Selamat Datang! | Welcome!

DALAM WAKTU YANG SEMAKIN MENDESAK UNTUK TRANSFORMASI MIMPI, DIMANA RUANG-RUANG HIDUP SUDAH SEDIKIT TERSISA UNTUK KAMI MENGKREASIKAN MIMPI. DIMANA RUANG-RUANG HIDUP BUKAN LAGI BEBAS BERBICARA TENTANG MIMPI SETIAP INDIVIDU, BEBAS MEMILIH JALAN BUDAYA-PERADABAN UNTUK SETIAP KOMUNI, NAMUN SUDAH PENUH DENGAN MIMPI-MIMPI MASSAL DAN JALAN HIDUP BUDAYA-PERADABAN MASSAL DALAM BINGKAI PERBUDAKAN MANUSIA.

IDEOLOGI, PEMERINTAHAN, PASAR, KORPORASI, STRUKTUR HIDUP DALAM SEJARAH TERCIPTA MASIH BELUM MAMPU MEMBEBASKAN MANUSIA DI ATAS ALAM YANG NETRAL INI, MAKA UPAYA-UPAYA UNTUK MENCIPTAKAN RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS ALAM INI ADALAH UPAYA PEMBEBASAN INDIVIDU MANUSIA.

INDIVIDU BUKANLAH APA YANG IA PAKAI, APA YANG IA KENDARAI, APA YANG IA PERCAYAI. INDIVIDU BUKANLAH SETIAP MASALAH-MASALAH YANG MELEKAT PADA DIRINYA, LABEL-LABEL YANG DIBERIKAN KELUARGA DAN LINGKUNGANNYA. INDIVIDU ADALAH ENERGI INDEPENDEN DALAM KETAKDEFINISIAN YANG MAMPU MEMBERIKAN API KEHIDUPAN KEPADA ALAM, DIMANA ENERGI TERSEBUT JUGA BERASAL DARI API KEHIDUPAN ALAM DAN INI DINAMAI DENGAN SPIRIT.

MAKA PEMBEBASAN SPIRIT AKAN MEMBEBASKAN DUNIA, ADALAH VITAL UNTUK MENGHANCURKAN RUANG-RUANG YANG MENDESAK. PERANG TERHADAP MANIPULASI INFORMASI, HARAPAN-HARAPAN PALSU, DAN SEGALA STRUKTUR YANG MELEMAHKAN INDIVIDU DAN MEMBANGUN KEMBALI RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS KEHANCURANNYA SAMBIL MEMELIHARA DAN MENGEMBANGKAN RUANG-RUANG BEBAS YANG SUDAH TERCIPTA.

SUDAH SAATNYA BEBASKAN SPIRITMU MAKA KAMU MEMBEBASKAN DUNIAMU! ANGKAT BERPERANG KARENA INI ADALAH MEDAN PERTEMPURAN & PERTARUNGAN SPIRITUALITAS!


FREE SPIRIT-FREE WORLD
AQUARIAN
aquarian.free@gmail.com

Kunjungi Pustaka Online Aquarian

QUOTES FOR LIFE TRANSFORMATION

Selasa, 27 Oktober 2009

STAY STRONG



Kuatkan hati wahai para insurgen intifada yang hanya bersenjatakan batu dan moli


[UPDATE TAKALAR] PAKAI PELURU TAJAM, POLISI KEMBALI TEMBAKI WARGA

Teman-teman, ini laporan langsung dari Tim Kerja dari Kontinum dan Malcom yang ada di Takalar. Tim ini lagi menyusun reportase dan pengambilan gambar serta interview untuk kampanye Solfest kedua (kampanye penggalangan solidaritas).

Mohon disebar…


[UPDATE TAKALAR] PAKAI PELURU TAJAM, POLISI KEMBALI TEMBAKI WARGA

Polisi kembali menembaki warga Polongbangkeng, Kabupaten Takalar. Ini adalah ketiga kalinya sejak kasus perampasan tanah oleh PTPN XIV ini muncul ke permukaan akhir 2008 lalu.

Hari Minggu, 25 Oktober 2009, warga mendengar kabar adanya aktifitas pengolahan lahan yang dilakukan oleh pihak PTPN XIV. Sekitar jam 4 sore, 10 (sepuluh) orang warga mendatangi lokasi di Blok K Desa Barugayya, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Takalar. Namun belum sampai di lokasi, aparat yang mengawal pihak PTPN, menghadang warga. Mereka mengusir dan memerintahkan untuk kembali ke rumah masing-masing jika ingin aman. Tidak menerima hal tersebut, terjadilah adu mulut tentang latar belakang pengolahan dan kasus ini sebelumnya. Kemudian ada 4 (empat) orang dari satuan Brimob dan satu orang intelijen Kodim, yang terus mendesak warga untuk pergi dari lokasi.

Karena terdesak dan waktu telah menunjukkan pukul 6 petang, warga terpaksa meninggalkan tempat tersebut. Kepulangan warga ternyata disusul oleh 1 (satu) mobil Brimob. Dalam perjalanan pulang, saat warga masih berjarak sekitar 1 km dari lokasi pengolahan, mobil aparat mendekati rombongan warga dan bergerak melambat. Saat itulah aparat yang ada di atas mobil langsung melompat turun dan menembak secara membabi buta ke arah warga.

Peluru Tajam

Terjadi kepanikan luar biasa, karena warga tidak menyangka akan mendapat tembakan dari polisi. Menurut pengakuan warga, polisi menggunakan peluru tajam saat kejadian tersebut. Ini membuat warga terpencar untuk menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Namun, Basse Dg Gassing (50 tahun) dan Bandu Dg Gissing (70 tahun) yang telah berusia lanjut akhirnya tidak bisa menghindari pengejaran di bawah rentetan tembakan. Dg Gassing dan Dg Gissing pun ditangkapi dan langsung dibawa ke kantor polisi.

Tidak cukup satu jam berselang, polisi kemudian bergerak masuk ke arah perkampungan warga di Kampung Ko’mara dengan menembak secara acak. Dari arah belakang rumah warga, polisi terus melakukan intimidasi dengan menembakkan gas airmata. Hal tersebut terus berlangsung hingga jam sepuluh malam.

Sejarah Panjang Tiga Dekade

Penghadangan warga atas aktifitas PTPN XIV yang kemudian direspon aparat dengan penembakan membabi buta, adalah kelanjutan dari perjuangan warga selama hampir tiga dekade. Sejak tahun 1980, tanah mereka diambil negara untuk dijadikan perkebunan tebu. Prosesnya berlangsung penuh tekanan, manipulasi dan represi aparat negara. Tahun 1999, seiring melemahnya rezim otoritarian Orde Baru, tanpa dikomando dan keterlibatan pihak luar, petani kembali bangkit dan berjuang mengembalikan tanah mereka yang dirampas. Mereka melakukan pendudukan dan aksi langsung (reclaiming), sebagai protes dan manifestasi perjuangan.

Meski belakangan diperlemah dengan upaya-upaya diplomasi serta represi negara, warga terus bertahan. Salah satunya dengan melakukan penghadangan serta sabotase atas aktifitas PTPN XIV yang mengancam kehidupan warga. Ini adalah bentuk swa-aktifitas warga Polongbangkeng Takalar yang berkembang secara mandiri.

Senin, 26 Oktober 2009

SOLIDARITAS BAGI PARA INSURGEN KULONPROGO

SOLIDARITAS BAGI PARA INSURGEN KULONPROGO



Lihatlah ke dalam dirimu, betapa masingmasing diri kita adalah korban dari sistem dominan yang konstan menghancurkan hidup kita dan ekosistem.

Renungkanlah, betapa masingmasing diri kita hanyalah objek yang dipaksa diam, untuk akumulasi kekuasaan dan modal yang tak pernah berpihak pada kita.

Kondisi ini memerlukan perubahan! Perubahan yang tidak sekedar usaha mengganti pemimpin maupun label kekuasaan, tapi penghancuran total dari relasi harian kita untuk menjadi manusia bebas. Perubahan tersebut menuntut usaha keras yang melampaui ilusi perubahan dari dalam sistem maupun garda depan revolusioner. Kekuatan perubahan ada di dalam diri kita masingmasing, seperti yang diperlihatkan oleh kameradkamerad di Kulonprogo siang tadi, yang dengan gagahberani menghantam tembokbesar sistem dominasi—secara frontal.

Seperti api, kita akan menyambar ledakan pertama dengan ledakanledakan berikutnya, karena kami membawa sebuah dunia baru, di tengah hati perjuangan kami. Dan dunia tersebut sedang tumbuh saat ini juga.

Untuk para insurgen di Kulonprogo dan untuk anarki.

Katalis.
www.katalis.tk

HOLIDAY in THE SUN #4

Berita dari Kulon Progo

Ribuan Petani Kulon Progo Melawan Kejahatan Korporasi hingga bertempur terhadap Polisi

Sejak pagi hari (Senin, 20 Oktober 2009) sekitar 2000 petani pesisir yang tergabung dalam PPLP (Paguyuban Petani Lahan Pantai) Kulon Progo sudah menempati jalan di depan kantor bupati Kulon Progo, Wates. Mereka datang dengan 28 truk, untuk menyampaikan sikap penolakan rencana proyek penambangan pasir besi di acara konsultasi publik proyek penambangan pasir besi. Sikap masyarakat pesisir ini adalah bentuk aksi yang sudah puluhan kali ditempuh Petani Pesisir Kulon Progo.

Konsultasi Publik ini dihadiri oleh oleh pemprakarsa proyek PT. Jogja Magasa Iron (JMI), instansi pemerintah, LSM, perangkat desa dan masyarakat. Acara ini mengundang masyarakat pesisir (petani) terdampak tak lebih dari 25 orang. Tetapi saat memperlihatkan undangan, ada sejumlah orang yang ditolak masuk ruangan. Alasan panitia, nama mereka tidak terdaftar di buku tamu walau mereka memegang undangan. Sempat terjadi negosiasi alot dengan panitia penyelenggara, karena sejumlah masyarakat ini tergabung dalam PPLP, dilarang masuk. Hingga akhirnya Ketua PPLP, Supriyadi dan beberapa orang yang terdaftar saja diperbolehkan masuk Gedung Kaca, Pemkab Kulon Progo.

Sementara di luar gedung, aksi ribuan petani terus berlanjut melakukan orasi, pembentangan spanduk, papan protes dan aksi teatrikal tentang petani melawan pemodal tambang dan birokrat berdasi. Penjagaan ketat dilakukan berlapis dengan menurunkan 600 personil polisi (PHH) dan mobil water cannon. Polisi sempat terkecoh hingga warga bisa melewati lapis pertama penjagaan polisi dan berhamburan di hadapan penjagaan lapis kedua. Massa yang berhadapan langsung tepat di depan penjagaan lapis pertama ini, sempat menggeser dan memindahkan besi palang pembatas polisi. Massa kemudian menggantinya dengan membuat garis batas antara mereka dan polisi berupa spanduk penolakan bertuliskan “Masyarakat Pesisir Kulon Progo Menyatakan Menolak Penambangan Pasir Besi dan Eksploitasi Alam Sampai Titik Darah Penghabisan”.

Di dalam Gedung, Wakil Ketua PPLP, Sutarman menginterupsi sidang yang dipimpin oleh Wakil Bupati Kulon Progo, Mulyono. Sutarman membacakan sikap resmi PPLP dihadapan Dirut PT.JMI Philip Welten, Komisaris PT.JMI: GKR Pembayun, GBPH Joyokusumo, KPH Condrokusumo, KPH Ariyo Seno, Lutfi Hayder dan peserta sidang lainnya. Dalam pernyataan sikap yang disampaikan Sutarman bahwa “Proyek Penambangan Pasir Besi ini berpotensi merusak sistem sosial masyarakat, merusak lingkungan dan ekonomi rakyat mandiri, maka masyarakat pesisir melalui komunitas PPLP(Paguyuban Petani Lahan Pantai) mendesak pemerintah Pusat Indonesia, Provinsi Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo untuk segera membatalkan rencana penambangan biji besi di kawasan pesisir Kulon Progo.”

Sutarman juga menyampaikan supaya Pemkab Kulon Progo dan PT. JMI segera bertemu langsung masyarakat pesisir di luar gedung demi memahami aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Namun seusai pernyataan sikap dibacakan, Wakil Bupati Kulon Progo Mulyono, selaku moderator sidang publik menyatakan “Apabila nanti ada hal-hal yang menggangu acara ini maka sepenuhnya ketertiban dan keamanan kami serahkan kepada Bapak Kapolres dan Jajarannya. Oleh karena itu apabila bapak/ibu yang masuk dengan baik dengan undangan ataupun tanpa undangan, bisa mengikuti dengan tenang kami silahkan, namun kalau mengganggu jalannya sidang tentu hal ini kami serahkan sepenuhnya kepada bapak kapolres Kulon Progo". Pernyataan itu dinilai terlalu intimidatif oleh Sutarman, tidak lama setelahnya 20 orang yang tergabung dalam PPLP memutuskan keluar meninggalkan sidang. Supriyadi, Ketua PPLP menegaskan, “Keinginan kami masuk menyampaikan aspirasi dihalang-halangi. Jumlah masyarakat terdampak saja di dalam tidak sampai 20 persen. Acara ini bukan forum konsultasi publik, melainkan forum legitimasi untuk meloloskan AMDAL Proyek Penambangan Bijih Besi.”

Aksi di luar gedung yang dihadang barikade Polisi tetap mengiginkan agar pihak JMI dan Pemkab Kulon Progo untuk menemui petani pesisir. Sutarman kembali masuk ruang sidang dan meminta agar Pemkab dan JMI menemui warga, namun permintaan itu ditolak mentah oleh pemerintah. Akhirnya perwakilan PPLP yang menghadiri sidang merapat ke massa aksi dan menyampaikan hasil pertemuan mereka di dalam gedung pertemuan. Massa aksi masih menunggu sambil melakukan orasi dan syalawatan. Salah satu syalawatan yang dilantunkan berbunyi “Shalatullah shalaamullaah a’laa thaha rosullullilaah… Pak Bupati sing bayar Petani, Pak DPR sing bayar Petani, Pak Polisi sing bayar Petani, Ati-ati ojo nganti mati.”

Sekitar jam 11 siang hari mulai terik, massa aksi mulai kepanasan, kemudian berkumpul dalam satu barisan. Seorang peserta aksi, Ulin Nuha, sempat berorasi dari mobil komando dengan mengatakan “Ternyata darah kita masih lebih merah dari investor. Karena mereka tidak mau mengobarkan diri mereka, seperti kita mengorbankan diri untuk alam ini”. Sekejab secara spontan para petani pesisir mulai merapat ke barikade polisi. Petani mulai berjuang merangsek ingin bertemu dengan berbagai pihak di dalam gedung yang berkepentingan terhadap penambangan. Aksi orasi berubah menjadi aksi langsung dengan daya inisiatif melampaui garis barikade polisi.

Aksi dorong antara petani dan polisi pun terjadi. Polisi terdorong mundur ke belakang oleh kekuatan aksi petani. Serangan ini membuat mundur lapisan pertama satu barikade polisi menjadi berada di belakang barikade kedua dengan tameng yang lebih tinggi. Polisi pun menyerang dengan memukul para petani dari belakang lapis pertama yang sedang menempel dengan aksi massa petani. Petani terus bertahan menyerang dengan kemampuan tanpa senjata. Banyak petani muda membalas dengan ‘tangan kosong’ memukul dan menendang polisi yang memiliki seragam pertahanan, tameng dan dipersenjatai pemukul yang lengkap.

Suara tembakan seperti ledakan deras berbunyi, dan bersamaan dengannya daya serang petani yang sangat spontan hadir dengan melempar batu yang berada di sekitar lintasan rel kereta api. Sebelah selatan garis bentrokan ini terdapat areal lintasan Kereta Api. Hujan batu yang sangat deras dan bertubi-tubi pun tak bisa dihindari. Polisi pun balik menyerang dengan batu dan tembakan gas air mata. Meski sudah terdengar suara tembakan sampai 3 kali petani masih tetap berjuang dengan cara menyerang dan bertahan membuat jarak ruang dengan polisi yang semakin terdesak mundur ke belakang. Akhirnya menurut pengakuan Widodo, seorang petani Koordinator Lapangan PPLP, “Polisi mengarahkan tembakan gas air mata ke hadapan saya, peluru gas air mata itu meluncur kencang, lalu saya menghindar hingga melewati setengah meter di depan kepala”. Ledakan tembakan gas air mata ini sempat terdengar sampai lebih dari 5 kali. Aksi petani masih terus menyerang pun memilih bertahan menghindar dari sesak dan perihnya gas air mata, dengan berkumpul di alun-alun tempat truk mereka diparkir.

Mobil water cannon sempat disemprotkan dan mengenai mobil komondo aksi. Meski massa aksi petani sudah menjauh dari depan real gedung Pemkab Kulon Progo, masih terjadi tembakan gas air mata yang jauhnya sampai ke tengah jalan alun-alun mendekati kerumunan massa. Seorang ibu berasal dari desa Karang Wuni yang tidak mau namanya disebutkan, sambil berjalan dan
berusaha mengeluarkan muntahan mualnya mengatakan “Polisi mau membunuh petani. Lihat saja, kami akan ingat kejadian ini”. (-tn-)

Jumat, 16 Oktober 2009

PENDIDIKAN ALTERNATIF UNTUK MASYARAKAT ADAT



Oleh: Butet Manurung

“Menjaga hutan memang susah
Pemerintah saja tidak mampu
Apalagi aku yang baru bisa baca-tulis”

Peniti Benang – anak Rimba


Deklarasi PBB tentang Masyarakat Adat, pasal 14 tentang Pendidikan :

Masyarakat Adat berhak mengendalikan sistem pendidikan dan kelembagaan yang menyediakan pendidikan dalam bahasa mereka sendiri, dalam cara yang tepat bagi metode-metode dalam budaya mereka dalam hal mengajar dan belajar.

MASYARAKAT ADAT

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Komunitas Adat berarti :

Sekelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur di wilayah geografis tertentu serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya mereka sendiri. Wacana tentang masyarakat adat atau sering kita menyebutnya dengan suku terasing adalah cerita-cerita penyingkiran dunia luar – seperti kita - yang mengaku modern dan beradab melalui cara pandang satu tafsir terhadap proses pemberdayaan dan “pembangunan” kepada mereka. Beragam stigma dan stereotype negatif juga berkembang di tatanan media massa dan masyarakat umum tentang keberadaan mereka sebagai the other yang menyimpang, primitif, terbelakang, tak beradab, dan sering dilabelkan sebagai masyarakat pembangkang yang menolak kemajuan (pembangunan). Karakteristik mereka sering dipandang sebagai sesuatu yang salah (yang harus dibenarkan) daripada sekedar “berbeda”.

Dari persoalan seputar kelompok masyarakat adat tersebut dapat ditarik benang merah bahwa wilayah lain marjinalisasi muncul dalam tiga perangkat (sistem) yang saling berkaitan, yakni agama, negara dan pasar.

Agama

Setiap agama memiliki ajaran-ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus mengelola kehidupannya. Ajaran-ajaran dalam agama mayoritas menjadi alat pembanding utama yang menempatkan masyarakat adat seperti orang rimba sebagai the other. Cara-cara ini menghilangkan ritual dan kepercayaan asli yang dapat mendorong punahnya suatu ‘kelompok kebudayaan tertentu’. ( Dalam kaitan dengan hal ini, negara memiliki andil dalam pendefinisian dan pengakuan terhadap apa yang disebut ‘agama’. Ritual-ritual dan keyakinan selain lima agama yang diakui dikumpulkan dalam satu istilah ‘kepercayaan’[1]. Namun pengategorian tersebut pada prakteknya tidak menghasilkan pengakuan terhadap agama asli yang dianut masyarakat adat dan kepadanyalah kerap terjadi usaha-usaha untuk memasukkan mereka pada agama mayoritas tertentu). Proses anggota komunitas adapt memeluk agama besar ini melahirkan kontroversi, dilancarkan kritik bahwa agama besar telah menghilangkan tradisi asli, kearifan lokal yang berpotensi membahayakan lingkungan hidup secara global.

Negara

Negara diwakili oleh pemerintah secara resmi mengeluarkan kriteria-kriteria tentang kelayakan hidup, konsep beragama, rumah berpakaian dan lain-lain yang kemudian melandasi pengadaan proyek-proyek yang dianggap solutif seperti PKMT (pemukiman kembali masyarakat asing) untuk menjawab persoalan sifat nomaden-nya kelompok-kelompok suku seperti Orang Rimba. Kriteria ini terbangun oleh asumsi teori pembangunan modernisasi yang melihat masyarakat berkembang dari masyarakat primitif menuju masyarakat modern. Demikian juga cara pandang pemerintah terhadap komunitas-komunitas suku seperti Orang Rimba sesungguhnya mengadopsi sudut pandang sebagai the other yang dianggap berbeda dari mereka sendiri.

Selain pembuatan kriteria-kriteria tadi, pemerintah juga berperan dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang semakin mendesak kehidupan Orang Rimba. Dalam kaitan dengan hal
ini, negara memiliki andil dalam pendefinisian dan pengakuan terhadap apa yang disebut ‘agama’. Ritual-ritual dan keyakinan selain lima agama yang diakui dikumpulkan dalam satu istilah ‘kepercayaan’[2]. Namun pengategorian tersebut pada prakteknya tidak menghasilkan pengakuan terhadap agama asli yang dianut masyarakat adat dan kepadanyalah kerap terjadi usaha-usaha untuk memasukkan mereka pada agama mayoritas tertentu.

Pembukaan lahan hutan untuk keperluan transmigrasi, ijin pengadaan HTI dan HPH adalah contoh kecil kebijakan pemerintah atas nama pembangunan yang justru mengurangi kualitas hidup masyarakat adat seperti Orang Rimba. Bahkan upaya perlindungan lingkungan melalui pemberlakuan hukum Taman Nasional pun mengabaikan kehidupan Orang Rimba yang telah mendiami wilayah hutan itu selama ratusan tahun. Dampaknya, Orang Rimba tergiring dalam posisi ambigu. Kerusakan hutan membuat mereka tak dapat sepenuhnya bergantung hidup pada hutan, namun ketika mereka dipaksa untuk hidup sesuai dengan ukuran dunia luar hutan, mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan karenanya mereka senantiasa tertindas.

Pasar

Pasar menciptakan ukuran-ukuran tertentu mengenai apa itu pakaian, rumah, serta apa saja kebutuhan hidup manusia selayaknya yang semua itu menuntun manusia untuk mengonsumsi barang-barang yang diproduksi oleh pasar, termasuk kriteria cantik, pintar, bahagia diberi label atau ukuran-ukuran yang seragam. Barang-barang itulah yang harus ditebus dengan menjual atau menjadikan hutan atau hasil hutan mereka sebagai komoditas. Iming-iming pasar atas pemenuhan kebutuhan yang instan harus dibayar mahal dengan degradasi sumber daya lingkungan mereka seperti hutan dan lahan. Di titik inilah globalisasi ekonomi berproses menghapuskan lokalitas-lokalitas yang ada dan menggantikannya dengan budaya tunggal yang global.

Sebagai sistem yang lebih luas, pasar pula yang telah mengurangi kualitas hutan. Petak demi petak produk global seperti sawit perlahan mengurangi luasan hutan demi memenuhi permintaan minyak sawit di pasar internasional. Selain itu, tegakan demi tegakan pohon juga berkurang akibat penebangan – baik yang legal maupun dianggap ilegal – pohon-pohon kayu yang juga sangat laris di pasaran internasional. Padahal, serangan pasar semakin tak dapat ditolak ketika wilayah hidup masyarakat adat seperti Orang Rimba kehilangan hutan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan hidup.

Sokola Rimba sebagai Reaksi terhadap Perubahan Lingkungan

Dengan Asumsi yang dilandasi satu pemahaman tunggal tersebut pendidikan bagi kelompok-kelompok suku seperti orang rimba di Bukit Duabelas pun kerap didekati atau diterapkan dengan tujuan-tujuan yang sama persis untuk merubah mereka menjadi seperti standar kemajuan yang dunia luar inginkan yang “memaksa” semua pihak yakin bahwa Orang Rimba berada di jalan yang ‘tersesat’, seolah tak ada ruang untuk orang yang ingin hidup dengan cara atau melewati tahap evolusi yang berbeda dan lambat.

Pendidikan dengan cara arogan seperti itu tentunya tidak menjawab kebutuhan dan persoalan nyata di tingkat lokal dimana proses pendidikan berlangsung. Hingga kerap terdengar beragam fasilitasi pendidikan, pemberdayaan, atau penerapan program-program pembangunan menemui kegagalan dan penolakan. Kenapa Pendidikan sekolah formal bagi masyarakat adat sering menemui hambatan bahkan gagal:
  • Tahapan sekolah formal berjenjang, lama, dan mahal : bagi masyarakat seperti orang rimba proses tersebut tak bisa diikuti karena kebutuhan mendasar dari anak-anak mereka lebih pada pengetahuan praktis yang dengan cepat dan murah mampu diterapkan dalam kehidupan hariaannya.
  • Pembagian waktu yang terjadwal dari sekolah formal tak kompromis dengan pembagian waktu anak-anak lokal yang sering menjadi bagian dari ekonomi rumah tangga. Seringkali masuknya sekolah formal justru mengganggu tatanan masyarakatnya.
  • Kurikulum yang seragam, kaku, dan terpusat berikut segala konsekuensinya mencerabut murid-murid dari identitas kulturalnya ke dalam nilai-nilai mainstream yang belum tentu cocok dan berguna. Karena kekhususannya, maka Pendidikan Formal TIDAK TEPAT untuk Komunitas Adat dan tidak menjawab kebutuhannya.

Masalah yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan Komunitas Adat (KA):

  1. Stereotype dan stigma negatif sbg penghalang hubungan komunitas adat dan dunia luar
  2. Memaksakan’ Pendidikan Formal yang tidak sesuai kultur dan pembagian waktu KA adalah sama dengan pelanggaran HAM dan juga seringkali sia-sia
  3. Ada 30 juta penduduk Indonesia tergantung pada hutan (data Conservacy International, 2007)
  4. Climate Changing sbg masalah global, berkaitan erat dgn keberadaan MA, degradasi hutan secara kualitas dan kuantitas, menggambarkan keterdesakan mereka.
  5. Community-Based Resource management

Langkah-langkah yang bisa dilakukan
  • Pahami Siapa Mereka
Untuk memulai suatu kegiatan bersama Komunitas Adat, telebih dahulu
memahami SIAPA MEREKA. Pemahaman yang keliru dapat menggagalkan
program.
Stereotip Orang Rimba menurut kalangan :
Konservasionis : musuh hutan
Sosial : miskin
Antropologis : masyarakat asli
Ekonomi : sumber daya
Agama : kafir
Teknologi : terbelakang
Pariwisata : museum budaya
Pemerintah : primitif
Pendidik : bodoh
Bagaimana Orang Rimba Menurut mereka sendiri: ?
  • Grounded Research
Identifikasi rutinitas, siklus harian/tahunan/musiman, siklus secara`adat seorang
laki-laki atau perempuan dari lahir hingga tua, proses pendidikan secara local
dari bapak/ibu terhadap anak2nya, dsb termasuk identifikasi masalah-masalah
dengan dunia sekitar mereka terutama yang tak mampu lagi diatasi melalui
mekanisme adat mereka.
  • Sudah tersentuh dan ada kontak dengan dunia luar (kepentingan pasar, agama, negara), Jika belum, pendidikan akan mengacaukan saja.
  • Model Pendidikannya haruslah berguna dan menyenangkan
  • Sistemnya kompromis dengan pembagian waktu harian/musiman dan sikulus kerja komunitas
  • Kontributif/aplikatif thd kehidupan sehari-hari
  • Tidak mencerabut dari budaya asli (sesuai adat)
  • Tidak ditunggangi kepentingan nilai-nilai dominan (politik, agama, dsb) lain
  • Materi pendidikan harus merupakan muatan baru yang sifatnya menambah, bukan menggantikan nilai/pengetahuan lokal yg ada. Bahkan sangat tidak dianjurkan mencampuri/menghina nilai-nilai yang sudah ada (misalnya sesuatu yang bagi kita tahayul, mistik, irasional)
  • Materi (dasar) menggunakan bahasa lokal dan memasukkan adat sebagai materi pelajaran. Materi selanjutnya bisa menggunakan bahasa Indonesia, pengetahuan tentang dunia luar sebagai wawasan komunitas menghadapi tekanan dunia luar.
  • Tokoh adat dilibatkan sebagai tenaga pendidik (hanya bagi komunitas yang menginginkan saja) dalam meneruskan pengetahuan adat (seperti dongeng, hukum adat, obat-obatan tradisional, mantra, pantun, life-skill berburu atau menangkap ikan,dll.

Butet manurung
Direktur SOKOLA
Kelompok Pendidikan Alternatif
Bagi Komunitas Adat
www.sokola.org
rumasokola@yahoo.com



[1] Perkembangan paling aktual, DPR malahan sedang menyusun Rancangan Undang-undang Adiministrasi Kependudukan yang menolak aliran kepercayaan dimasukkan ke kolom agama. Alasannya, masalah ini bukan domain undang-undang itu melainkan dianggap kewenangan Departemen Agama dan malah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Baca “DPR: Kolom Agama Bukan untuk Kepercayaan” artikel dalam Koran Tempo, 20 November 2006.
[2] Perkembangan paling aktual, DPR malahan sedang menyusun Rancangan Undang-undang Adiministrasi Kependudukan yang menolak aliran kepercayaan dimasukkan ke kolom agama. Alasannya, masalah ini bukan domain undang-undang itu melainkan dianggap kewenangan Departemen Agama dan malah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Baca “DPR: Kolom Agama Bukan untuk Kepercayaan” artikel dalam Koran Tempo, 20 November 2006.

Sabtu, 10 Oktober 2009

ANTI OTORITARIAN NUSANTARA-Nada-nada Anarki

Artist: ANTI OTORITARIAN NUSANTARA
Entitled: Nada-nada Anarki


Format MP3; Size 631 KB

FAST CRASH-24-7

Artist: FAST CRASH
Entitled: 24-7


Format MP3; Size 3.4 MB

FAST CRASH-Tonight

Artist: FAST CRASH
Entitled: Tonight


Format MP3; Size 2.6 MB

PETERPAN-Mimpi yang Sempurna

Artist: PETERPAN
Entitled: Mimpi yang Sempurna


Format MP3; Size 4.2 MB

FAST CRASH-Stupid Song

Artist: FAST CRASH
Entitled: Stupid Song


Format MP3; Size 2.4 MB

FAST CRASH-Lifes Going

Artist: FAST CRASH
Entitled: Lifes Going


Format Mp3; Size 2.6 MB

Get Your TAROT Reading