Selamat Datang! | Welcome!

DALAM WAKTU YANG SEMAKIN MENDESAK UNTUK TRANSFORMASI MIMPI, DIMANA RUANG-RUANG HIDUP SUDAH SEDIKIT TERSISA UNTUK KAMI MENGKREASIKAN MIMPI. DIMANA RUANG-RUANG HIDUP BUKAN LAGI BEBAS BERBICARA TENTANG MIMPI SETIAP INDIVIDU, BEBAS MEMILIH JALAN BUDAYA-PERADABAN UNTUK SETIAP KOMUNI, NAMUN SUDAH PENUH DENGAN MIMPI-MIMPI MASSAL DAN JALAN HIDUP BUDAYA-PERADABAN MASSAL DALAM BINGKAI PERBUDAKAN MANUSIA.

IDEOLOGI, PEMERINTAHAN, PASAR, KORPORASI, STRUKTUR HIDUP DALAM SEJARAH TERCIPTA MASIH BELUM MAMPU MEMBEBASKAN MANUSIA DI ATAS ALAM YANG NETRAL INI, MAKA UPAYA-UPAYA UNTUK MENCIPTAKAN RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS ALAM INI ADALAH UPAYA PEMBEBASAN INDIVIDU MANUSIA.

INDIVIDU BUKANLAH APA YANG IA PAKAI, APA YANG IA KENDARAI, APA YANG IA PERCAYAI. INDIVIDU BUKANLAH SETIAP MASALAH-MASALAH YANG MELEKAT PADA DIRINYA, LABEL-LABEL YANG DIBERIKAN KELUARGA DAN LINGKUNGANNYA. INDIVIDU ADALAH ENERGI INDEPENDEN DALAM KETAKDEFINISIAN YANG MAMPU MEMBERIKAN API KEHIDUPAN KEPADA ALAM, DIMANA ENERGI TERSEBUT JUGA BERASAL DARI API KEHIDUPAN ALAM DAN INI DINAMAI DENGAN SPIRIT.

MAKA PEMBEBASAN SPIRIT AKAN MEMBEBASKAN DUNIA, ADALAH VITAL UNTUK MENGHANCURKAN RUANG-RUANG YANG MENDESAK. PERANG TERHADAP MANIPULASI INFORMASI, HARAPAN-HARAPAN PALSU, DAN SEGALA STRUKTUR YANG MELEMAHKAN INDIVIDU DAN MEMBANGUN KEMBALI RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS KEHANCURANNYA SAMBIL MEMELIHARA DAN MENGEMBANGKAN RUANG-RUANG BEBAS YANG SUDAH TERCIPTA.

SUDAH SAATNYA BEBASKAN SPIRITMU MAKA KAMU MEMBEBASKAN DUNIAMU! ANGKAT BERPERANG KARENA INI ADALAH MEDAN PERTEMPURAN & PERTARUNGAN SPIRITUALITAS!


FREE SPIRIT-FREE WORLD
AQUARIAN
aquarian.free@gmail.com

Kunjungi Pustaka Online Aquarian

QUOTES FOR LIFE TRANSFORMATION

Senin, 25 Januari 2010

Semburan Baru Muncul di Desa Besuki

SIDOARJO - Beberapa semburan (bubbles) baru ditemukan warga di Besuki Timur, Kecamatan Jabon, Sidoarjo. Semburan ini tersebar secara acak di sekitar tanggul, bekas jalan tol hingga pada rumah warga.

25 January at 13:43

BomBer Yo!










Photographed by: Teguh Triatmoko

BERJUANG DEMI HIDUP KITA

Kamu Mungkin Seorang Anarkis

Benar. Jika idemu tentang hubungan manusia yang sehat adalah acara santap malam bersama sahabat-sahabatmu, di mana setiap orang menikmati suasana persahabatan, tanggung jawab dibagi-bagi secara sukarela dan tidak ada orang yang memberi perintah atau menjual sesuatu, maka kamu adalah seorang anarkis, mudah dan sederhana.

Ketika kamu bertindak tanpa menunggu perintah atau perizinan formal, kamu adalah anarkis. Ketika kamu melanggar peraturan yang konyol ketika tidak ada yang mengawasi, kamu adalah anarkis. Dan kamu adalah anarkis ketika kamu menggagas ide-ide, inisiatif-inisiatif dan solusi-solusi.

Seperti kamu lihat, anarkisme terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan membuatnya lebih menarik. Bayangkan jika kita selalu menggantungkan hidup pada otoritas, spesialis dan teknisi untuk mengurus berbagai hal—kita bukan saja akan menemui dunia yang sangat bermasalah—tapi juga dunia yang sangat membosankan. Saat ini kita hidup dalam dunia yang membosankan seperti itu, persis karena kita telah melepaskan banyak tanggung jawab dan kendali pada hidup kita sendiri, dan di saat yang bersamaan menyerahkannya pada orang lain, atau pun otoritas.

Akar dari anarkisme adalah impuls sederhana bertindak untuk diri kita sendiri: hal-hal lainnya menyusul.

Genealogi of force

Pada awalnya, keharmonisan: berbagai kelompok manusia hidup berdampingan—bersama-sama mengumpulkan dan meramu bahan pangan; makan, bermain, tidur, bernyanyi, bercinta dan bercerita. Kadang kala terjadi ketidak cocokan di antara mereka, pertentangan terjadi. Mereka yang berkonflik saling melontarkan kata-kata kasar, kemudian terjadilah pertarungan.

Ketika hal tersebut terjadi, orang-orang di dalam sebuah kelompok di mana konflik terjadi, bertemu untuk mencari solusi. Masalah yang tidak dapat diselesaikan dalam suatu kelompok akan membawa perpecahan pada kelompok tersebut. Anggota-anggota kelompok mengalami kelaparan dan/atau menemui bencana: diserang binatang buas atau bergabung dengan kelompok lainnya yang lebih mampu menyelesaikan masalah. Konflik antar kelompok juga diselesaikan dengan cara yang sama. Cara hidup seperti itu bertahan selama ribuan tahun.

Namun pada suatu hari, terjadilah konflik yang tidak terselesaikan. Penyelesaian melalui dialog, dengan cara damai maupun dengan kekerasan tidak dapat menuntaskan masalah. Mungkin perubahan budaya dan nilai-nilai spiritual atau inovasi teknologi, mempertahankan antagonisme dan memicu mereka untuk terus-menerus bersaing setelah konflik mereda. Mereka tidak dapat lagi hidup berdampingan secara damai. Mereka menjadi mesin perang. Hubungan mereka dengan alam pun berubah: mereka mendisiplinkan tanah, agar mereka dapat menghasilkan pangan dalam jumlah berlebih sebagai persediaan—ketika mereka hidup dalam kondisi di mana perang dapat terjadi sewaktu-waktu. Hubungan antar manusia pun mengalami perubahan: mereka memandang orang lain sebagai orang yang berpotensi untuk menjadi kamerad seperjuangan atau sebagai musuh, menilai orang berdasarkan kekuatan di atas kualitas-kualitas manusia lainnya.

Kelompok-kelompok di wilayah sekitar pun tidak dapat terhindar dari konflik-konflik yang terjadi. Kelompok-kelompok tersebut pun akhirnya terlibat dalam konflik-konflik tersebut dan harus bersaing—suatu kondisi yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Banyak kelompok yang akhirnya musnah; yang lainnya yang mampu bertahan dengan beragam cara akhirnya menjadi mesin perang. Mereka juga menaklukan alam dan binatang, memperbudak musuh yang telah mereka kalahkan, bahkan orang-orang dari kelompok mereka sendiri; apapun yang terpikirkan akan dilakukan untuk bertahan dalam situasi yang penuh teror tersebut.

Perubahan-perubahan aneh terjadi pada bumi dan menular dari kelompok ke kelompok seperti kanker. Kelompok-kelompok kecil menggabungkan diri untuk menjadi kelompok besar dan pada akhirnya nasion; pemimpin-pemimpin militer temporer menjadi bangsawan-bangsawan yang mempertahankan posisi tersebut secara turun-temurun. Kelompok-kelompok ini tidak hanya mengalami perubahan dari segi kemiliteran. Wilayah diklaim dan ditandai dengan batas-batas yang kemudian menjadi sumber munculnya konflik-konflik baru. Ekonomi pasar diciptakan; orang-orang yang tidak lagi saling mempercayai bersikeras untuk menerapkan perdagangan, di mana dahulu orang saling berbagi. Mereka menyibukkan diri dengan persaingan dagang dan untuk menghasilkan keuntungan, bahkan dalam kondisi damai. Patriaki muncul: perang yang tidak pernah dideklarasikan antar seks, peran gender antara kaum ksatria dan kaum pelayan, dilembagakan dan diterapkan oleh satu generasi dan diwariskan ke generasi lainnya. Agama yang terorganisir diciptakan: sekarang manusia tidak lagi bersaing untuk lahan, pangan, hak milik, tapi juga untuk menguasai pikiran dan nurani orang lain.

Semua inovasi tersebut adalah bencana bagi manusia. Mereka mencoba mengimbangi akibat-akibat yang terjadi dengan inovasi-inovasi baru, yang sebenarnya merupakan bencana baru yang lebih dashyat. Pemerintah dibentuk untuk melindungi masyarakat, mengutip pajak dari mereka dan menikmati keringat dan kerja mereka; polisi memenuhi jalan-jalan untuk mencegah kejahatan tapi menjadi pihak yang melakukan kejahatan terburuk dengan leluasanya. Ketika mereka melindungi diri mereka dari kegananasan peradaban, keganasan dan monster-monster yang lebih dashyat muncul.

Nasion-nasion kecil yang berada dalam ancaman serangan dari nasion-nasion yang lebih besar mempersiapkan kekuatan bersenjata. Reaksi yang pada awalnya merupakan bentuk pertahanan diri berkembang secara berlebihan dan berlanjut—menjadi peperangan-peperangan untuk menaklukan bangsa-bangsa lainnya, sampai mereka menjadi imperium megah. Imperium Romawi bermula dari resistensi petani desa terhadap serangan Etruscan, dan ini menjadi awal persaingan di antara imperium-imperium Eropa, di mana perang berlangsung selama ratusan tahun. Di kemudian hari sejarawan akan melihat bahwa perang-perang berdarah sepanjang peradaban sebagai bukti dari “kegelapan nurani” barbarisme haus darah. Mungkin juga kaum barbar pecinta kedamaian yang mempertahankan diri mereka dari barbar haus darah. Mungkin juga kegelapan nurani sejatinya berada di tengah-tengah imperium-imperium tersebut, di pusaran badai, di mana kekerasan menjadi sesuatu yang mendarah daging dalam kehidupan manusia dan tidak terlihat lagi dengan mata telanjang: para budak yang berada di jalanan sepertinya bukan karena adanya paksaan tapi atas kehendak mereka sendiri, tidak berdaya untuk memberontak; gladiator yang saling membunuh pada sirkus-sirkus—sesuatu yang dianggap sebagai hiburan.

Kampanye militer yang berikutnya adalah gejala dari keganasan sosial, bukan didasari pada suatu tujuan yang diperjuangkan. Saat ini kekerasan ekonomi yang tidak kasat mata mengkomandokan kekerasan militeristik yang kasat mata. Tentara menaklukan wilayah-wilayah jajahan agar lebih banyak sumberdaya yang dapat dinikmati oleh para saudagar, dan masyarakat di daerah jajahan menjadi basis konsumen baru—perluasan pasar. Benua-benua ditaklukan dan penghuninya diperbudak dan kemelaratan mereka dianggap sebagai suatu bukti bahwa mereka berasal dari ras yang lebih rendah, oleh penjajah yang merampas dunia mereka. Misionaris merupakan garda depan dari penaklukan tersebut. Agama memaksakan kuasa tuhan pencemburu yang esa, sama seperti tentara memaksakan kuasanya yang brutal. Teror untuk suatu wilayah, darah untuk uang, uang untuk darah—tuhan memerintahkan semua itu seperti juga semua itu memerintahkan tuhan.

Para penerus misionaris yang sekarang eksis menyembah langsung pada pasar. Pendeta-pendeta ini bahkan lebih berhasil dibandingkan dengan para tentara dalam menerapkan kekuasaan: akan datang suatu hari ketika belenggu tidak lagi diperlukan untuk membuat para budak tunduk, ketika beragam jenis pemberhalaan dapat menundukkan dan mengadu domba mereka. Sekarang tidak seorang pun yang dapat mengingat bentuk kehidupan yang lain—anak berperang dengan bapak, bapak berperang dengan tetangga. Raja-raja, presiden-presiden, jendral-jendral berkuasa dan dijatuhkan oleh kekuasaan; namun sistem ini dan hirarki tetap berlangsung. Kompetisi adalah pemegang tahta, memilih dan menjungkalkan para pemenang tanpa ada rasa iba.

Setiap orang yang berada dalam hubungan yang penuh kekerasan ini masih (bahkan benar-benar ingin) melarikan diri dari hubungan tersebut. Tetapi mereka terlanjur membawa bibit-bibit kekerasan tersebut pada diri mereka, menghancurkan setiap suaka yang mereka masuki—seperti pengungsi yang melarikan diri menuju “Dunia Baru” dan kaum komunis yang menjatuhkan Czar. Bahkan mereka yang melarikan diri, seperti para seniman dengan komune-komune mereka yang menghiasi wilayah sekitar, dengan beragam inovasi provokatifnya, menjadi preseden untuk tren fotografi pada generasi berikutnya.

Kekerasan mencapai tingkatnya yang paling tinggi. Kekerasan menghantui kehidupan sehari-hari kita—tawuran antar pelajar, geng anak muda, tawuran kampung, pemerkosaan. Penjara-penjara dibanjiri. Jutaan nyawa hilang dalam pembasmian, genosida; mereka yang selamat selanjutnya memulai pembasmian-pembasmian berikutnya. Kita semua berada dalam daftar hukuman mati. Bahkan mereka yang tinggal di gedung-gedung yang diproteksi dengan perangkat keamanan paling canggih, mereka yang memegang polis asuransi jiwa paling lengkap—tidak lagi mempunyai rasa aman—pesawat udara kandas dan gedung bertingkat runtuh. Teror mengancam kita semua.

Malam ini, kaum muda Palestina sedang melakukan perhitungan: apakah musuh mereka telah memenuhi hidup mereka dengan cukup penderitaan hingga dia merasakan lebih banyak kebencian untuk mereka dari pada kecintaannya terhadap hidupnya sendiri? Dia berpikir tentang bapaknya yang cacat, rumahnya yang dibuldoser, teman-teman yang telah meninggalkannya—mereka melakukan perhitungan yang sama setiap harinya.

Di mana rasa cinta atas semua hal yang telah dilalui tersebut? Cinta masih ada dalam bentuknya yang masih sama seperti dulu: keluarga yang makan bersama, pertemanan, pemberian yang diberikan hanya karena memberi itu menyenangkan. Kita masih memaafkan, berbincang-bincang, merasakan jatuh cinta yang dashyat; kadang kelompok-kelompok manusia menyatukan diri untuk menghadapi musuh yang sama—bukan karena kebencian tapi demi kedamaian, mencoba menyelesaikan konflik seperti dulu, sebelum ada perang dan perdagangan. Momen-momen tersebut, bahkan ketika hanya terjadi di antara segelintir individu, masih merupakan sesuatu yang bernilai dan bermakna. Dan momen-momen tersebut masih mempunyai daya tular, sedashyat daya tular kebencian dan kekerasan.

Dunia saat ini sedang menunggu suatu perang melawan perang, cinta yang dipersenjatai, dan pertemanan yang dapat melindungi dirinya sendiri. Anarki adalah satu kata yang dipakai untuk mendeskripsikan momen-momen di mana kekuasaan dan kekuatan tidak dapat memaksa kita, dan ketika kehidupan tumbuh subur seperti memang seharusnya demikian. Anarkisme adalah sains yang menciptakan dan mempertahankan momen-momen tersebut. Ia adalah senjata yang mengaspirasikan ketidakbergunaan—satu-satunya senjata yang akan kita pakai dengan berharap melawan harapan, melalui alkemi baru, bahwa senjata kita itu tidak akan kemudian berbalik menghancurkan kita sendiri, nantinya. Kita mengetahui bahwa setelah revolusi, setelah setiap revolusi, perjuangan antara cinta dan kebencian akan terus berlanjut; namun saat ini dan selalu, pertanyaan yang penting adalah—pada sisi manakah engkau berada?

Anarki—apakah mungkin?

Orang-orang yang mempunyai sedikit pengetahuan sejarah aktual sering mengatakan bahwa anarki tidak dapat diterapkan—tanpa menyadari bahwa anarki bukan saja dapat diterapkan dalam banyak kesempatan selama sejarah manusia, tapi juga dapat diterapkan pada saat ini. Untuk sekarang marilah kita lupakan Komune Paris, Republik Spanyol, Woodstock, sistem rekayasa program komputer open source, dan semua yang merupakan simbol keberhasilan anarkisme revolusioner. Anarki adalah sesederhana—kerja sama berbagai pihak, di mana setiap pihak berdaulat atas dirinya sendiri. Anarki merupakan kehidupan sehari-hari—bukan sesuatu yang hanya akan terjadi “setelah terjadi revolusi”. Anarki diterapkan oleh lingkar-lingkar pertemanan di mana-mana—kemudian bagaimana kita dapat memperluas relasi ekonomi kita yang anarkis? Anarki terjadi ketika orang-orang berada dalam suatu perkemahan atau ketika sekelompok orang memberikan makanan gratis kepada orang-orang lapar—bagaimana kemudian kita dapat memperluas interaksi seperti itu dalam interaksi kita di sekolah, di tempat kerja, di lingkungan sekitar kita?

Anarki adalah kekacuan, kekacauan adalah suatu tatanan. Sistem yang tertata secara alami—hutan hujan merupakan salah satu contoh tatanan hasil kekacauan, suatu komunitas yang bersahabat—merupakan keharmonisan di mana keseimbangan sistem dijaga oleh kekacauan dan kesempatan. Di sisi lain, kekacauan sistematis—disiplin yang dijalankan di sekolah, deretan-deretan tanaman jagung yang steril hasil rekayasa genetika yang diproteksi dari gulma dan hama—hanya dapat dipertahankan dengan tindakan-tindakan pemaksaan yang selalu dieskalasikan. Sebagian orang berpikir bahwa tidak adanya tatanan adalah tidak adanya suatu sistem dan menyalah artikannya sebagai anarki. Namun ketidakteraturan adalah sistem yang paling kejam—ketidakteraturan dan konflik, yang tidak terselesaikan, dengan cepat akan berkembang secara sistematis, memunculkan hirarki berdasarkan kehendak-kehendak—ketiadaan nurani, nafsu untuk mendominasi. Ketidakteraturan dalam tahapnya yang paling berkembang adalah kapitalisme: perang antar berbagai pihak, menguasai atau dikuasai, menjual atau dijual, dari tanah sampai langit.

Kita hidup dalam zaman yang dipenuhi dengan kekerasan dan hirarki. Para maniak yang berpikir bahwa mereka diuntungkan oleh hirarki, mengatakan bahwa akan terjadi lebih banyak kekerasan tanpa adanya hirarki—tanpa memahami bahwa hirarki dalam bentuk ketimpangan ekonomi atau pun ketimpangan kekuasaan politik merupakan akibat dan ekspresi dari kekerasan tersebut. Bukan juga berarti bahwa mencabut otoritas secara paksa akan secara instan mengakhiri gelombang kekerasan; sampai kita semua belajar untuk hidup berdampingan demi kita sendiri, bukan karena perdamaian yang dipaksakan, sebab tidak akan ada kedamaian di antara kita karena sebuah pemaksaan.

Keadaan yang ada pada saat ini dipertahankan bukan hanya dengan senjata, hirarki atau mentalitas membunuh atau dibunuh: keadaan ini juga dipertahankan dengan diciptakannya mitos tentang kesuksesan. Sejarah resmi mencatat masa lalu kita sebagai sejarah para tokoh, dan bahwa hidup kita tidak lebih merupakan akibat-akibat dari pencapaian-pencapaian mereka; sejarah seperti itu mengatakan bahwa hanya ada sedikit orang yang merupakan subyek sejarah—dan selebihnya, kita, hanyalah objek sejarah. Mitos tentang kesuksesan ini berujung pada suatu kepercayaan bahwa hanya ada segelintir orang yang dapat meraih kesuksesan tersebut: raja-raja (presiden-presiden, bintang film, para eksekutif, dll). Dalam mitos ini juga kita menemukan suatu kepercayaan, bahwa hal-hal seperti itu merupakan sesuatu yang lazim, dan bahwa kita harus ‘berperang’ untuk menjadi sukses, atau setidaknya menerima secara lapang dada posisi di bawah orang-orang sukses ini, dan bersyukur pada orang-orang yang berada di bawah kita karena rela diinjak-injak untuk menjamin harga diri kita.

Bahkan orang-orang yang sudah meraih kesuksesan itu pun tidak akan pernah benar-benar bebas untuk berjalan-jalan di tempat-tempat yang diinginkannya. Mengapa kita harus puas hanya dengan kebebasan yang seperti itu? Ketika pemaksaan lenyap—pada ranjang-ranjang egaliter pecinta sejati, dalam suatu demokrasi dengan perkawanan yang erat, pada federasi-federasi teman bermain yang sedang menikmati pesta-pesta yang hebat dan tetangga yang asyik mengobrol—kita semua adalah ratu dan raja. Apakah mungkin anarki dapat memberikan semua itu? Yang jelas adalah, bahwa hirarki tidak dapat memberikannya. Lihatlah kota-kota yang dibangun oleh suatu keteraturan hirarkis—kau akan duduk pada kendaraan-kendaraan pribadi dalam suatu kemacetan lalu lintas, di antara orang-orang yang berkeringat dan mengumpat dalam keterasingan kolektif, sungai-sungai yang mengalami pencemaran berat di sisi kananmu dan perkampungan kumuh di sisi kirimu di mana genk-genk orang-orang berseragam dan tanpa seragam, berkonflik—demikianlah yang dinobatkan sebagai kemajuan. Jika ini adalah keteraturan, kenapa tidak mencoba kekacauan?

Anarki bukan anarkisme

Dengan mengatakan bahwa anarkis mempercayai anarkisme adalah sama dengan mengatakan bahwa seorang pemain piano mempercayai pianoisme. Tidak ada Anarkisme—yang ada adalah anarki, atau lebih tepatnya, beragam anarki.

Semenjak adanya kekuasaan, semangat anarki telah melekat pada diri kita, baik diberi cap atau tidak. Para budak dan barbar yang melawan kekuasaan imperium Roma untuk kemudian hidup dalam kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan, ibu-ibu yang membesarkan anak perempuan mereka untuk mencintai tubuh mereka dengan menentang iklan-iklan pelangsingan tubuh dan pihak-pihak lain yang berani menghadapi masalah-masalah dan menanganinya secara mandiri: mereka semua adalah anarkis. Sama halnya, kita semua adalah anarkis, ketika kita melakukan hal-hal seperti itu. Anarkis saat ini adalah para pelajar yang bolos sekolah, mereka yang menipu sistem perpajakan, perempuan yang belajar untuk memperbaiki sepeda, para pecinta yang menghasratkan sesuatu di luar batas-batas hubungan normal. Mereka tidak perlu untuk mencoblos partai anarkis atau menyetujui garis partai—hal itu akan mendiskualifikasi mereka sebagai anarkis. Anarki adalah suatu pola bagaimana kita merespon suatu situasi dan berinteraksi dengan sesama manusia, suatu kelas sikap manusia, bukan kelas ‘pekerja’.

Lupakanlah sejarah anarkisme sebagai suatu ide—lupakan orang-orang tua berjenggot. Adalah satu hal mengungkapkan anarki sebagai sesuatu dalam bahasa, tapi adalah hal yang lain untuk menjalani anarki dalam kehidupan. Tentunya kita tidak akan mebicarakan teori, rumus-rumus, atau pun biografi para pahlawan—yang kita bicarakan adalah tentang hidupmu. Satu-satunya yang pokok adalah anarki, kemunculannya di mana-mana, bukan teori anarkisme, yang dikaji para peneliti-peneliti spesialis kebebasan. Kita akan menemui orang yang mencap dirinya sendiri sebagai anarkis, tanpa pernah mengalami satu hari yang anarkis dalam hidupnya—kita harus menyadari seberapa jauh kita dapat mempercayai mereka.

Selanjutnya, bagaimanakah utopia anarkis akan berlangsung? Kami tidak akan terjebak lagi untuk menjawab pertanyaan itu. Apa yang kami bicarakan bukanlah visi utopis, bukanlah program atau ideal-ideal yang harus kita layani; anarki secara sederhana adalah bagaimana kita akan menghadapi dan menyikapi situasi dan masalah—karena pasti bahwa kita tidak akan selesai menghadapi masalah-masalah yang pasti akan terus menerus muncul. Menjadi anarkis bukanlah mempercayai anarki, apalagi anarkisme—tapi berarti bahwa kita bergantung pada diri kita sendiri dan mempunyai kendali dalam menjalani hidup dan bahwa suka atau tidak suka, hidup kita saling bergantung antara satu sama lain.

Apakah demokrasi seperti ini?

Anarkis menggunakan demokrasi—tapi kita tidak akan membiarkan demokrasi menggunakan kita. Kita mengutamakan kebutuhan-kebutuhan manusia yang terlibat—sistem apapun yang digunakan bersifat sementara. Kita tidak akan memaksakan diri kita dengan pembatasan-pembatasan prosedur yang mapan—kita akan menggunakan prosedur, sejauh prosedur itu melayani kepentingan manusia. Ada baiknya kita menjawab pertanyaan ini secara serius, “apakah yang harus diutamakan, kita atau sistem?”

Kita bekerja sama dan hidup berdampingan dengan sesama manusia termasuk bentuk-bentuk kehidupan lainnya, sejauh hal itu memungkinkan. Tapi kita tidak akan memberhalakan konsensus, apalagi Aturan Hukum. Ketika kita tidak dapat mencapai kesepakatan, kita akan menempuh jalan kita masing-masing, daripada saling membatasi. Dalam kasus-kasus ekstrim, ketika pihak-pihak lain menolak untuk mengakui kebutuhan-kebutuhan kita, atau terus menerus melakukan hal-hal yang membahayakan, kita akan bertindak dengan segala cara yang diperlukan—bukan demi keadilan, tapi sekedar mewakili kepentingan kita.

Kami melihat hukum sebagai sesuatu yang tidak lebih dari bayang-bayang aturan-aturan para pendahulu, yang diperpanjang seiring dengan waktu sehingga terkesan lebih bijak dari penilaian kita sendiri. Hukum-hukum ini bertahan hidup seperti mahluk yang tidak pernah mati, memaksakan keharusan-keharusan yang tidak dapat menghadirkan keadilan—bahkan mengasingkan kita dari keadilan—sepertinya kita tidak mampu menegakkan keadilan tanpa formalitas kuno dan jubah hakim. Hukum-hukum ini berkembang biak dan seiring dengan waktu menjadi sesuatu yang begitu asing bagi kebanyakan orang, sehingga diperlukan kelas pendeta baru, para pengacara yang mencari kehidupan dari kita. Mereka yang bersikeras bahwa keadilan hanya dapat ditegakan melalui hukum, adalah orang-orang sama yang berdiri sebagai tersangka dalam pengadilan kejahatan perang dan bersumpah bahwa mereka hanya menjalankan perintah. Tidak ada keadilan—yang ada hanya kita.

Ekonomi Anarkis berbeda secara radikal dengan bentuk-bentuk ekonomi lainnya. Anarkis bukan hanya melakukan transaksi secara berbeda, demikian juga dengan alat tukarnya—bukan sesuatu yang dapat diubah menjadi aset yang diperebutkan kapitalis dan yang ada dalam Perencanaan Lima Tahun pemerintah komunis. Kapitalis, sosialis dan komunis bertukar produk; anarkis saling bertukar bantuan, inspirasi dan loyalitas. Ekonomi kapitalis, sosialis dan komunis mengubah seluruh interaksi manusia menjadi komoditas: penjagaan keamanan, pelayanan medis, pendidikan, bahkan hubungan seksual merupakan jasa yang diperjual belikan. Ekonomi anarkis, memfokuskan pada kebutuhan dan hasrat individual, mengubah produk kembali menjadi relasi sosial. Interaksi ekonomi pada ekonomi kapitalis adalah penjualan; dalam ekonomi anarkis adalah pemberian.

Ekonomi anarkis bergantung pada modal sosial, yang berlawanan dengan properti pribadi. Modal pribadi berkurang ketika digunakan, seperti uang yang dibelanjakan oleh buruh-buruh harian untuk makanan—atau jika diperhitungkan untuk menumpuk kekayaan, bertambah dengan mengorbankan pihak lain, seperti dalam kasus korporasi yang mengeksploitasi buruh harian. Di sisi lainnya, modal sosial tersedia dalam jumlah yang besar—bahwa sebenarnya modal tersebut jika digunakan—akan menambah modal si pemberi dan juga yang lainnya: kebun kolektif di mana semakin banyak hasil yang didapat ketika semakin banyak orang yang terlibat di sana, gedung yang diduduki yang akan semakin bermanfaat ketika lebih banyak orang yang berkomitmen pada pengelolaannya. Anarkis mengembangkan suatu visi tentang dunia tanpa batas dalam berbagi.

Hedonisme sipil

Visi kami tentang relasi yang sehat adalah tentang penghapusan dikotomi—pribadi versus umum, kepentingan pribadi versus pengorbanan pribadi—yang seperti dikotomi-dikotomi lainnya hanyalah ilusi yang diciptakan. Mereka yang mengkotbahkan pengorbanan diri untuk kepentingan umum, masih memegang pemikiran dari model individual versus masyarakat; begitu juga dengan mereka yang beraspirasi menjadi individualis yang mandiri; bagi kami individual dan komunitas adalah seperti titik temu-titik temu dalam jaringan eksistensi—dan tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Kebebasan dan otonomi yang kita hargai hanya dimungkinkan dalam suatu konteks kultur yang kita bangun bersama, namun tiap-tiap dari kita harus membangun individual-individual tersendiri sebelum dapat berkontribusi pada penciptaan kultur bersama. Bahwa jika engkau dapat menyelamatkan dirimu, engkau dapat menyelamatkan dunia—tapi engkau juga harus menyelamatkan dunia untuk menyelamatkan dirimu sendiri.

Revolusi dan bukan perang

Berhati-hatilah dengan perjuangan. Tidak sedikit kaum radikal yang terlibat dalam politik karena mereka mengetahui semuanya tentang perlawanan, tapi sangat sedikit tentang hal lainnya. Mereka merubah semua bentuk interaksi menjadi konflik antara baik versus jahat, memapankan sikap dan membuat batasan-batasan, sampai akhirnya pertarungan adalah antara mereka versus dunia. Untuk mereka yang berprofesi sebagai agitator, sikap itu jelas cara yang baik untuk mempertahankan karir mereka—namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun selain mengagitasi orang-orang. Kebanyakan orang akan berhenti memperhatikan para agitator—siapakah orang yang secara pribadi tidak mempunyai cukup antagonisme dan kejengkelan-kejengkelan dalam hidupnya?

Kita akan selalu menemui perang yang sedang menunggu keterlibatan orang-orang—lawan, lawan, lawan. Anarkis membuat perang menjadi sesuatu yang basi, dengan melampaui oposisi. Itu adalah revolusi.

Jangan bergabung dengan konflik yang sedang berlangsung dan melakukan pemihakan pada salah satu pihak; jangan menjadikan diri kita korban dari konflik yang terjadi: definisikan berulang-ulang proses terjadinya konflik, misalnya “orde baru versus reformasi” menjadi “demokrasi langsung versus kekuasaan elitis”.

Jika engkau ingin memprovokasi pemberontakan—jangan merumuskan program yang harus disetujui oleh semua pihak, jangan melakukan perekrutan, apalagi ‘mendidik massa’. Lupakanlah bahwa engkau harus merayu orang lain agar setuju dengan kau, berikanlah orang-orang dorongan agar mereka dapat mengembangkan ide mereka sendiri. Setiap orang yang mempunyai ide-idenya sendiri adalah lebih anarkis dibandingkan dengan setiap orang yang mempuyai “Ide Anarkis”. Organisasi sentralis ataupun otoritas yang diakui sebagai pemberontak hanya akan meredakan pemberontakan.

Untuk sebuah propaganda, jangan mengklaim kebenaran, bermain-mainlah dengan kebenaran—sisipkanlah pertanyaan-pertanyaan—tapi ingat bahwa tidak semua pertanyaan berakhir dengan tanda tanya. Bagi sebuah propaganda revolusioner, esensi dari pernyataannya bukanlah apakah ia benar secara obyektif—esensi dari propaganda adalah sejauh mana propaganda tersebut dapat memprovokasi respon dari mereka yang menerimanya, bukan sejauh mana propaganda tersebut adalah benar secara obyektif—pendekatan yang seperti ini membedakan revolusioner dengan para filsuf bajingan.

Beautiful anarchists desire you

Follow your heart to the places we will meet. Please don’t be too late.

OK, aku tertarik, apa yang aku harus lakukan selanjutnya?

Kami tidak bermaksud untuk menyombongkan diri, tapi tidakkah kamu memperhatikan kami? Kami tidak sedang merekrut engkau ke dalam suatu agama atau partai politik—tapi sebaliknya. Hal yang terbaik (dan paling sulit) adalah semua ini seluruhnya ada di tanganmu.

Aquarian Letter | Voice 10 | Nopember 2009


Format PDF; Size 1.5 MB

Anarki: Sebuah Panduan Grafis




Anarki
: Sebuah Panduan Grafis
Penulis: Clifford Harper


Sebagaimana mestinya, Anarkisme tidak memiliki sejarah—i.e. dalam pengertiannya sebagai keberlanjutan dan perkembangan. Ia adalah sebuah gerakan yang spontan dari masyarakat dalam waktu dan masa-masa tertentu.

Sebuah sejarah dari Anarkisme tidak akan ada di dalam sejarah politik yang sesungguhnya, ia dapat dianalogikan dengan sebuah sejarah dari detakan jantung. Seseorang dapat saja menemukan penemuan di dalam hal tersebut, atau pun membandingkan reaksi-reaksinya di dalam kondisi-kondisi yang beragam, namun tidak ada sesuatu yang baru darinya.
--Muriel Spark
The Girls of Slender Means

Anarkisme tercetus dan tercipta di antara masyarakat, dan akan mempertahankan vitalitas serta kekuatan kreatifnya selama ia menjadi sebuah gerakan dari masyarakat.
--Peter Kropotkin

Pengantar

Seperti halnya ide-ide cemerlang, anarki terasa cukup mudah ketika kamu benar-benar menjalaninya—manusia berada dalam kondisi terbaiknya ketika mereka hidup bebas dari otoritas, memikirkan dan memutuskan sesuatu secara bersama-sama dibanding menerima perintah. Itulah maksud dari kalimat—Tanpa Pemerintahan. Seringkali kebanyakan dari kita sudah bersentuhan dengan hal semacam ini (meski ada beberapa golongan orang yang memang menikmati diperintah), namun kita juga mengerti, biasanya kita merasa sulit melakukan sesuatu untuk diri sendiri—ketika kamu mencobanya kamu pasti akan melanggar aturan ataupun menentang beberapa regulasi serta hal yang lainnya.

Namun, sepanjang sejarah manusia banyak orang-orang yang benar-benar dapat melakukannya. Untuk hidup dengan bebas. Terkadang mereka melakukannya sendiri, terkadang dalam sebuah kelompok yang kecil, adakalanya juga mereka melakukannya di dalam gerakan popular yang dashyat.

Itulah apa maksud dari Anarki—sebuah panduan grafis yang sebenarnya. Buku ini merupakan sebuah catatan dari beberapa orang tersebut dan orang-orang yang ingin membangun sebuah dunia baru dan menghidupi kehidupan yang bebas dari belenggu otoritas. Dan ingat—kamu bukannya sedang memegang sebuah buku sejarah di dalam genggamanmu, karena Anarki adalah mengenai orang-orang biasa, seperti kamu dan aku.

Apa yang dijelaskannya sedang menuju ke suatu tempat sekarang, mungkin lebih dekat dari apa yang kamu bayangkan. Sampai ketemu lagi,

Clifford Harper

Format PDF; Size 608 KB

Aquarian Letter | Voice 9 | Oktober 2009

Maaf terdapat kesalahan pada redaksi tanggal, silahkan download:

Format PDF; Size 666 KB

Rabu, 20 Januari 2010

Serikat Petani Jawa Barat: Wawancara dengan Pak Suhdin


Kabar dari Garis Depan

Melokalisasi Perjuangan Global Melawan Neo-Liberal


Kapan Bapak pertama kali berkenalan dengan aktivitas politik?
Saya pertama kali mengenal aktivitas politik atau kalau istilah yang dipakai oleh mahasiswa mah ‘gerakan’ yaitu pada tahun 1985. Pada tahun tersebut Bapak berjuang bersama beberapa kawan lain dengan satu tujuan yaitu memperjuangkan hak rakyat Badega atas tanahnya sendiri yang dicuri pihak luar yaitu perusahaan PT.

Kenapa tanah Badega harus diperjuangkan?
Kita disini adalah rakyat asli kampung Badega sejak jaman nenek moyang kami. Yang aneh adalah kami selaku rakyat adat, istilahnya, yang sejak jaman nenek moyang kami tinggal dan berkehidupan di sini malah tidak mempunyai tanah sejengkal pun karena tanah kami secara kepemilikan tanah diklaim oleh suatu perusahaan dengan berbagai bukti surat yang boleh dibilang lengkap. Entah karena kami pada saat itu terlalu bodoh sehingga bisa dibebenyokeun (dibodohi).

Setelah itu, apa yang Bapak dan warga atau kawan-kawan Bapak lakukan pada saat itu?
Kami memulai sejarah perjuangan kami pada tahun 1985 dengan hanya 9 orang saja pada waktu itu. Kami bermasalah dengan suatu perusahaan yang bernama PT. Sjam sebagai pemegang SK HGU (Hak Guna Usaha). Pertama kali yang kami bangun sebetulnya bukan organisasi, tapi lebih merupakan panitia permohonan akan tanah yang berjumlah sembilan orang tadi. Pada perjalanannya kemudian panitia ini kami bikin permanen.

Bagaimana Bapak mengorganisasikan masyarakat petani Badega pada saat itu?
Pada saat itu kami membagi petani menjadi beberapa kelompok tani, pada saat itu ada 8 kelompok tani. Pembagian kelompok tani ini kita bagi untuk mempermudah proses komunikasi dan konsolidasi berhubungan dengan kondisi geografis dari tanah Badega itu sendiri yang sangat luas dan terdiri dari pegunungan-pegunungan.

Bagaimana dengan sikap warga pada saat itu?
Pada saat itu mah jaman Orde Baru. Jarang sekali orang berani bicara apalagi bersifat melawan. Karena kondisi seperti itulah warga pada saat itu lebih bersifat menunggu saja atau lebih kepada mencari aman, tetapi tetap mendukung perjuangan secara sembunyi-sembunyi.

Apa yang mendorong sampai Bapak begitu giat dan yakin untuk berjuang?
Keyakinan! Yakin akan kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Pada saat itu dan sampai sekarang kita masih berpegangan pada pernyataan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum dan kami tidak mendapatkan keadilan atas persoalan penindasan yang mengatasnamakan hukum di Negara kita.

Misalkan, pada tahun 1987 Bapak pernah diculik oleh pihak Polsek Cikajang pada 30 September di malam hari. Ini terjadi karena sebelumnya kami melakukan pengajuan permohonan menggarap tanah kepada Bupati dan kemudian ditolak. Penculikan ini dilakukan bertepatan dengan peringatan hari kesaktian Pancasila. Mungkin mereka mau menuduh kami sebagai kaum komunis atau PKI. Tuduhan seperti ini sering sekali dilakukan oleh pemerintah pada saat itu terhadap kami yang seringkali membuat kami merasa difitnah, ditakut-takuti dan merasa terhukum oleh mereka yang yakin akan tuduhan tersebut.

Pada saat saya diculik, saya didera berbagai macam siksaan sampai mata saya tidak bisa melihat dan muka saya hancur, lebih dari itu kami diintimidasi agar menandatangani suatu pernyataan yang isinya menyatakan suatu syarat bahwa kami tidak akan menggarap tanah milik perkebunan. Pada saat itu saya menandatangani pernyataan tersebut. Karena penandatanganan inilah saya dikeluarkan oleh pihak Polsek.

Semakin kami ditindas, semakin kami yakin terhadap apa yang kami perjuangkan.

Apa yang Bapak lakukan selepas Bapak diculik oleh pihak Polsek?
Pada sekitar akhir tahun 1987, kami mulai banyak berkenalan dengan berbagai orang dan berbagai organisasi yang memperjuangkan Hak Asasi Manusia. Puncaknya dari sini adalah saya mengetahui apa yang disebut strategi dan taktik atau STRATAK.

Dari stratak inilah muncul suatu cara berjuang yang lebih nyata. Pada beberapa pertemuan sempat dibicarakan suatu cara yang hebat tentang bagaimana caranya supaya kasus Badega bisa jadi, istilahnya mah, heboh. Dari sinilah ide untuk melakukan reclaiming tanah Badega yang dikuasai oleh PT Sjam itu muncul. Juga ide untuk mendorong yang pada akhirnya membuat Pak Suhdin dan 3 kawan seperjuangan yang lain dipenjarakan. Jadi, membuat diri kami bertiga dipenjara itu adalah sebagian dari rencana stratak itu tadi.

Berapa lama dipenjara?
16 bulan. Dari 3 kawan yang dipenjara, saya yang paling lama. Oh iya, lupa, bahwa satu dari kami itu adalah perempuan yang bernama Bu Kokom. Bu Kokom ini sebetulnya yang paling berani di antara kita bertiga. Saya, pada proses selanjutnya dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

Apa yang Bapak lakukan selepas dari penjara?
Pada tahun 1991, saya dan rekan seperjuangan terus saja berjuang. Sampai pada suatu saat diadakan lokakarya yang digagas oleh mahasiswa dan LBH Bandung. Dari sinilah dorongan terbentuknya organisasi itu berawal. Organisasi pun lahir dengan nama Serikat petani Jawa Barat. Akan tetapi karena pada waktu itu pemerintah telah mempunyai suatu induk organisasi tani yang bernama Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). HKTI lebih bersifat memonopoli hakekat perjuangan petani terhadap hak atas tanah berdasarkan keinginan pemerintah saja dan berdasar pada prinsip pembangunan. Organisasi ini adalah kepanjangtanganan (baca; intervensi) pemerintah terhadap persoalan petani.

Apa harapan Pak Suhdin sekarang berhubung usia Bapak yang memasuki kepala tujuh alias sudah aki-aki?
Harapan mah pokoknya petani harus memiliki tanah, petani harus memiliki harga diri sebagai petani, petani harus sadar bahwa di adalah Soko Guru Revolusi dan Indonesia adalah Negara Agraris yang berarti bahwa petani adalah nyawa masyarakat Indonesia, petani harus sadar hak dan kewajiban. Dan karena di Indonesia atau di Garut atau di manapun banyak yang ditindas baik kalangan petani atau bukan jadi kita harus selalu solider terhadap penindasan itu supaya dilawan dan diperjuangkan.

Tapi Indonesia memang Negara yang aneh, kita begitu miskin di tengah kekayaan alam negerinya sendiri. Kita begitu terjajah oleh kekuatan modal. Saya tidak sampai ngerti apa yang telah membuat petani begitu ditindas, begitu tidak berharga diri. Yang paling parah sekarang teh adalah karakter petani yang begitu lemah dan dilemahkan, tidak berdaya juang tinggi atau dalam bahasa barudak mahasiswa dulu mah, tidak militan.

Nyaeta meureun nu disebut Globalisasi teh, ngan teu nyagka we neupi ka belah dieu, neupi ngarasula pisan. Cenahmah aya undang-undang modal anu bakal ngahancurin petani. Nepika HGU age 95 tahun lilana. Duka...perlawanan na kedah kumaha ngalawan kakuatan global samentara ngahijikeun kakuatan sakampung ge sakitu hesena.

(Itulah mungkin yang disebut Globalisasi, hanya saja saya tidak sangka sampai begini bentuknya, sampai begitu sangat merusak. Sampai katanya ada sebuah undang-undang penanaman modal yang akan menghancurkan petani. Di dalamnya terdapat HGU atau hak guna usaha, yang lamanya sampai 95 tahun. Entahlah...perlawanan bagaimana yang bisa melawan kekuatan Global, sementara mempersatukan kekuatan satu kampong saja begitu sulit)[]


Senin, 18 Januari 2010

Kemanakah Kita akan Melangkah?: Refleksi atas sebuah perjalanan kemenjadian manusia (part 3)

Sepintas lalu manusia memang terlihat berbeda dengan hewan lain karena beberapa “keistimewaan” dalam diri manusia. Karena hal tersebut kita menempatkan sendiri diri kita pada kedudukan yang lebih tinggi dari komponen alam lainnya. Tetapi, kami melihat bahwa perbedaan itu hanya sekedar perbedaan dalam bentuk organisasi hidup spesies berdasarkan tarafnya masing-masing akibat evolusi biologis yang telah berjalan sangat lama. Perbedaan itu tidak lantas menjadi pembenaran bagi manusia untuk menempatkan dirinya pada posisi yang istimewa di alam, toh ia tak akan bisa hidup tanpa komponen alam lainnya.

Kita mungkin tidak sering menyadari hal tersebut karena kita seringkali lebih menyadari paa yang terjadi dalam hidup kita saat ini saja. Hal tersebut menjadi akar sebuah kerangka berpikir dalam diri kita saat ini bahwa kitalah yang berkuasa atas alam, kita yang berhak untuk menggunakan berbagai sumber daya alam—alam hadir untuk manusia. Kita jarang menyadari bahwa hal itu yang malah menjadi malapetaka bagi manusia, terlebih pada segenap komponen alam, dengan ditimbulkannya berbagai kehancuran dan krisis akibat eksploitasi yang digerakkan oleh manusia. Bahkan, tak hanya oleh ma¬nusia-pada-lingkungan (baca: komponen alam lainnya) saja, eksploitasi juga terjadi antarmanusia itu sendiri. Inilah akar dari banyak krisis yang melanda manusia saat ini.

Dengan melihat kembali asal-usul manusia, kita dapat belajar, setidaknya menyadari dan merefleksikan ulang tentang kedudukan dan peran kita di alam seba¬gai bagian yang sama seperti halnya makhluk hidup lain dalam menjaga keberlangsungan hidup alam ini. Dengan kesadarandiri dan akalbudi yang telah mencapai tahap perkembangan yang sedemikian hebat pada manusia modern saat ini, seharusnya kita lebih menyadari akan berbagai kehancuran yang disebabkan oleh tindakan kita. Kesadaran-diri kita saat ini seharusnya membawa kita pada kesadaran bahwa alam bukan hadir untuk melayani manusia, tapi ia ada untuk keberadaan selu¬ruh penghuninya, yang mana kita adalah salah satunya. Keberadaan alam adalah keberadaan ruang sekaligus penghuninya. Manusia bukanlah bagian yang terpisah dari alam. Manusia adalah bagian dari sebuah eko¬sistem, yang memiliki cara hidupnya khasnya, sama hal¬nya dengan hewan lain. Maka, kini kita perlu memikirkan ulang bagaimana mengorganisir carahidup lain kemudi¬an menjalankannya: carahidup yang jauh lebih baik bagi alam dan bagi manusia itu sendiri. Mungkin kita masih punya waktu. Mungkin, sebelum kita punah.

Rujukan Utama
Engels, Frederick. Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara. 2004. Jakarta: Kalyanamitra. (terutama bagian terakhir: Peran Kerja di Dalam Transisi Kera Menjadi Manusia)
Leakey, Richard. Asal-Usul Manusia. 2003. Jakarta: KPG.

Referensi Lain
Buku
Gonick, Larry. Kartun Riwayat Peradaban jilid I. 2006. Jakarta: KPG.
Quinn, Daniel. Ishmael. 2006. Jakarta: Fresh Book.

Referensi Teks lainnya
Engels, Frederick. Kondisi Kelas Buruh di Inggris (1845). MIA.
Marx, K dan F. Engels. Ideologi Jerman ‘Ideologi Pada umumnya, khususnya Filsafat Jerman’; ‘Premises of The Materialist Conception of History’ (1845). MIA.

Film
Cassian Harrison (producer). Guns, Germs, and Steel (adaptasi dari buku Jared Diamond yang berjudul Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies). 2005. National Geographic Society.
Mark Hedgecoe (producer). Walking With Cavemen (the complete series). 2002. BBC.




Kemanakah Kita akan Melangkah?: Refleksi atas sebuah perjalanan kemenjadian manusia (part 2)

Siapa sebenarnya manusia, siapa sebenarnya kita? Kita adalah Homo Sapiens yang muncul sekitar 130.000 tahun silam di Afrika. Manusia yang kita sebut sebagai “manusia” saat ini bermula dari Homo Sapiens yang muncul sekitar 300.000-200.000 tahun lalu di Afrika dan Asia. Banyak dari kita saat ini menganggap bahwa sebutan “manusia” hanya berlaku bagi spesies itu dan tidak bagi jenis manusia yang lain. Sebenarnya ada beragam jenis manusia sepanjang sejarah evolusi manusia. Dalam genus Homo kita dapat menyebutkannya mulai dari Homo Habilis, Homo Ergaster, Homo Erectus, Homo Neanderthal, Homo Florosiensis, hingga homo Sapiens. Selain itu, terdapat pula jenis manusia lain yang diperkirakan muncul lebih dulu dari genus Homo, yaitu manusia genus Australopithecus.

Penyelidikan mengenai asal-usul manusia telah dimulai sejak abad 19 oleh para arkeolog. Perdebatan sengit mengenai kemunculan manusia tidak hanya terjadi antara kaum evolusionis dan kreasionis, namun diantara para arkeolog evolusionis sendiri. Terdapat banayk pro dan kontra mengenai temuan fosil nenek moyang manusia. Satu hal yang mencuat diantara perdebatan itu dilatarbelakangi oleh keengganan sebagian ilmuwan untuk mengakui temuan yang membuktikan bahwa manusia pertama kali muncul di benua Afrika dan memiliki kekerabatan yang dekat dengan kera besar Afrika. Perdebatan ini membuktikan bahwa beberapa ilmuwan memang mencoba menempatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang istimewa di alam sedari awal (Leakey, 2003: 2-4).

Para ilmuwan mempunyai tugas berat untuk melacak kapan spesies manusia pertama muncul. Arkeolog berpegang pada data atas hasil temuan fosil-fosil yang masih merupakan serpihan-serpihan kecil atas kehidupan masa lalu. Beragam interpretasi atas sedikitnya temuan fosil tersebut memunculkan banyak asumsi di kalangan arkeolog sendiri. Mulanya arkeolog memperkirakan bahwa persimpangan antara manusia dan kera sedikitnya terjadi 15 juta tahun yang lalu. Namun, ilmuwan juga tak hanya melakukan eksperimen pada jalur yang sama. Jalur lain pun ditempuh. Pada akhir 1960an, Allan Wilson dan Vincent Sarich, dua ahli biokimia, melakukan penelitian dengan membandingkan struktur sejumlah protein darah antara manusi hidup dan kera Afrika agar dapat diperoleh apa yang mereka sebut jam molekular. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa spesies manusia pertama muncul hanya sekitar 5 juta tahun silam. Adanya temuan ini mengundang debat antara ahli arkeologi dan ahli biokimia. Namun, seiring berjalannya waktu, temuan berupa fosil maupun data genetika semakin banyak ditemukan. Dengan temuan-temuan baru itu akhirnya disepakati bahwa bukti mengarah pada temuan Wilson dan Sarich. Mereka pun menaruh waktu yang sedikit lebih lama bagi kemunculan spesies manusia pertama yakni 7 hingga 5 juta tahun silam (Ibid, hal. 7-12).

Dimana manusia pertama kali muncul? Para antropolog berpijak dari asumsi Charles Darwin bahwa Afrika mungkin menjadi tempat leluhur pertama manusia hidup karena menurutnya mamalia yang masih hidup berkerabat dekat dengan spesies yang berevolusi Di daerah itu. Kera-kera yang sudah punah tersebut mungkin berkerabat dekat dengan gorila dan simpanse yang merupakan kerabat evolusioner paling dekat dengan manusia saat ini (Ibid., hal. 2).

Asumsi ini menemukan keterkaitan dengan hasil penelitian lebih lanjut terhadap perubahan geologis di benua Afrika. Sekitar 15 juta tahun yang lalu, Afrika merupakan daerah dengan hamparan hutan rimba yang terbentang dari barat hingga timur. Lingkungan itu dihuni oleh beragam primata termasuk spesies monyet dan kera. Seiring waktu berlalu, wajah bumi berubah. Daya-daya tektonik pada kerak bumi di bawah benua Afrika mengubah wajah bumi dan merias ulang kondisi alam di atasnya. Hingga 12 juta tahun lalu daya tektonik terus mendesak perubahan muka Afrika. Terbentuklah lembah panjang berliku membentang dari utara ke selatan yang dikenal dengan The Great Rift Valley. Perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Karena itu, topografi Afrika timur dan barat pun berubah, lantas mendorong berkembangnya keadaan puspa-ragam lingkungan. Munculnya keragaman lingkungan dari yang beriklim sejuk, hutan rimbun, hingga dataran rendah yang panas dan gersang memicu pembaruan evolusioner para penghuninya. Primata di bagian Afrika barat terus beradaptasi dengan lingkungan lembab berpohon. Sedangkan manusia lahir dari lingkungan yang memaksa leluhurnya di bagian timur untuk dapat beradaptasi sesuai dengan kondisi alam yang baru. Kondisi alam yang baru ini tidak lagi seluruhnya rimba lembab berpohon, namun lebih beragam dengan kondisi khas padang rumput terbuka. Adaptasi baru pada kera yaitu bipedal (berjalan dengan dua kaki) merupakan bentuk adaptasi yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang puspa-ragam itu. Inilah drama seleksi alam yang menyediakan kemungkinan bertahan hidup atau menghadap pada kemungkinan (Ibid., hal. 19-21).

Bipedal merupakan syarat utama bagi lahirnya manusia karena kondisi itu merupakan awal yang memungkinkan bagi perkembangan kondisi biologis-sosial manusia hingga seperti saat ini. Seperti yang dikemukakan Richard Leakey bahwa “bipedalisme sejalan dengan peningkatan efisiensi energi sebagai kekuatan seleksi alam.” Leluhur manusia, kera bipedal pertama, sudah memenuhi syarat itu meskipun bagian lain dari dirinya selebihnya berciri kera. Desakan perubahan lingkungan yang baru dan beragam menuntut leluhur kita untuk beradaptasi dengan cara hidup yang sesuai. Bipedal memungkinkan tubuh bagian atas bergerak lebih efisien. Keadaan itu menghasilkan keuntungan lainnya berupa kemampuan membuat dan membawa barang melalui kedua tangan. Tangan manusia menjadi salah satu alat bertahan hidup mereka. Kedua tangan dan lima jari pada masing-masingnya. Yang dapat digerakkan secara efisien bisa digunakan manusia untuk membuat perkakas (Engels, 1884: 233-234; Leakey, ibid., hal. 16-25).

Selain syarat bipedal, perkakas merupakan hal utama yang membantu manusia bertahan hidup hingga sekarang (Engels, 1884). Kita lihat saja dunia sekeliling kita saat ini; hidup dan dunia kita dikelilingi beragam macam perkakas. Perkakas yang membantu kita makan saja sudah sangat beragam, dari rice-cooker hingga sendok. Untuk bepergian jauh kita tak perlu melelahkan diri dengan berjalan kaki, beragam jenis kendaraan hadir untuk memudahklan perjalanan kita. Mulai dari barang berukuran kecil seperti sendok yang membantu kita makan hingga bor berukuran besar yang menembus bumi untuk kita ambil minyaknya, perkakaslah yang membantu manusia hidup. Jika kita melihat ke awal kehidupan manusia, semua perkakas ini berawal dari hal yang sangat sederhana yaitu batu.

Kunci bagi arkeolog untuk menguraikan kehidupan awal manusia terletak pada penemuan perkakas batu. Perkakas batu hampir tidak dapat hancur saat menjadi fosil, tidak seperti belulang. Namun justru karena faktor tersebut, ia dapat menjadi petunjuk utama terhadap cara manusia hidup saat itu. Temuan perkakas batu paling awal berasal dari 2,5 juta tahun silam berupa perkakas yang berasal dari batu kali yang dipecah. Temuan pertama ini berasal dari jurang Olduvai, bagian utara Tanzania, Afrika. Hal ini menandakan berlangsungnya kegiatan teknologis manusia (Leakey, op. cit., hal. 15-16).

Meskipun temuan perkakas awal manusia sifatnya seperti kebetulan dan sangat sederhana, hal ini menjadi titik tolak bagi perubahan lebih lanjut. Ditemukannya temuan perkakas batu sekitar 1,4 juta tahun silam di situs St. Acheul menunjukkan seperti adanya kesengajaan dalam membuat bentuk perkakas. Salah satu contoh adalah perkakas berbentuk seperti airmata (teardrop-shaped tool) yang pembuatannya membutuhkan keterampilan tinggi. Temuan lain pada fosil tulang hewan dari situs berumur 1,5 juta tahun di Kenya bagian utara menunjukkan bahwa manusia telah menggunakan perkakas batu tajam untuk memungut daging bangkai hewan dengan cara melolosinya (Leakey, ibid., hal. 47-50). Hal ini menunjukkan bahwa perkakas telah memberikan pengaruh besar terhadap perolehan makanan yang kemudian memacu perkembangan otak sehingga manusia dapat menghasilkan teknologi yang lebih maju dan karenanya, kelak, mengubah hidup manusia (Engels, op. cit., hal. 233-247).

Rentang waktu yang panjang dari awal kemunculan manusia hingga ditemukannya perkakas menimbulkan pertanyaan pada kita, bagaimana kehidupan manusia selama rentang waktu itu? Kita dapat merujuk pada apa yang dikemukakan oleh antropolog mengenai cara hidup awal manusia: berburu dan mengumpulkan. Kunci penjelasan ini ada pada makanan. Selama belum diciptakan perkakas, manusia hanya mengandalkan kebaikan alam yang diperoleh melalui kedua tangannya. Tumbuhan adalah makanan yang relatif mudah didapat ketimbang daging yang harus diperoleh dengan cara membununuh atau menemukan bangkai makanan. Lagipula untuk mendapatkan daging, manusia harus menempuh cara berisiko berhadapan dengan binatang buruan atau pemangsa lain. Bisa dikatakan bahwa pada masa yang sangat lama ini pasokan gizi (terutama protein) yang didapat dari daging jumlahnya sedikit.

Meskipun asupan gizi dari daging selama masa tersebut relatif sedikit, namun hal tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan biologis manusia. Protein yang terdapat dalam daging adalah zat penting yang membantu perkembangan otak manusia. Daging kaya dengan kalori dan lemak yang dapat meningkatkan energi. Seperti yang dikemukakan oleh antropolog Robert Martin, ukuran otak hanya dapat meningkat apabila ada tambahan pasokan energi, yang banyak didapat dari daging. Secara biologis otak adalah organ yang memakan energi paling banyak (Leakey, op. cit, hal. 67).

Maka dari itu, asumsinya, dalam rentang waktu yang panjang manusia memunguti sisa-sisa bangkai hewan bekas pemangsa lain dan dari situ ia memperoleh asupan gizi yang bermanfaat bagi perkembangan otaknya (Engels, op. cit., hal. 239-240). Hal ini diperkuat oleh temuan perkakas paling awal, yang mana para antropolog meyakini bahwa di masa itu bertepatan dengan berkembangnya ukuran otak manusia. Kesimpulan ini didasarkan atas serangkaian penelitian yang menunjukkan bahwa kemampuan membuat perkakas membutuhkan koordinasi keterampilan motorik dan kognitif yang baik (Leakey, op. cit., hal 47-48).

Apa yang dapat kita tarik sebagai pelajaran dari perkakas ini adalah momen saat manusia mengerahkan segala upaya berdasarkan kemampuan yang ia miliki untuk bertahan hidup. Perkakas dilahirkan dari serangkaian kebetulan dan percobaan yang lambat laun dimodifikasi berdasarkan pengalaman. Paduan perkembangan organ otak dan dampak dari bhipedalisme yaitu kedua tangan yang bebas dan dapat digerakkan secara efisien memungkinkan manusia dapat membuat perkakas. Perkakas kemudian digunakan dari mulai melolosi daging bangkai, memecah tulang untuk mendapatkan sumsum, hingga berburu hewan. Manusia melakukan upaya berdasarkan kemampuannya tersebut. Segala upaya itu adalah rangkaian usaha bertahan hidup yang tanpanya manusia bisa punah. Upaya-upaya itulah yang kita maksud dengan kerja (Engels, op. cit.; Marx & Engels, op. cit.).

Namun kerja bukan berarti terjadi dalam taraf individu. Kerja membutuhkan syarat lain yaitu sosial (Marx & Engels, ibid.). Sebagaimana sebagian besar primata hidup secara sosial dan mengandalkan kerjasama kelompok, begitu juga halnya dengan manusia. Meski sudah menggunakan perkakas, tidak lantas manusia dapat bertahan hidup sendirian. Kegesitan manusia seringkali tidak sebanding dengan hewan buruannya, apalagi jika berhadapan dengan hewan yang berukuran besar dan kuat. Manusia bukanlah hewan yang dilengkapi—kemampuan—organ spesifik tangguh yang dapat diandalkan seperti halnya taring tajam dan kecepatan lari seekor cheetah atau kulit tebal dan gigitan mematikan seekor buaya. Fisik manusia yang lemah itu dapat diatasi dengan menggunakan taktik berburu dalam lingkup kelompok. Dengan berburu bersama, kemungkinan mendapatkan buruan jauh lebih besar daripada dilakukan sendirian. Bertolak dari hal tersebut, maka berbagai makanan merupakan hal yang sangat penting karena dengan itu keutuhan kelompok—keberlangsungan hidup—mereka tetap terjaga. Hal lain yang juga didapat dari hidup sosial ini adalah munculnya bahasa lisan. Bahasa lahir dari desakan proses evolusi pada rangka dan organ manusia terutama di seputar tenggorokan yang diiringi dengan cara hidup berburu-meramu dalam kelompok yang menuntut kelancaran komunikasi (Engels, op. cit., hal. 236-237; Leakey, op. cit., hal. 161).

Hubungan pengaruh-mempengaruhi antara manusia dan lingkungannya yang diperantarai kerja menimbulkan sesuatu yang sangat penting dalam menentukan hidup manusia: kesadaran diri dan akal budi. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kemampuan berbahasa dan kehidupan sosial. Interaksi sosial yang erat dan kegiatan yang subsisten yang mengandalkan kerjasama disertai asupan gizi yang potensial menjadi latar munculnya kesadaran pada masa 2,5 juta tahun silam. Masa ini bertepatan dengan perkembangan perkakas dan kemunculan genus Homo awal.

Kesadaran diri menjadi penting sebab melaluinya manusia mulai sadar akan kehidupan pada dirinya dan mulai mengubah alam demi kepentingannya (Leakey, ibid., hal. 184). Kemunculan hal ini adalah implikasi dari membesarnya volume otak. Ketika otak membesar, cara pengorganisasiannya juga ikut berubah. Otak genus Homo berukuran lebih besar daripada Australopithecus. Perbedaan ukuran itu disertai perbedaan dalam ukuran cuping frontal dan occipital. Menurut hasil penelitian Dean Falk, otak Australopithecus pada hakikatnya mirip kera dalam cara pengorganisasiannya. Sedangkan pada otak Homo purba, pengorganisasiannya mirip manusia saat ini (Leakey, ibid., hal. 192).

Hal yang paling menakjubkan dari otak adalah bagaimana ia menghasilkan persepsi atas apa yang dilihat—dunia. Manusia mempunyai persepsi sendiri atas dunia yang berbeda dengan hewan lain. Sepeti halnya kupu-kupu yang mampu menangkap sinar ultraviolet sedangkan manusia tidak. Para biolog, kini tidak lagi berpendapat bahwa hanya manusia saja yang memiliki kesadaran diri. Serangkaian penelitian menunjukkan bahwa hewan lain pun memiliki kesadaran diri pada tarafnya masing-masing. Karena itu, dunia yang kita lihat ini adalah persepsi yang dihasilkan kerja organ biologis otak kita khas manusia. Persepsi dunia dibentuk dari mutu aliran informasi yang masuk melalui indera ke dunia dalam diri dan bagaimana kemampuan dunia dalam itu—organ otak—mengolahnya (Leakey, Ibid., hal. 190).

Serpihan bukti yang dapat dijadikan penanda munculnya kesadaran diri adalah fosil ritual penguburan manusia pada masa sekitar 120.000 tahun silam. Dengan melakukan proses penguburan, berarti manusia telah sadar akan berakhirnya hidup—kematian. Manusia telah memiliki kesadaran terhadap dirinya, kesadaran akan keberadaannya. Inilah titik tolak yang berperan besar pada kehidupan manusia.[]



Jurnal Antropost #1

Kemana Kita akan Melangkah?: Refleksi atas Sebuah Perjalanan Kemenjadian Manusia (Part1)

Earth doesn’t belong to man
Man belong to earth
- Green Anarchy -


Krisis dan krisis. Akhir tahun 2008 hingga dua bulan terakhir diwarnai dengan serangkaian krisis, mulai dari krisis ekonomi finansial hingga konflik sengketa lahan antara petani dan korporasi. Dunia modern tempat kita berpijak, dunia modern yang kita banggakan kemajuan¬nya, dunia di mana waktu terasa berputar cepat ini seolah dikutuk takkan lepas dari krisis. Krisis memang tak pernah lepas dari kehidupan manusia saat ini, dan di antara serangkaian dan setumpuk krisis pada dunia dan masyarakat modern terdapat satu jenis krisis yang keberadaannya sangat menakutkan, namun seolah tidak mendapat perhatian serius dari kita semua. Jangankan para pemimpin negara, banyak dari anggota masyarakat biasa pun sering tidak peka. Krisis itu terdapat di tempat yang kita pijak. Krisis itu terdapat di tempat yang mem¬berikan kebutuhan hidup kita. Krisis itu berada pada ruang di mana manusia hidup. Krisis itu berada pada lingkungan hidup kita, pada bumi, pada alam. Jika kita coba bertanya apa sebenarnya akar dari berbagai krisis yang selalu hinggap pada hidup kita hing¬ga saat ini, apa yang kita bayangkan? Ada yang salah dengan cara-hidup kita? Ataukah kita akan bertanya lebih jauh dan tiba pada pertanyaan: apakah ada yang salah dengan manusia? Dengan diri kita sendiri? Dengan bagaimana kita memandang diri kita sendiri?

Industri memang berperan sangat penting dalam menghancurkan bumi. Limbah yang setiap hari pabrik keluarkan, polusi yang setiap hari pabrik hembuskan, menggerogoti alam dengan cepat. Akhir pertengahan abad 18 mungkin menjadi pijakan ketika gerak roda industri-pabrik mulai secara cepat menggerogoti alam. Revolusi Industri membawa manusia pada bentuk organisasi kehidupan baru: konsentrasi manusia dalam pabrik yang kotor dan hidup di luar pabrik dengan kon¬disi lingkungan yang buruk bagi kesehatan. Setidaknya kita dapat memperoleh gambaran mengenai hal terse¬but dengan melihat kembali situasi Inggris saat itu ke¬tika kota London dipenuhi smog (smoke and fog; asap dan kabut polusi pabrik). Gambaran kelam masa awal revolusi industri juga dapat kita lihat pada film-film populer seperti Jack the Ripper atau Oliver Twist. Cerita mengenai buruknya kondisi hidup para pekerja pabrik di Inggris pun dapat kita temukan dalam tulisan Friedrich Engels tahun 1845.

Karya revolusioner manusia telah memakan tuan¬nya sendiri. Revolusi Industri seperti memulai langkah kelam bagi kelanjutan hidup alam ini pada masa-masa setelahnya. Kini, eksploitasi terhadap lingkungan tem¬pat hidup manusia dibarengi usaha untuk membuatnya mendapat wajah baik dan ramah, dengan slogan utama yang kini kita kenal sebagai development: untuk kema¬juan hidup manusia. Baiklah, kemajuan. Kemajuan yang seperti apa?

Hari ini, siapa yang tidak terpukau oleh perkem¬bangan pesat teknologi? Pada semakin cepatnya proses olah data melalui komputer, pada semakin banyaknya fitur handphone, pada semakin cepatnya laju kereta api Shinkansen. Namun, manusia juga sering lupa bahwa dengan segala ”kemajuan” itu, banyak hal yang telah direnggut: keharusan kerja lebih keras untuk dapat membeli barang-barang terkini, keterpaksaan tidur larut dan kehilangan kesempatan bersantai karena selalu dike¬jar deadline kerja, keharusan bangun lebih pagi untuk menghindari macet karena banyaknya kendaraan motor di jalan, keharusan untuk menghirup udara kotor asap knalpot setiap pagi, kehilangan waktu bermain-main bersama anak atau teman. Apakah itu yang disebut dengan kemajuan hidup manusia modern? Ataukah memang itu yang disebut menikmati kemajuan hidup bagi manusia modern?

Kemajuan teknologi dan adanya industri yang hakikatnya sebagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia malah membawa manusia kepada ketergantungan akan produk yang semakin banyak dan membuat mereka berlarian tunggang-langgang mengejarnya. Padahal, manusia sendiri yang menciptakan beragam teknologi untuk hidupnya itu. Lalu, apa yang menjadi persoalan? Kami melihat, jangan-jangan, persoalannya bukan hanya pada cara hidup manusia saat ini, tetapi lebih jauh dari itu: masalah terletak pada diri manusia itu sendiri; pada bagaimana manusia melihat keberadaan dirinya dalam hidup di dunia ini, pada bagaimana cara manusia menempatkan kedudukan serta perannya di alam lantas pada bagaimana cara manusia mengorganisasikan cara hidupnya.

Karena itu kita perlu menelusuri kembali perihal keberadaan kita di dunia, mengenai asal-usul kita, dan—dengan kesadaran diri yang kita miliki sekarang—mengambil pelajaran darinya serta membangun ulang cara hidup manusia modern yang lebih baik dari saat ini.[]



Jurnal Anthropost #1

Selasa, 12 Januari 2010

Oi! dan Rasisme

Pertama orang mendengar Oi! pasti identik dengan Skinhead, sementara skinhead identik dengan rasisme. Jadi kesalahpahaman yang muncul, Oi! adalah musik rasis. Budaya ini mulai dengan masuknya imigran Jamaika ke Inggris. Cara berpakaian Skinhead diadopsi dari Rude Boys (ingat Ska) dan Mods, tapi dengan tampilan yang lebih "tough and rough". Skinhead yang sebenarnya tidak rasis, akan tetapi imej skinhead disalahgunakan oleh kaum kanan Neo-Nazi untuk menciptakan karakter yang keras, tetapi sesungguhnya bahwa skinhead bukanlah seorang yang rasis, dan perlu diketahui bahwa imej skinhead yang sesungguhnya memanglah keras bukan berarti rasisme.[]

Sejarah Oi!

Ketika era 80an menyerang dan punk rock mendapatkan nafas baru, Oi! menjadi bagian yang solid dari pergerakan itu, yang diperkenalkan oleh Garry Bushell, penulis di Sounds, koran musik di Inggris. Garry percaya bahwa punk rock adalah musik protes dan mengumpulkan semua band street punk dibawah bendera Oi! sperti The Business, The 4-skins, The Burial, Combat 84, Infariot, dan Last Resort menyerbu Punk Scene dengan jenis realita mereka. Seperti motto Las Resort, "No mess, No Fuse, just Pure Impact!" Music Oi! mulai meredup di akhir 80an. Dan di Amerika, hardcore adalah musik yang sering didengar oleh Skinhead. Dapat dikatakan bahwa musik Oi! bukan hanya musiknya Skinhead.[]

Pancoran Tempo Dulu

Oi!

Oi! berarti "hello" dalam aksen cockney di Inggris. Oi! musik bermula di akhir 70an setelah kemunculan Punk Rock. Ketika gelombang pertama punk menyerang, band seperti Sham69, The business, dan Cock Sparrer sudah bernyanyi tentang hidup di jalanan di saat Sex Pistols mencoba memulai "Anarchy in The UK". Lalu realitas punk atau "street punk" dimulai dengan Sham69 dan Sparrer, seperti juga Slaughter and The Dogs juga Menace.

Oi! adalah musik untuk semua dan semua orang yang berjalan di jalanan kota dan melihat rendah pada kaum elit dapat dihubungkan dengan Oi!. Semua orang yang bekerja sepanjang hari sebagai budak gaji dapat dihubungkan dengan Oi!. Semua orang yang selalu merasa berbeda, juga dapat dihubungkan dengan Oi!. Musik Oi! tidak memandang perbedaan ras, warna, dan kepercayaan. "Oi! music is about having a laugh and having a say, plain and simple"[]

Sabtu, 09 Januari 2010

Punk di Indonesia

Berbekal etika DIY, beberapa komunitas punk di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distro.

CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik dan tato. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi's, Adidas, nike, Calvin Klein, dan barang bermerek luar negeri lainnya.[]

Kamis, 07 Januari 2010

Punk dan Anarkisme

Kegagalan Reaganomic dan kekalahan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam di tahun 1980an turut memanaskan suhu dunia punk pada saat itu. Band-band punk gelombang kedua (1980-1984), seperti Crass, Conflict, dan Discharge dari Inggris, The Ex dan BGK dari Belanda, MDC dan Dead Kennedys dari Amerika telah mengubah kaum punk menjadi pemendam jiwa pemberontak (rebellious thinkers) daripada sekedar pemuja rock n' roll. Ideologi anarkisme yang pernah diusung oleh band-band punk gelombang pertama (1972-1978), antara lain Sex Pistols dan The Clash, dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi mereka yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap otoritas negara, masyarakat, maupun industri musik.

Di Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau perusakan massal. Padahal menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon dan Mikhail Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah bentuk kediktatoran (dominasi hegemoni-red) legal yang harus diakhiri.

Negara menetapkan pemberlakuan hukum dan peraturan yang seringkali bersifat pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bila dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.

Kaum punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, aik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. Punk, etika semacam inilah yang lazim disebut D.I.Y (do it yourself)

Keterlibatan kaum punk dalam ideologi anarkisme ini akhirnya memberikan warna baru dalam ideologi anarkisme itu sendiri, karena punk memiliki kekhasan tersendiri dalam gerakannya. Gerakan punk yang mengusung anarkisme sebagai ideologi lazim disebut dengan gerakan Anarko-Punk.[]

Get Your TAROT Reading