Selamat Datang! | Welcome!

DALAM WAKTU YANG SEMAKIN MENDESAK UNTUK TRANSFORMASI MIMPI, DIMANA RUANG-RUANG HIDUP SUDAH SEDIKIT TERSISA UNTUK KAMI MENGKREASIKAN MIMPI. DIMANA RUANG-RUANG HIDUP BUKAN LAGI BEBAS BERBICARA TENTANG MIMPI SETIAP INDIVIDU, BEBAS MEMILIH JALAN BUDAYA-PERADABAN UNTUK SETIAP KOMUNI, NAMUN SUDAH PENUH DENGAN MIMPI-MIMPI MASSAL DAN JALAN HIDUP BUDAYA-PERADABAN MASSAL DALAM BINGKAI PERBUDAKAN MANUSIA.

IDEOLOGI, PEMERINTAHAN, PASAR, KORPORASI, STRUKTUR HIDUP DALAM SEJARAH TERCIPTA MASIH BELUM MAMPU MEMBEBASKAN MANUSIA DI ATAS ALAM YANG NETRAL INI, MAKA UPAYA-UPAYA UNTUK MENCIPTAKAN RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS ALAM INI ADALAH UPAYA PEMBEBASAN INDIVIDU MANUSIA.

INDIVIDU BUKANLAH APA YANG IA PAKAI, APA YANG IA KENDARAI, APA YANG IA PERCAYAI. INDIVIDU BUKANLAH SETIAP MASALAH-MASALAH YANG MELEKAT PADA DIRINYA, LABEL-LABEL YANG DIBERIKAN KELUARGA DAN LINGKUNGANNYA. INDIVIDU ADALAH ENERGI INDEPENDEN DALAM KETAKDEFINISIAN YANG MAMPU MEMBERIKAN API KEHIDUPAN KEPADA ALAM, DIMANA ENERGI TERSEBUT JUGA BERASAL DARI API KEHIDUPAN ALAM DAN INI DINAMAI DENGAN SPIRIT.

MAKA PEMBEBASAN SPIRIT AKAN MEMBEBASKAN DUNIA, ADALAH VITAL UNTUK MENGHANCURKAN RUANG-RUANG YANG MENDESAK. PERANG TERHADAP MANIPULASI INFORMASI, HARAPAN-HARAPAN PALSU, DAN SEGALA STRUKTUR YANG MELEMAHKAN INDIVIDU DAN MEMBANGUN KEMBALI RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS KEHANCURANNYA SAMBIL MEMELIHARA DAN MENGEMBANGKAN RUANG-RUANG BEBAS YANG SUDAH TERCIPTA.

SUDAH SAATNYA BEBASKAN SPIRITMU MAKA KAMU MEMBEBASKAN DUNIAMU! ANGKAT BERPERANG KARENA INI ADALAH MEDAN PERTEMPURAN & PERTARUNGAN SPIRITUALITAS!


FREE SPIRIT-FREE WORLD
AQUARIAN
aquarian.free@gmail.com

Kunjungi Pustaka Online Aquarian

QUOTES FOR LIFE TRANSFORMATION

Rabu, 30 Juni 2010

Elegi Yang Telah Mati:Sebuah Kritik Ringan bagi Para Anarkis

7 September 2008

Dalam dunia yang telah didesain sedemikian rupa agar sistem dominasi hari ini tampak wajar, maka tak ada yang salah; semuanya dibenarkan selama itu berarti tak keluar dari lingkaran jual-beli atau komoditi. Para anarkis percaya bahwa sistem dominasi ini merupakan sesuatu yang semestinya bisa dirubah. Sialnya, para anarkis lokal[1] sendiri, terutama anak-anak muda yang mengidentikkan diri dengan kultur punk rock, terjebak di lubang yang sama dengan apa yang mereka lawan. Mereka tak lagi mampu menjaga dan mengembangkan kreatifitas perlawanannya dan hanya mereproduksi hal-hal usang yang sama sekali tidak menghantam titik lemah sistem dominasi hari ini.

Para anarkis lokal ini, alih-alih menjadi pasir yang memacetkan mesin besar sistem dominasi, malah menjadi pelumas yang melancarkan eksistensi dan perkembangan sistem dominasi. Seberapa besar semangat anarki dalam diri kita? Seberapa besar resistensi anarkis yang telah terjadi di tengah maraknya personal-personal yang menggunakan pakaian hitam-hitam, balaklava, bendera A dilingkari, dan imaji-imaji anarkis lainnya? Atau tak ada personal di sini—hanyalah massa belaka?

Beberapa mengatakan hal ini dikarenakan ide-ide anarki sendiri masih merupakan hal yang baru dan tak punya basis sejarah dalam konteks masyarakat Indonesia. Belum lagi maraknya ide-ide anarki tak bisa dipungkiri masuk ke Indonesia lewat musik punk rock. Maka tak mengherankan jika kemudian anarkis di sini harus mampu untuk membuat sejarahnya sendiri. Tanpa mengesampingkan pendapat tersebut, tulisan ini mencoba melihat dalam konteks yang lain.

Anarki menolak partai sebagai garda depan revolusi—selain juga penolakan terhadap kelompok tertentu yang konon merupakan kelompok yang paling revolusioner. Apakah anarki menolak beroganisasi? Perlu dipahami lebih mendalam, apa yang anarki tolak adalah struktur koersif yang sudah menjadi bagian integral dari hierarki. Berorganisasi dengan cara yang anarkistik tentu saja merupakan sesuatu yang sangat mungkin. Para anarkis kontemporer banyak yang menggunakan kolektif—atau grup afinitas—sebagai alat organisasi mereka. Di Indonesia sendiri, banyak kolektif-kolektif yang eksis. Dari sekian banyak kolektif tersebut, hampir mayoritasnya seragam: diinisiasikan oleh pemusik-pemusik punk rock dan sejenisnya. Kegiatannya pun serupa: menyablon, tempat ngumpul, dan mabok. Tanpa menihilkan adanya kegiatan lain seperti pertukaran informasi dan distribusi, kolektif-kolektif tersebut terlalu sangat disibukkan oleh hal-hal seperti itu sehingga tak mempunyai daya tohok terhadap sistem dominasi yang katanya mereka tentang. Jangan tersinggung jika anarki hanya mendapat tempat sebagai kenakalan masa remaja saja bagi masyarakat di luar kultur tersebut.

Gerakan anarki pun hanya termanifestasikan dalam bentuk musik keras dengan lirik yang tidak ada juntrungannya. Atau konsep murahan atas nama do it yourself, yang bukannya membebaskan diri untuk berkreasi, malah menjadi dogma yang lain. Ketika dogma menginfeksi otak, maka yang terjadi adalah kemacetan aktifitas kemanusiaan. Kolektif sendiri, sebagai bentuk organisasi yang anarkistik, kehilangan daya kreatifnya dan terpinggirkan. Ia tak lagi mempunyai keunikan dengan konsep desentralis, egaliter, maupun partisipatoris. Ia hanyalah sebentuk perkumpulan yang sama tidak berbahayanya dengan band pop versi mayor label[2].

Dalam pembantaian yang dilakukan sistem dominasi setiap harinya, hanya sekedar mengandalkan strategi kemalasan, kontra-kultur, merebut kebahagiaan personal yang terpisah dengan personal-personal lainnya yang lebih luas; tanpa dibarengi dengan hal-halnya lainnya sama saja dengan mengamininya. Tentu saja hidup ini tidak sekedar hitam-putih atau monoton. Tapi tentu kita juga dapat melihat keberpihakannya bukan?

Menolak sistem dominasi hari ini memerlukan analisa serta terlibat aktif dalam usaha penggerotannya. Usaha sekecil apa pun tentu sangat berarti semenjak kapitalisme dan sistem dominasi dipaksa berubah bentuk terus menerus lewat kemenangan-kemenangan proletar di berbagai belahan dunia. Semaju apa pun kapitalisme dan sistem dominasi, tak akan pernah menutup kemungkinan untuk melawannya. Jika para pendahulu kita dan proletar di belahan dunia lain saja sanggup, mengapa kita tidak?

Merengkuh hasrat personal adalah sesuatu yang revolusioner. Tapi hasrat sendiri tak pernah bisa berhenti hanya ketika kita telah merengkuh salah satunya. Setiap kali terjadi perengkuhan hasrat, akan terjadi produksi hasrat yang lebih tinggi lagi. Ini sama sekali bukan sedang mengamini klaim bahwa manusia pada dasarnya tamak. Tak ada sifat dasar manusia. Setiap orang lahir dengan kondisi dan lingkungan yang berbeda. Juga pilihan untuk keluar dari kungkungan sosial—dalam struktur massa—yang menegasikan personalitas.

Para anarkis lokal, yang sangat bangga mempertontonkan foto-foto dirinya yang sedang mengenakan pakaian serba hitam dengan penutup muka di akun Facebook[3], justru terjebak dengan imaji perlawanannya sendiri. Tak heran jika kemudian hal itu membuatnya menjadi etalase perlawanan yang akan sangat sukacita disponsori oleh kapitalisme. Imaji yang anarkis lokal kedepankan dalam konteks ini, terpuruk habis dalam putaran imaji belaka. Di sini, anarkis didefinisikan lewat seberapa keren dia berdandan hitam-hitam dengan bendera A dilingkari sebagai latarnya—bukan dari aktifitas revolusionernya menghantam sistem dominasi hari ini. Tak ada bedanya dengan lifestyle-fashion versi majalah Cosmopolitan, bukan?

Menjadi revolusioner, dengan anarki sebagai titik tolaknya, bukan berarti berhenti menjadi keren. Cukuplah para aktifis ideologis (marxis-leninis, trotskyis, stanilis, nasionalis, posmodernis, maupun agamis) saja yang mencelakakan dirinya lewat klaim radikalitas yang kenyataannya membunuh kreatifitas. Anarkis harus mampu melihat cakrawala lain yang mungkin—yang melampaui batas-batas cakrawala yang ditawarkan dunia modern dan sistem dominasi hari ini. Kegiatan-kegiatan revolusioner diusahakan semaksimal mungkin untuk menarik dan menggairahkan dalam berbagai aktifitasnya. Karena kita tak bisa keluar dari kesuraman dunia hari ini dengan mengadopsi lebih banyak kesuraman.

Tak bisa dipungkiri memang, bahwa perjuangan adalah sesuatu yang berat, melelahkan, dan bahkan memuakkan. Tapi apakah jalan hidup yang ditawarkan sistem dominasi hari ini dapat membuatmu bahagia secara utuh? Atau lebih mudah dari melakukan suatu perlawanan bagi hidup kita yang terampas?

Untuk dapat diterima dalam struktur massa yang eksis hari ini, engkau harus mengikuti aturan yang sama sekali tidak pernah dikonfirmasikan kepadamu sebelumnya. Engkau harus tampil trendi dan gaul. Atau elegan. Untuk itu engkau harus bersusah payah mengikuti tren mode dan fashion, juga referensimu akan teknologi yang gadget—mereka tak butuh gejolak jiwa apalagi filosofi karena mereka hanya akan menilaimu dari permukaannya saja, kamerad. Untuk dapat memiliki hal-hal itu (barang-barang dan status kelas), engkau harus punya uang untuk membelinya. Sementara engkau tak selamanya mampu mengakses itu karena sedari kamu lahir tirani ekonomi telah meluluhlantakkan dirimu dan lingkunganmu. Kemudian, engkau harus bekerja agar dapat uang dan mampu mengakses hal-hal tersebut. Untuk dapat diterima kerja, engkau harus menghilangkan kekritisan dan kreatifitasmu dan hanya menuruti perintah bosmu. Akh, ternyata uangmu tak cukup banyak kamerad: engkau harus bekerja lebih keras dan lebih banyak lagi. Untuk itu, engkau harus benar-benar menjadi robot dan menghilangkan kemanusiaanmu yang masih tersisa. Akhirnya engkau pun lupa, benar-benar lupa, akan tujuan awalmu menjadi bahagia.

Mempunyai uang dan mampu mengakses banyak hal adalah sesuatu yang membahagiakan, memang. Tapi tidakah terlihat bahwa hanya sedikit saja orang yang mampu menjadi seperti itu? Padahal, bukankah hal-hal seperti itu seharusnya dapat diakses dan dinikmati oleh banyak orang?

Kebahagiaan adalah nilai yang luhur. Inilah dikotomi antara kerja dan bersenang-senang. Kerja yang didasarkan oleh tanggung jawab, mereduksi harmoni ke dalam beban. Bersenang-senang didasarkan oleh rasa cinta. Ia takkan pernah menjadi suatu beban karena ia tak memuat nilai beban. Prinsipnya adalah kebahagiaan akan tercipta jika kebahagiaan terjadi di sekitarnya. Seorang personal akan tetap eksis dalam sebuah masyarakat, begitu pula sebaliknya. Kebahagiaan yang separatis sewaktu-waktu akan menciptakan konflik. Manusia baru benar-benar bebas hanya ketika berada di antara persamaan manusia yang bebas juga.

Tak Cukup Bagi Anarkis Untuk Menjadi Manusia, Ia Harus Menjadi Dinamit yang Menyala

Di tengah perang kelas yang sedang diredam ini, anarkis harus mampu menunjukkan poin-poin uniknya yang melampaui kedangkalan kritik oposisi-bayangan[4] dari sistem yang eksis hari ini. Sekaligus menohok pengorbanan diri para puritan agamis demi sesuatu di luar dirinya.

Dengan menolak cetak-biru yang dipaksakan, kita telah memulai sebuah perjalanan yang penuh petualangan untuk hidup. Masa depan belum lagi tertulis. Tak ada yang benar-benar tahu apa yang akan terjadi di sana. Satu-satunya hal yang pasti adalah saat ini kita sedang dihancurleburkan dengan sangat pelan dan terstruktur rapih. Revolusi kecil-kecilan atau bahkan yang terbesar sekaligus, jika tak melihat struktur hierarkis sebagai akar dari masalah, akan menistakan dirinya sendiri ke dalam lubang yang sama menyedihkannya. Permasalahannya bukanlah bahwa orang yang memimpin kita itu baik atau tidak. Dapat menjadi suri teladan atau oportunis. Masalahnya, ketika siapa pun—dengan ideologi apa pun—yang menceburkan diri ke dalam struktur hierarkis, akan tersedot habis di dalamnya.

Perjuangan anarkis, dengan itu harus merujuk bukan hanya pada masa lalu yang gemilang maupun masa kini yang terasa gelap. Ia harus mampu untuk membuat formula dan cetak-kecilnya sendiri. Sekedar melakukan aktifitas-aktifitas perlawanan yang telah direkuperasi, tak akan mampu menerobos kebuntuan.

Grafitty action dan mural, misalnya. Hal ini telah kehilangan daya tohoknya bagi sistem dominasi semenjak grafiti dan mural telah menjadi ajang eksistensi sebuah genk motor atau karya seni belaka. Bukan menyepelekan daya picu dari hal ini, tapi hal ini pun perlu dibarengi hal-hal laen yang memang dapat menampar kekuasaan—jika memang perjuangan ini adalah untuk hidup, bukan sekedar bertahan hidup.

Setelah sekian waktu merongrong dengan destruksi-destruksi kecil, sudah saatnya bagi para anarkis untuk memperbesar ruang destruksi tersebut. Sekedar menjadi true dalam sistem yang tak lagi peduli pada imaji maupun ideologi, akan membuat anarkis menjadi komodifikasi berikutnya. Mtv bukan hanya sekedar saluran musik, sebagaimana lirik fuck the system bukan lagi sesuatu yang agitatif.

Hidup harus dirayakan dengan segenap madu dan racunnya. Merengkuh salah satunya dengan menegasikan lainnya tak membuat kita menjadi anarkis yang kuat. Harmoni dari hal tersebut akan menjadikan revolusi dan perjuangan menjadi sebuah tarian penyemangat—seperti Infernal Noise Brigade[5] yang menjadi molotov kedua ketika para insureksioner sedang berpesta menghancurkan tatanan koersif. Dan hidup pun bukan lagi sekedar atribut pembenaran-pembenaran ideologis saja. Atau sekedar artefak “kejayaan masa muda” yang akan diceritakan dengan kebanggaan yang tolol kepada generasi sesudahnya kelak.

Dibutuhkan satu langkah nihilistik lagi bagi para anarkis untuk menjadi lebih revolusioner!


Notes:
[1] Penggunaan istilah anarkis lokal dalam tulisan ini adalah untuk menggambarkan para anarkis yang hanya bangga pada tataran imaji belaka—sebagaimana hal itu merupakan latar belakang dari tulisan ini. Tak ada maksud mendefinisikan secara hitam-putih mana anarkis yang revolusioner dengan mana yang sekedar ikut-ikutan. Tulisan ini hanyalah sebuah kritik ringan yang coba membedah keberpihakan anarkis pada perang kelas dan perayaan hidup yang lebih bergelora.

[2] Setidaknya Chumbawumba, sebuah band pop dari Inggris, punya sesuatu yang sangat inspiratif ketimbang superstar hardcore/punk.

[3] Menggunakan balaklava, atau penutup muka lainnya merupakan sebuah upaya untuk menjadi anonim dan tidak teridentifikasi oleh aparat sistem dominasi. Ironisnya, para anarkis lokal menganggap hal itu hanyalah sebagai fashion belaka. Perhatikan saja, disamping foto-foto dirinya yang menggunakan balaklava, terpampang wajahnya dengan jelas. Untuk negara dengan intelejen yang payah seperti Indonesia saja, pihak intelejen akan dengan mudah mengendus dan menangkap para anarkis. Bayangkan jika Indonesia telah sedemikian apokalips seperti yang dibayangkan Orwell dalam 1984.

[4] Term ini ditujukan bagi kelompok-kelompok oposisi kekuasaan yang seolah-olah menampilkan sesuatu yang berbeda. Tapi tentu saja, satu-satunya hal yang membedakan mereka hanya tampilan dan bentuknya saja; substansinya tak berbeda dengan kekuasaan yang sedang eksis. Beberapa contoh argumen yang dikemukakan oleh kelompok oposisi-bayangan adalah, “yang salah itu pemimpinnya karena bukan orang yang baik”; “yang salah itu sistem pemerintahannya, seharusnya industri dan lain-lainnya dikuasai negara”; “yang salah itu negaranya, seharusnya berada di bawah kekhalifahan agar rakyat makmur sejahtera”; dan lain-lainya yang sama sekali tak mempermasalahkan struktur hierarkis yang mengintegralkan pembagian manusia ke dalam kelas-kelas sosial dan diskriminasi.

[5] Infernal Noise Brigade, merupakan sebuah marching band mutan radikal yang memainkan musik untuk merubah demonstrasi yang membosankan menjadi sebuah pesta jalanan. Pertama kali dibentuk untuk berpartisipasi dalam protes anti-WTO di Seattle tahun 1999. Setelahnya, mereka banyak terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi di Praha, Mexico, Skotlandia, dan lain-lainnya.

Senin, 28 Juni 2010

NASIONALISASI, HARAPAN ATAU ILUSI?

Umumnya, mereka yang terlibat dalam gerakan radikal kontemporer menyetujui bahwa 'nasionalisasi' - pengambilalihan aset swasta oleh negara, adalah agenda strategis perjuangan melawan kapitalisme. Terdapat optimisme yang kuat di antara pengusung nasionalisasi, bahwa dengan mengambil alih kepemilikan asing yang menguasai sumberdaya alam dan industri, kesejahteraan dapat diraih di depan mata. Jika kelompok Kiri memandang nasionalisasi adalah jalan menuju sosialisme, maka bagi para nasionalis adalah proyek menuju kedaulatan nasional.
Di Indonesia, nasionalisasi bukan isu baru. Sejak tahun 1945, kampanye nasionalisasi sering mengemuka seiring atmosfer nasionalisme, bahkan dipraktekkan pada tahun 50an saat pemerintahan Soekarno membuat Program Benteng yang menyita dan mengambilalih aset-aset kolonial, atau renegosiasi dengan profit sharing 60:40.

Di tahun-tahun ini, isu nasionalisasi kembali diteriakkan salah satunya diinspirasi keberhasilan gelombang gerakan di Amerika Latin yang membangkang terhadap neoliberalisme.
Menurut hitung-hitungan kasar, jika Indonesia mampu mengikuti Bolivia dan Venezuela dengan mengusir korporasi asing dan mengelola sendiri sumberdaya alamnya, paling tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat. Sebagai ilustrasi, cadangan minyak Indonesia sekarang sekitar 4,7 miliar barel dan cadangan potensial 5,0 miliar. Bila cadangan terbukti dan 50% cadangan potensial diproduksi dengan asumsi harga minyak dipatok $ 150/barel maka Indonesia akan mendulang $ 1.000 miliar atau Rp. 10.000 triliun. Dan jika diasumsikan biaya investasi dan produksi atau renegosiasi sebesar 25%, maka masih ada Rp.7.500 triliun yang tersisa. Dapat dibayangkan betapa besar nilai komoditi minyak Indonesia. Apa yang mengemuka saat ini bukanlah tanpa sebab. Saat ini produksi minyak nasional mencapai 846.000 barel/hari, namun ironisnya hanya 159.000 barel/hari produksi Pertamina, sisanya 687.000 barel/hari atau sekitar 81,2% dikuasai korporasi multinasional.

Belum lagi sekitar belanja sektor migas sekitar Rp. 100 triliun didominasi jasa dan barang asing. Dalam dinamikanya, propaganda nasionalisasi sangat meminimalkan tinjauan khusus mengenai kapasitas dan kontrol proletariat atas produksi, dan terjebak pada fetisisme terhadap kekuatan negara dan ‘borjuasi progresif’ untuk membebaskan proletariat. Terpesona dengan apa yang berlangsung Amerika Latin lantas menjadikannya panduan absolut, salah satunya dengan menempatkan negara sebagai sesuatu yang sakral - tempat segala perubahan digantungkan. Hal ini sekaligus menegasikan peran historis proletariat dalam pengabolisian masyarakat berkelas.
Otomatisasi bahwa nasionalisasi akan membawa kesejahteraan atau menuju sosialisme dan kedaulatan nasional tersebut akan menimbulkan banyak keraguan jika menyebut deretan BUMN lalu mengkorelasikan keberpihakan ekonominya dengan kepentingan masyarakat secara luas. Tidak mungkin menyimpulkan Perhutani berpihak pada petani, karena Perhutani membunuh petani karena me-reclaiming tanah. Begitu pula PT. Perkebunan Nusantara yang di kalangan petani terkenal dengan reputasinya merampas lahan dan merepresi mereka. Sementara PERTAMINA merepresi pekerjanya yang menuntut hak dan transparansi manajemen, disaat bersamaan pekerja PT. TELKOM menolak keinginan manajemen meliberalisasi sektor telekomunikasi nasional. Hal tersebut memberikan kesimpulan bahwa perusahaan-perusahaan milik negara justru bisa menjadi oposisi bagi kepentingan publik.
Dari sini kita bisa melihat bahwa masalahnya tidak terletak pada siapa yang memiliki, asing atau domestik, swasta ataukah negara. Namun watak apa yang terkandung di baliknya. Dan watak sosial lahir dari relasi sosial yang eksis di dalamnya.

Dan pada akhirnya istilah asing juga kembali harus diperiksa, terkait dengan semakin kaburnya definisi maupun lenturnya operasional modal. Toh, kapital tidak lagi memiliki identitas asing dan domestik saat Medco, Bakri Group, atau Kalla Group sama jahatnya dengan Exxonmobil atau Freeport.

Oleh karenanya, iika kita masih (dan senantiasa) berfikir bahwa seluruh taktik dan strategi mesti terus menerus diperiksa secara kritis, maka pembacaan alternatif atas solusi-solusi tersebut tetap relevan dibutuhkan. Demi menghindari absolutisme dan menghancurkan dogmatisme, dan semenjak sebuah strategi mesti mendapatkan kritiknya terus menerus, untuk menjumpai sebuah 'garis tanpa titik balik', maka juga diperlukan penghancuran mitos-mitos yang menyelimutinya.

Hanya dengan itu kita bisa menilai apakah nasionalisasi adalah harapan bagi pekerja, atau hanya ilusi belaka.[]

Rabu, 23 Juni 2010

AGAMA & TUHAN: Ringkasan seminar di Medan

MUNCULNYA AGAMA dan TUHAN:

Beda agama dan kepercayaan terkadang amat minim. Konghucu yang dianggap sebagai kepercayaan, sekarang diakui sebagai agama di Indonesia. Apa yang disebut kepercayaan oleh sekelompok tertentu, adalah agama oleh kelompok lainnya.
Agama atau kepercayaan bisa dilacak sejak ratusan ribu abad yang lalu. Dari jaman Batu pun, para arkeolog telah menemukan bahwa penguburan homo sapiens sekitar 300.000 tahun yang lalu, telah memakai semacam ritual.

Pada masa Paleolitik akhir (sekitar 40.000 – 10.000 tahun yang lalu) sudah ditemukan beberapa patung-patung dan ukiran yang menandakan adanya penyembahan terhadap mahluk ritual. Beberapa benda ini berbentuk kepala singa, atau menyerupai Dewi Venus. Biasanya, kepercayaan mereka menyimbulkan politeisme. Kesederhanaan penggambaran para “Tuhan” mereka ini adalah cermin dari ketakjuban mereka akan alam serta kesederhanaan evolusi manusia saat itu pula. Agama adalah ekspresi dari manusia baik secara kelompok maupun individu.

Agama yang dianggap “primitif” ini, seringkali mempunyai tuhan perempuan, karena mereka menganggap kemampuan untuk mencipta adalah serupa dengan kemampuan perempuan untuk melahirkan manusia baru. Walaupun ditemukan beberapa Dewa atau Tuhan lelaki, tapi Dewi atau Tuhan perempuan jauh lebih banyak daripada yang lelaki.


Menghilangnya Tuhan Perempuan:

Jumlah manusia pun bertambah, dan begitu pula kerumitan kebudayaan mereka. Hal ini juga tercermin dalam agama dan kepercayaan mereka. Dengan bertambahnya manusia, mereka juga membentuk suatu kelompok untuk bekerja sama. Tapi kelompok-kelompok ini juga terlibat konflik satu dengan lainnya. Agama kemudian dipakai untuk menjaga stabilitas anggota kelompok ini. Agama kemudian digunakan untuk menciptakan peraturan antara kelompok yang berbeda

Namun, bersamaan dengan adanya sistem kekuasaan, agama juga dijadikan alat untuk:
- Menegaskan otoritas pemimpin, sehingga manusia yang dipimpin tidak kacau-balau.
- Hal ini terjadi di Mesir kuno dan Mesopotamia, di mana para pemimpin juga berhak mendapat kesetiaan dari pengikutnya
Karena itulah, konsep monoteisme menjadi menguntungkan bagi kelompok-kelompok ini, karena mendukung konsep kepemimpinan sentral: Ada kekuasaan yang disembah dan ada pengikut yang tidak diperbolehkan mempertanyakan otoritas sang penguasa. Inilah yang menyebabkan politeisme perlahan-lahan diganti oleh Monoteisme – karena para penguasa yang tidak ingin kekuasaan mereka terbagi. Agama sudah tidak lagi menjadi milik rakyat atau masyarakat, tapi sudah dicekoki oleh maksud politik para penguasa.

Sebab itu pula, banyak sekali Raja-Raja dan Kaisar-kaisar yang juga berlaku sebagai utusan Tuhan. Sebagai penguasa manusia, ia juga mendapat titah dari Tuhan untuk berkuasa. Hal ini untuk memperkuat kekuasaan mereka dan mencegah adanya pemberontakan.

Setelah manusia lebih terorganisir dan agama dijadikan alat oleh para penguasa yang kebanyakan lelaki, gender Tuhannya pun berubah. Semakin banyak Tuhan dan Dewa lelaki, sehingga Dewi dan Tuhan perempuan semakin langka, dan bahkan menghilang sama sekali.


Tuhan yang Menjadi Setan:

Salah satu Tuhan kuno di daerah Mesopotamia dan Timur Tengah dikenal dengan nama Ba’al. Ba’al sebenarnya adalah nama dari sekelompok Tuhan atau Dewa-Dewi. Penyembahan terhadap Baal tersebar di Mesir, Mesopotamia, Babilonia, Asiria dan bahkan Yunani. Di Yunani, mereka mengenalnya dengan Belos yang diidentikkan dengan Dewa Zeus.

Orang-orang Yahudi juga mengakui adanya Baal, selain Yahweh. Namun, pada abad ke-9 sebelum Masehi, Kerajaan Israel, yang dulunya disatukan di bawah Raja Solomon, terpecah menjadi Kerajaan Israel Utara dan Kerajaan Judah di Selatan. Omri, adalah Raja Israel saat itu. Anaknya, Ahab menikah dengan Jezebel, seorang pendeta Baal. Karena itu, Omri juga memperbolehkan pembangunan kuil-kuil Baal di Israel. Setelah Ahab menjadi raja, ia memasukkan beberapa pendeta Baal ke Israel. Nabi Elijah, yang menyembah Yahweh, memperingatkan supaya Ahab tidak lagi menyembah dewa “asing” ini. Kemudian, Elijah menantang Jezebel dan pendeta-pendeta Baal lainnya, yang kebanyakan juga perempuan.

Kisah di Alkitab adalah: Elijah membakar sesaji untuk Yahweh dan para pengikut Baal berbuat serupa. Namun, Baal gagal mengirim api kepada pengikutnya, sedangkan Yahweh (yang lelaki) mengirim api dari surga untuk membakar sesaji Elijah bahkan api itu tidak padam setelah diguyur air.
Kekalahan Baal ini membuatnya menjadi Tuhan yang sesat, yaitu Iblis atau setan. Dan karena itu juga kata Beelzebub, berasal dari Baalzebub, salah satu Iblis penghuni Neraka.

Jadi:
- Bila tuhan adalah wujud dari budaya manusia, dan telah ada tuhan-tuhan yang diganti dengan kebudayaan ini, maka mengapa kita terus menerus mempertahankan tuhan yang baku?
- Bila tuhan kita mendiskriminasi perempuan, LGBT, atau kelompok lain, mengapa kita tidak bisa mengganti tuhan tersebut?
- Apa yang membuat kita begitu takut

Soe Tjen Marching

Sunday, 21 March 2010 at 05:15

Get Your TAROT Reading