faith? One has but to bear in mind the process of politics to realize that its path of good intentions is full of pitfalls: wire-pulling, intriguing, flattering, lying, cheating; in fact, chicanery of every description, whereby the political aspirant can achieve success. Added to that is a complete demoralization of character and conviction, until nothing is left that would make one hope for anything from such a human derelict. Time and time again the people were foolish enough to trust, believe, and support with their last farthing aspiring politicians, only to find themselves betrayed and cheated.
  It may be claimed that men of integrity would not become corrupt in the political grinding mill. Perhaps not; but such men would be absolutely helpless to exert the slightest influence in behalf of labor, as indeed has been shown in numerous instances. The State is the economic master of its servants. Good men, if such there be, would either remain true to their political faith and lose their economic support, or they would cling to their economic master and be utterly unable to do the slightest good. The political arena leaves one no alternative, one must either be a dunce or a rogue.
  The political superstition is still holding sway over the hearts and minds of the masses, but the true lovers of liberty will have no more to do with it. Instead, they believe with Stirner that man has as much liberty as he is willing to take. Anarchism therefore stands for direct action, the open defiance of, and resistance to, all laws and restrictions, economic, social, and moral. But defiance and resistance are illegal. Therein lies the salvation of man. Everything illegal necessitates integrity, self-reliance, and courage. In short, it calls for free, independent spirits, for "men who are men, and who have a bone in their backs which you cannot pass your hand through."
  Universal suffrage itself owes its existence to direct action. If not for the spirit of rebellion, of the defiance on the part of the American revolutionary fathers, their posterity would still wear the King's coat. If not for the direct action of a John Brown and his comrades, America would still trade in the flesh of the black man. True, the trade in white flesh is still going on; but that, too, will have to be abolished by direct action. Trade-unionism, the economic arena of the modern gladiator, owes its existence to direct action. It is but recently that law and government have attempted to crush the trade-union movement, and condemned the exponents of man's right to organize to prison as conspirators. Had they sought to assert their cause through begging, pleading, and compromise, trade-unionism would today be a negligible quantity. In France, in Spain, in Italy, in Russia, nay even in England (witness the growing rebellion of English labor unions), direct, revolutionary, economic action has become so strong a force in the battle for industrial liberty as to make the world realize the tremendous importance of labor's power. The General Strike, the supreme expression of the economic consciousness of the workers, was ridiculed in America but a short time ago. Today every great strike, in order to win, must realize the importance of the solidaric general protest.
  Direct action, having proven effective along economic lines, is equally potent in the environment of the individual. There a hundred forces encroach upon his being, and only persistent resistance to them will finally set him free. Direct action against the authority in the shop, direct action against the authority of the law, direct action against the invasive, meddlesome authority of our moral code, is the logical, consistent method of Anarchism.
  Will it not lead to a revolution? Indeed, it will. No real social change has ever come about without a revolution. People are either not familiar with their history, or they have not yet learned that revolution is but thought carried into action.
  Anarchism, the great leaven of thought, is today permeating every phase of human endeavor. Science, art, literature, the drama, the effort for economic betterment, in fact every individual and social opposition to the existing disorder of things, is illumined by the spiritual light of Anarchism. It is the philosophy of the sovereignty of the individual. It is the theory of social harmony. It is the great, surging, living truth that is reconstructing the world, and that will usher in the Dawn.



This page has been accessed by visitors outside of Pitzer College times since December 25, 1999.

http://dwardmac.pitzer.edu/Anarchist_Archives/goldman/aando/anarchism.html

Resep Vegetarian Sehari-hari


Selamat!

Anda telah membuat pilihan hidup yang sehat dan penuh kasih yang menyelamatkan banyak kehidupan di atas planet bumi. Vegetarian (vegan) adalah gaya hidup masa kini yang sehat dan bebas kolesterol. Anda telah meminimalkan resiko Anda untuk terserang penyakit-penyakit berbahaya seperti jantung, kanker, stroke, osteoporosis, diabetes, dan masih banyak lagi penyakit-penyakit berbahaya lainnya yang disebabkan oleh konsumsi daging.

Dan sejak saat ini Anda tidak perlu lagi mengkhawatirkan penyakit-penyakit hewan masa kini seperti sapi gila, flu burung, kuku dan mulut, serta penyakit-penyakit hewan modern lainnya yang masih terus bermunculan hingga detik ini.

Anda tidak perlu lagi khawatir dengan resiko kesehatan yang ditimbulkan oleh hormon-hormon pertumbuhan dan obat-obatan yang disuntikkan secara berlebihan pada hewan-hewan ternak modern. Begitu juga dengan kontaminasi racun dan logam-logam berbahaya pada ikan, kerang, kepiting, serta hasil-hasil tangkapan laut lainnya.

Dan yang jelas, dengan bervegetarian, Anda berjasa sebagai orang yang turut serta dalam meminimalkan dampak pemanasan global bagi planet bumi. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai gaya hidup vegetarian (vegan), serta hubungannya dengan global warming, silahkan ikuti ikuti informasi tambahan yang tersedia dibagian belakang buku ini.

Format PDF; Size 1.08 MB; Download here!

"Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya?"


Saya tahu ada banyak motivasi yang diberikan orang-orang di sekitar Anda tentang pentingnya Anda membuka dan menjadi owner dari usaha milik Anda sendiri. Terhadap keinginan itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa kalau Anda memang mau menjadi pemilik usaha, ya nggak apa-apa. Namun, tidak ada salahnya juga ‘kan kalau Anda tetap memutuskan untuk menjadi karyawan?

Iya dong. Menjadi karyawan adalah pilihan yang harus dihormati. Logikanya saja deh, kalau tidak ada orang yang mau jadi karyawan di dunia ini, siapa yang akan menjalankan bisnis? Tidak ada, kan? Jadi, kalau Anda seorang karyawan, jangan mau terprovokasi tentang tidak perlunya menjadi karyawan lama-lama. Oleh karena, bagaimanapun, karyawan dan pengusaha adalah mitra yang sama-sama menjalankan bisnis.

Cuma saja, karyawan─tentu saja─memiliki hak yang berbeda dengan si pengusaha. Si pengusaha, yang biasanya pada awalnya juga menjadi pimpinan di perusahaan tersebut, berhak memecat si karyawan, sementara si karyawan tidak berhak memecat bosnya.

Satu lagi, banyak pendapat di luar sana─terutama di kalangan wiraswastawan─yang sering kali “melecehkan” pekerjaan sebagai karyawan. Pelecehan utamanya adalah bahwa dengan menjadi karyawan Anda tidak akan pernah bisa kaya. 

Huh, kata siapa?

Pertanyaan saya, pernahkah Anda melihat karyawan yang kaya? Jangan bilang tidak pernah. Saya pernah melihatnya. Bahkan sering. Bukan satu dua kali saya melihat ada banyak karyawan yang bisa hidup makmur, dan tetap menjadi karyawan sampai pensiun. Sebaliknya, banyak juga di antara karyawan yang kebetulan belum makmur, kemudian mereka datang ke kantor kami, berkonsultasi, dan setelah itu, dalam beberapa tahun ia mulai bisa menumpuk kekayaan satu demi satu. Dari sinilah saya lalu berani mengeluarkan kesimpulan: “Jadi karyawan juga bisa kaya ….”

Author: Safir Senduk

Format PDF; Size 671.04 KB; Download here!

Rabu, 18 Maret 2009

Fire of Human Liberation in Greece (The heaven Storm) part 3

RUU APP: FOBIA SEKSUAL PARA ULAMA DAN BIROKRAT ISLAM (part 3)

Legitimasi untuk Menginvasi Ruang-Ruang Privat Terakhir


"It's because the real threats to Indonesia's fragile morality, particulary corrupt officials, are too dangerous to attack.”
—Inul Daratista, dalam interview dengan majalah Time.


Seperti telah diterangkan sebelumnya, seks seringkali dinilai sebagai sebuah urusan libido dan tubuh, yang pada gilirannya justru memperbudak tubuh dan gairah manusia sendiri. Sebelum meletusnya revolusi seksual, seks difragmentasikan sebagai sekedar aktifitas prokreasi yang jelas memenjarakan gairah dan kenikmatan yang dihadirkan, dan ia juga menjadi alasan untuk menghakimi tubuh. Seks terasing dari tubuh. Seks menjadi sesuatu yang tabu. Seks menjadi sebuah praktek yang disertai ketakutan dan perasaan bersalah.

Harus diakui, agama setidaknya ikut bersalah dalam fragmentasi seks. Agama yang merayakan keberadaan seks semestinya tidak memusuhi seks, menerima seksualitas dalam segala aspeknya, termasuk ketubuhannya. Hal ini yang sepertinya tidak dapat diterima oleh para ulama dan birokrat Islam, apabila tidak bisa dibilang bahwa ini adalah penyakit yang diderita oleh para ulama dalam MUI. Mereka memandang bahwa semakin mereka merendahkan seks demi alasan rohani, semakin mereka menjadi suci. Padahal kesucian tidak terjadi karena seseorang merepresi gairahnya sendiri, yang ada hanyalah represi yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk kebencian terhadap tubuh—yang dalam masyarakat patriarkis seringkali ditargetkan pada tubuh yang dianggap membangkitkan gairah seksual oleh kaum lelaki: tubuh perempuan.

Perhatikan, betapa pasal-pasal dalam RUU APP jelas-jelas menyerang perempuan, memposisikan mereka sebagai sumber “kekotoran” dan segala kehancuran moral—dalam hal ini moralitas Islam. Perempuan dilarang memperlihatkan tubuhnya karena dianggap dapat membangkitkan gairah seks, gairah yang dianggap rendah dan tak suci. Hal ini artinya: tubuh perempuan itu rendah dan tak suci. Perempuan diajarkan untuk membenci tubuhnya sendiri. Di sisi lain, tubuh perempuan lantas diklaim melalui berbagai pembenaran sebagai "milik sang suami". Sebagai sebuah benda kepemilikan, ia tentu bisa diperlakukan dan digunakan kapan saja dengan menempatkan dosa dan hukuman bagi para perempuan yang tak bersedia menyerahkan tubuhnya bagi sang suami. Saat perilaku misogini (membenci perempuan) diadopsi, kebencian itu justru seringkali terletupkan dalam bentuk kekerasan seksual terhadap tubuh perempuan. Perhatikan saja, betapa di Arab Saudi yang merepresi seks melalui beragam aturan hukum dan undang-undangnya justru menjadi salah satu negara di mana kekerasan seksual terhadap perempuan menempati posisi yang tertinggi. Demikian juga Afghanistan di era kediktatoran Taliban yang misoginis.

Itu juga hal yang ironisnya tak mampu ditangkap oleh rata-rata muslimah sendiri. Puluhan muslimah selalu turut unjuk rasa di jalan-jalan menuntut agar pelegalan RUU APP dipercepat sesegera mungkin. Perhatikan ucapan Neno Warisman mengenai RUU APP yang belum lama berselang, "RUU ini bagus karena berguna bagi anak-anak dan generasi mendatang yang selama ini selalu digempur oleh tayangan-tayangan yang berbau porno dan membangkitkan syahwat. Maka saran saya adalah agar mereka yang selama ini gencar melakukan penolakan, tolonglah agar mereka memahami betul isi pasal-pasal RUU itu."

Jelas, komentar tersebut adalah komentar dari seorang yang imbisil, seperti yang rata-rata diderita oleh para selebriti yang eksibisionis.

Ia, seperti juga para pendukungnya yang lain, sekedar melihat RUU APP dalam kacamata moralitas Islam. Hal yang lebih mengerikan dari RUU tersebut seperti bagaimana ia bisa mendapatkan legalitas untuk menyerang siapa saja yang memiliki keyakinan berbeda. Dan mereka telah menyatakan diri mereka sendiri sebagai seorang yang secara intelektual tak mampu melihat problematika yang ada di balik fenomena maraknya pornografi dan pornoaksi (yang sebenarnya sebuah terminologi mengada-ada yang tak terdapat dalam kamus apa pun—sesuatu yang makin membuktikan bahwa mereka tak lebih dari sekedar makhluk imbisil).

Problematika fragmentasi seksual yang membuat seks menjadi teralienasi dengan hidup itu sendirilah yang seharusnya dipahami dan dicari solusinya. Sekedar menyerang seks sebagai sebuah gairah kebinatangan (seperti yang selalu dilakukan oleh media massa, di mana di satu sisi seks dieksploitasi habis-habisan, di sisi lain gairah seks dianggap rendah seperti dengan seringnya kata itu diganti dengan "gairah kebinatangan", atau "nafsu purba" yang selalu berkonotasi merendahkan) tak akan membawa ke mana-mana selain justru mengasingkan dan merendahkan diri mereka sendiri. Abad pertengahan telah memperlihatkan pada kita semua tentang hal demikian, belum lagi negara-negara yang mengaku menerapkan syariat Islam dengan membenarkan sikap misoginisme mereka, juga Perda kota Tangerang yang mulai memangsa korban-korban perempuan.

Dalam kasus demikian, dengan alasan apa pun, penerapan aturan demikian hanya akan menyerang semua orang, dengan korban pertamanya adalah perempuan, anak-anak dan mereka yang miskin. Perempuan yang terpaksa bekerja sekedar untuk bertahan hidup di bawah kepungan rezim ekonomi yang semakin represif, yang melakukan segala cara yang dianggap mungkin demi menghidupi anak-anaknya, adalah target-target pertama. Setelah mereka, tentu saja, anak-anak para perempuan itulah yang menjadi korban selanjutnya. Dan itu semua hanya akan dialami oleh mereka yang miskin. Dan pada gilirannya, laki-laki juga akan menjadi korban akibat pelimpahan berbagai tanggung jawab yang seharusnya dapat dibagi bersama partner perempuannya.

Maka jelas, para pendukung RUU APP hanyalah kelas menengah ke atas yang dapat dengan seenaknya menyalahkan seseorang atas hidup yang dijalaninya, tanpa mampu memahami mengapa hidup berjalan seperti ini. Ia mengenakan kedok Islam untuk mendapatkan legalitas dan dukungan publik, melibas seluruh kekuatan yang berseberangan dengannya—termasuk kekuatan-kekuatan Islam sendiri. RUU APP hanyalah sebuah usaha negara dan kelompok dominan yang kebetulan Islam, untuk mendominasi individu-individu di dalamnya hingga ke ruang-ruang yang paling privat. Seperti novel terkenal George Orwell, 1984, di mana ruang-ruang privat tidak lolos dari cengkeraman negara. Manusia kehilangan kebebasannya, hingga ke pelosok yang terdalamnya.

Selamat, kita sedang menuju sebuah negara totaliter dengan Big Brother yang bernama MUI, beserta barisan tentaranya yang bernama FPI.


http://katalis.tk/

Posturas del Kamasutra

Format ZIP; Size 1.71 MB; Download here!

Fire of Human Liberation in Greece 25


Format JPEG; Size 535.11 KB; Download here!

Fire of Human Liberation in Greece 24


Format JPE; Size 597.47 KB; Download here!

Fire of Human Liberation in Greece 23


Format JPEG; Size 328.66 KB; Download here!

Zine Aquarian Letter Voice 2 | Maret 2009


Format Pdf; Size 503.67 KB; Download here!

Get Your TAROT Reading