Selamat Datang! | Welcome!

DALAM WAKTU YANG SEMAKIN MENDESAK UNTUK TRANSFORMASI MIMPI, DIMANA RUANG-RUANG HIDUP SUDAH SEDIKIT TERSISA UNTUK KAMI MENGKREASIKAN MIMPI. DIMANA RUANG-RUANG HIDUP BUKAN LAGI BEBAS BERBICARA TENTANG MIMPI SETIAP INDIVIDU, BEBAS MEMILIH JALAN BUDAYA-PERADABAN UNTUK SETIAP KOMUNI, NAMUN SUDAH PENUH DENGAN MIMPI-MIMPI MASSAL DAN JALAN HIDUP BUDAYA-PERADABAN MASSAL DALAM BINGKAI PERBUDAKAN MANUSIA.

IDEOLOGI, PEMERINTAHAN, PASAR, KORPORASI, STRUKTUR HIDUP DALAM SEJARAH TERCIPTA MASIH BELUM MAMPU MEMBEBASKAN MANUSIA DI ATAS ALAM YANG NETRAL INI, MAKA UPAYA-UPAYA UNTUK MENCIPTAKAN RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS ALAM INI ADALAH UPAYA PEMBEBASAN INDIVIDU MANUSIA.

INDIVIDU BUKANLAH APA YANG IA PAKAI, APA YANG IA KENDARAI, APA YANG IA PERCAYAI. INDIVIDU BUKANLAH SETIAP MASALAH-MASALAH YANG MELEKAT PADA DIRINYA, LABEL-LABEL YANG DIBERIKAN KELUARGA DAN LINGKUNGANNYA. INDIVIDU ADALAH ENERGI INDEPENDEN DALAM KETAKDEFINISIAN YANG MAMPU MEMBERIKAN API KEHIDUPAN KEPADA ALAM, DIMANA ENERGI TERSEBUT JUGA BERASAL DARI API KEHIDUPAN ALAM DAN INI DINAMAI DENGAN SPIRIT.

MAKA PEMBEBASAN SPIRIT AKAN MEMBEBASKAN DUNIA, ADALAH VITAL UNTUK MENGHANCURKAN RUANG-RUANG YANG MENDESAK. PERANG TERHADAP MANIPULASI INFORMASI, HARAPAN-HARAPAN PALSU, DAN SEGALA STRUKTUR YANG MELEMAHKAN INDIVIDU DAN MEMBANGUN KEMBALI RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS KEHANCURANNYA SAMBIL MEMELIHARA DAN MENGEMBANGKAN RUANG-RUANG BEBAS YANG SUDAH TERCIPTA.

SUDAH SAATNYA BEBASKAN SPIRITMU MAKA KAMU MEMBEBASKAN DUNIAMU! ANGKAT BERPERANG KARENA INI ADALAH MEDAN PERTEMPURAN & PERTARUNGAN SPIRITUALITAS!


FREE SPIRIT-FREE WORLD
AQUARIAN
aquarian.free@gmail.com

Kunjungi Pustaka Online Aquarian

QUOTES FOR LIFE TRANSFORMATION

Jumat, 16 Oktober 2009

PENDIDIKAN ALTERNATIF UNTUK MASYARAKAT ADAT



Oleh: Butet Manurung

“Menjaga hutan memang susah
Pemerintah saja tidak mampu
Apalagi aku yang baru bisa baca-tulis”

Peniti Benang – anak Rimba


Deklarasi PBB tentang Masyarakat Adat, pasal 14 tentang Pendidikan :

Masyarakat Adat berhak mengendalikan sistem pendidikan dan kelembagaan yang menyediakan pendidikan dalam bahasa mereka sendiri, dalam cara yang tepat bagi metode-metode dalam budaya mereka dalam hal mengajar dan belajar.

MASYARAKAT ADAT

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Komunitas Adat berarti :

Sekelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur di wilayah geografis tertentu serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya mereka sendiri. Wacana tentang masyarakat adat atau sering kita menyebutnya dengan suku terasing adalah cerita-cerita penyingkiran dunia luar – seperti kita - yang mengaku modern dan beradab melalui cara pandang satu tafsir terhadap proses pemberdayaan dan “pembangunan” kepada mereka. Beragam stigma dan stereotype negatif juga berkembang di tatanan media massa dan masyarakat umum tentang keberadaan mereka sebagai the other yang menyimpang, primitif, terbelakang, tak beradab, dan sering dilabelkan sebagai masyarakat pembangkang yang menolak kemajuan (pembangunan). Karakteristik mereka sering dipandang sebagai sesuatu yang salah (yang harus dibenarkan) daripada sekedar “berbeda”.

Dari persoalan seputar kelompok masyarakat adat tersebut dapat ditarik benang merah bahwa wilayah lain marjinalisasi muncul dalam tiga perangkat (sistem) yang saling berkaitan, yakni agama, negara dan pasar.

Agama

Setiap agama memiliki ajaran-ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus mengelola kehidupannya. Ajaran-ajaran dalam agama mayoritas menjadi alat pembanding utama yang menempatkan masyarakat adat seperti orang rimba sebagai the other. Cara-cara ini menghilangkan ritual dan kepercayaan asli yang dapat mendorong punahnya suatu ‘kelompok kebudayaan tertentu’. ( Dalam kaitan dengan hal ini, negara memiliki andil dalam pendefinisian dan pengakuan terhadap apa yang disebut ‘agama’. Ritual-ritual dan keyakinan selain lima agama yang diakui dikumpulkan dalam satu istilah ‘kepercayaan’[1]. Namun pengategorian tersebut pada prakteknya tidak menghasilkan pengakuan terhadap agama asli yang dianut masyarakat adat dan kepadanyalah kerap terjadi usaha-usaha untuk memasukkan mereka pada agama mayoritas tertentu). Proses anggota komunitas adapt memeluk agama besar ini melahirkan kontroversi, dilancarkan kritik bahwa agama besar telah menghilangkan tradisi asli, kearifan lokal yang berpotensi membahayakan lingkungan hidup secara global.

Negara

Negara diwakili oleh pemerintah secara resmi mengeluarkan kriteria-kriteria tentang kelayakan hidup, konsep beragama, rumah berpakaian dan lain-lain yang kemudian melandasi pengadaan proyek-proyek yang dianggap solutif seperti PKMT (pemukiman kembali masyarakat asing) untuk menjawab persoalan sifat nomaden-nya kelompok-kelompok suku seperti Orang Rimba. Kriteria ini terbangun oleh asumsi teori pembangunan modernisasi yang melihat masyarakat berkembang dari masyarakat primitif menuju masyarakat modern. Demikian juga cara pandang pemerintah terhadap komunitas-komunitas suku seperti Orang Rimba sesungguhnya mengadopsi sudut pandang sebagai the other yang dianggap berbeda dari mereka sendiri.

Selain pembuatan kriteria-kriteria tadi, pemerintah juga berperan dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang semakin mendesak kehidupan Orang Rimba. Dalam kaitan dengan hal
ini, negara memiliki andil dalam pendefinisian dan pengakuan terhadap apa yang disebut ‘agama’. Ritual-ritual dan keyakinan selain lima agama yang diakui dikumpulkan dalam satu istilah ‘kepercayaan’[2]. Namun pengategorian tersebut pada prakteknya tidak menghasilkan pengakuan terhadap agama asli yang dianut masyarakat adat dan kepadanyalah kerap terjadi usaha-usaha untuk memasukkan mereka pada agama mayoritas tertentu.

Pembukaan lahan hutan untuk keperluan transmigrasi, ijin pengadaan HTI dan HPH adalah contoh kecil kebijakan pemerintah atas nama pembangunan yang justru mengurangi kualitas hidup masyarakat adat seperti Orang Rimba. Bahkan upaya perlindungan lingkungan melalui pemberlakuan hukum Taman Nasional pun mengabaikan kehidupan Orang Rimba yang telah mendiami wilayah hutan itu selama ratusan tahun. Dampaknya, Orang Rimba tergiring dalam posisi ambigu. Kerusakan hutan membuat mereka tak dapat sepenuhnya bergantung hidup pada hutan, namun ketika mereka dipaksa untuk hidup sesuai dengan ukuran dunia luar hutan, mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan karenanya mereka senantiasa tertindas.

Pasar

Pasar menciptakan ukuran-ukuran tertentu mengenai apa itu pakaian, rumah, serta apa saja kebutuhan hidup manusia selayaknya yang semua itu menuntun manusia untuk mengonsumsi barang-barang yang diproduksi oleh pasar, termasuk kriteria cantik, pintar, bahagia diberi label atau ukuran-ukuran yang seragam. Barang-barang itulah yang harus ditebus dengan menjual atau menjadikan hutan atau hasil hutan mereka sebagai komoditas. Iming-iming pasar atas pemenuhan kebutuhan yang instan harus dibayar mahal dengan degradasi sumber daya lingkungan mereka seperti hutan dan lahan. Di titik inilah globalisasi ekonomi berproses menghapuskan lokalitas-lokalitas yang ada dan menggantikannya dengan budaya tunggal yang global.

Sebagai sistem yang lebih luas, pasar pula yang telah mengurangi kualitas hutan. Petak demi petak produk global seperti sawit perlahan mengurangi luasan hutan demi memenuhi permintaan minyak sawit di pasar internasional. Selain itu, tegakan demi tegakan pohon juga berkurang akibat penebangan – baik yang legal maupun dianggap ilegal – pohon-pohon kayu yang juga sangat laris di pasaran internasional. Padahal, serangan pasar semakin tak dapat ditolak ketika wilayah hidup masyarakat adat seperti Orang Rimba kehilangan hutan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan hidup.

Sokola Rimba sebagai Reaksi terhadap Perubahan Lingkungan

Dengan Asumsi yang dilandasi satu pemahaman tunggal tersebut pendidikan bagi kelompok-kelompok suku seperti orang rimba di Bukit Duabelas pun kerap didekati atau diterapkan dengan tujuan-tujuan yang sama persis untuk merubah mereka menjadi seperti standar kemajuan yang dunia luar inginkan yang “memaksa” semua pihak yakin bahwa Orang Rimba berada di jalan yang ‘tersesat’, seolah tak ada ruang untuk orang yang ingin hidup dengan cara atau melewati tahap evolusi yang berbeda dan lambat.

Pendidikan dengan cara arogan seperti itu tentunya tidak menjawab kebutuhan dan persoalan nyata di tingkat lokal dimana proses pendidikan berlangsung. Hingga kerap terdengar beragam fasilitasi pendidikan, pemberdayaan, atau penerapan program-program pembangunan menemui kegagalan dan penolakan. Kenapa Pendidikan sekolah formal bagi masyarakat adat sering menemui hambatan bahkan gagal:
  • Tahapan sekolah formal berjenjang, lama, dan mahal : bagi masyarakat seperti orang rimba proses tersebut tak bisa diikuti karena kebutuhan mendasar dari anak-anak mereka lebih pada pengetahuan praktis yang dengan cepat dan murah mampu diterapkan dalam kehidupan hariaannya.
  • Pembagian waktu yang terjadwal dari sekolah formal tak kompromis dengan pembagian waktu anak-anak lokal yang sering menjadi bagian dari ekonomi rumah tangga. Seringkali masuknya sekolah formal justru mengganggu tatanan masyarakatnya.
  • Kurikulum yang seragam, kaku, dan terpusat berikut segala konsekuensinya mencerabut murid-murid dari identitas kulturalnya ke dalam nilai-nilai mainstream yang belum tentu cocok dan berguna. Karena kekhususannya, maka Pendidikan Formal TIDAK TEPAT untuk Komunitas Adat dan tidak menjawab kebutuhannya.

Masalah yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan Komunitas Adat (KA):

  1. Stereotype dan stigma negatif sbg penghalang hubungan komunitas adat dan dunia luar
  2. Memaksakan’ Pendidikan Formal yang tidak sesuai kultur dan pembagian waktu KA adalah sama dengan pelanggaran HAM dan juga seringkali sia-sia
  3. Ada 30 juta penduduk Indonesia tergantung pada hutan (data Conservacy International, 2007)
  4. Climate Changing sbg masalah global, berkaitan erat dgn keberadaan MA, degradasi hutan secara kualitas dan kuantitas, menggambarkan keterdesakan mereka.
  5. Community-Based Resource management

Langkah-langkah yang bisa dilakukan
  • Pahami Siapa Mereka
Untuk memulai suatu kegiatan bersama Komunitas Adat, telebih dahulu
memahami SIAPA MEREKA. Pemahaman yang keliru dapat menggagalkan
program.
Stereotip Orang Rimba menurut kalangan :
Konservasionis : musuh hutan
Sosial : miskin
Antropologis : masyarakat asli
Ekonomi : sumber daya
Agama : kafir
Teknologi : terbelakang
Pariwisata : museum budaya
Pemerintah : primitif
Pendidik : bodoh
Bagaimana Orang Rimba Menurut mereka sendiri: ?
  • Grounded Research
Identifikasi rutinitas, siklus harian/tahunan/musiman, siklus secara`adat seorang
laki-laki atau perempuan dari lahir hingga tua, proses pendidikan secara local
dari bapak/ibu terhadap anak2nya, dsb termasuk identifikasi masalah-masalah
dengan dunia sekitar mereka terutama yang tak mampu lagi diatasi melalui
mekanisme adat mereka.
  • Sudah tersentuh dan ada kontak dengan dunia luar (kepentingan pasar, agama, negara), Jika belum, pendidikan akan mengacaukan saja.
  • Model Pendidikannya haruslah berguna dan menyenangkan
  • Sistemnya kompromis dengan pembagian waktu harian/musiman dan sikulus kerja komunitas
  • Kontributif/aplikatif thd kehidupan sehari-hari
  • Tidak mencerabut dari budaya asli (sesuai adat)
  • Tidak ditunggangi kepentingan nilai-nilai dominan (politik, agama, dsb) lain
  • Materi pendidikan harus merupakan muatan baru yang sifatnya menambah, bukan menggantikan nilai/pengetahuan lokal yg ada. Bahkan sangat tidak dianjurkan mencampuri/menghina nilai-nilai yang sudah ada (misalnya sesuatu yang bagi kita tahayul, mistik, irasional)
  • Materi (dasar) menggunakan bahasa lokal dan memasukkan adat sebagai materi pelajaran. Materi selanjutnya bisa menggunakan bahasa Indonesia, pengetahuan tentang dunia luar sebagai wawasan komunitas menghadapi tekanan dunia luar.
  • Tokoh adat dilibatkan sebagai tenaga pendidik (hanya bagi komunitas yang menginginkan saja) dalam meneruskan pengetahuan adat (seperti dongeng, hukum adat, obat-obatan tradisional, mantra, pantun, life-skill berburu atau menangkap ikan,dll.

Butet manurung
Direktur SOKOLA
Kelompok Pendidikan Alternatif
Bagi Komunitas Adat
www.sokola.org
rumasokola@yahoo.com



[1] Perkembangan paling aktual, DPR malahan sedang menyusun Rancangan Undang-undang Adiministrasi Kependudukan yang menolak aliran kepercayaan dimasukkan ke kolom agama. Alasannya, masalah ini bukan domain undang-undang itu melainkan dianggap kewenangan Departemen Agama dan malah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Baca “DPR: Kolom Agama Bukan untuk Kepercayaan” artikel dalam Koran Tempo, 20 November 2006.
[2] Perkembangan paling aktual, DPR malahan sedang menyusun Rancangan Undang-undang Adiministrasi Kependudukan yang menolak aliran kepercayaan dimasukkan ke kolom agama. Alasannya, masalah ini bukan domain undang-undang itu melainkan dianggap kewenangan Departemen Agama dan malah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Baca “DPR: Kolom Agama Bukan untuk Kepercayaan” artikel dalam Koran Tempo, 20 November 2006.

Tidak ada komentar:

Get Your TAROT Reading