Selamat Datang! | Welcome!

DALAM WAKTU YANG SEMAKIN MENDESAK UNTUK TRANSFORMASI MIMPI, DIMANA RUANG-RUANG HIDUP SUDAH SEDIKIT TERSISA UNTUK KAMI MENGKREASIKAN MIMPI. DIMANA RUANG-RUANG HIDUP BUKAN LAGI BEBAS BERBICARA TENTANG MIMPI SETIAP INDIVIDU, BEBAS MEMILIH JALAN BUDAYA-PERADABAN UNTUK SETIAP KOMUNI, NAMUN SUDAH PENUH DENGAN MIMPI-MIMPI MASSAL DAN JALAN HIDUP BUDAYA-PERADABAN MASSAL DALAM BINGKAI PERBUDAKAN MANUSIA.

IDEOLOGI, PEMERINTAHAN, PASAR, KORPORASI, STRUKTUR HIDUP DALAM SEJARAH TERCIPTA MASIH BELUM MAMPU MEMBEBASKAN MANUSIA DI ATAS ALAM YANG NETRAL INI, MAKA UPAYA-UPAYA UNTUK MENCIPTAKAN RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS ALAM INI ADALAH UPAYA PEMBEBASAN INDIVIDU MANUSIA.

INDIVIDU BUKANLAH APA YANG IA PAKAI, APA YANG IA KENDARAI, APA YANG IA PERCAYAI. INDIVIDU BUKANLAH SETIAP MASALAH-MASALAH YANG MELEKAT PADA DIRINYA, LABEL-LABEL YANG DIBERIKAN KELUARGA DAN LINGKUNGANNYA. INDIVIDU ADALAH ENERGI INDEPENDEN DALAM KETAKDEFINISIAN YANG MAMPU MEMBERIKAN API KEHIDUPAN KEPADA ALAM, DIMANA ENERGI TERSEBUT JUGA BERASAL DARI API KEHIDUPAN ALAM DAN INI DINAMAI DENGAN SPIRIT.

MAKA PEMBEBASAN SPIRIT AKAN MEMBEBASKAN DUNIA, ADALAH VITAL UNTUK MENGHANCURKAN RUANG-RUANG YANG MENDESAK. PERANG TERHADAP MANIPULASI INFORMASI, HARAPAN-HARAPAN PALSU, DAN SEGALA STRUKTUR YANG MELEMAHKAN INDIVIDU DAN MEMBANGUN KEMBALI RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS KEHANCURANNYA SAMBIL MEMELIHARA DAN MENGEMBANGKAN RUANG-RUANG BEBAS YANG SUDAH TERCIPTA.

SUDAH SAATNYA BEBASKAN SPIRITMU MAKA KAMU MEMBEBASKAN DUNIAMU! ANGKAT BERPERANG KARENA INI ADALAH MEDAN PERTEMPURAN & PERTARUNGAN SPIRITUALITAS!


FREE SPIRIT-FREE WORLD
AQUARIAN
aquarian.free@gmail.com

Kunjungi Pustaka Online Aquarian

QUOTES FOR LIFE TRANSFORMATION

Senin, 18 Januari 2010

Kemanakah Kita akan Melangkah?: Refleksi atas sebuah perjalanan kemenjadian manusia (part 2)

Siapa sebenarnya manusia, siapa sebenarnya kita? Kita adalah Homo Sapiens yang muncul sekitar 130.000 tahun silam di Afrika. Manusia yang kita sebut sebagai “manusia” saat ini bermula dari Homo Sapiens yang muncul sekitar 300.000-200.000 tahun lalu di Afrika dan Asia. Banyak dari kita saat ini menganggap bahwa sebutan “manusia” hanya berlaku bagi spesies itu dan tidak bagi jenis manusia yang lain. Sebenarnya ada beragam jenis manusia sepanjang sejarah evolusi manusia. Dalam genus Homo kita dapat menyebutkannya mulai dari Homo Habilis, Homo Ergaster, Homo Erectus, Homo Neanderthal, Homo Florosiensis, hingga homo Sapiens. Selain itu, terdapat pula jenis manusia lain yang diperkirakan muncul lebih dulu dari genus Homo, yaitu manusia genus Australopithecus.

Penyelidikan mengenai asal-usul manusia telah dimulai sejak abad 19 oleh para arkeolog. Perdebatan sengit mengenai kemunculan manusia tidak hanya terjadi antara kaum evolusionis dan kreasionis, namun diantara para arkeolog evolusionis sendiri. Terdapat banayk pro dan kontra mengenai temuan fosil nenek moyang manusia. Satu hal yang mencuat diantara perdebatan itu dilatarbelakangi oleh keengganan sebagian ilmuwan untuk mengakui temuan yang membuktikan bahwa manusia pertama kali muncul di benua Afrika dan memiliki kekerabatan yang dekat dengan kera besar Afrika. Perdebatan ini membuktikan bahwa beberapa ilmuwan memang mencoba menempatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang istimewa di alam sedari awal (Leakey, 2003: 2-4).

Para ilmuwan mempunyai tugas berat untuk melacak kapan spesies manusia pertama muncul. Arkeolog berpegang pada data atas hasil temuan fosil-fosil yang masih merupakan serpihan-serpihan kecil atas kehidupan masa lalu. Beragam interpretasi atas sedikitnya temuan fosil tersebut memunculkan banyak asumsi di kalangan arkeolog sendiri. Mulanya arkeolog memperkirakan bahwa persimpangan antara manusia dan kera sedikitnya terjadi 15 juta tahun yang lalu. Namun, ilmuwan juga tak hanya melakukan eksperimen pada jalur yang sama. Jalur lain pun ditempuh. Pada akhir 1960an, Allan Wilson dan Vincent Sarich, dua ahli biokimia, melakukan penelitian dengan membandingkan struktur sejumlah protein darah antara manusi hidup dan kera Afrika agar dapat diperoleh apa yang mereka sebut jam molekular. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa spesies manusia pertama muncul hanya sekitar 5 juta tahun silam. Adanya temuan ini mengundang debat antara ahli arkeologi dan ahli biokimia. Namun, seiring berjalannya waktu, temuan berupa fosil maupun data genetika semakin banyak ditemukan. Dengan temuan-temuan baru itu akhirnya disepakati bahwa bukti mengarah pada temuan Wilson dan Sarich. Mereka pun menaruh waktu yang sedikit lebih lama bagi kemunculan spesies manusia pertama yakni 7 hingga 5 juta tahun silam (Ibid, hal. 7-12).

Dimana manusia pertama kali muncul? Para antropolog berpijak dari asumsi Charles Darwin bahwa Afrika mungkin menjadi tempat leluhur pertama manusia hidup karena menurutnya mamalia yang masih hidup berkerabat dekat dengan spesies yang berevolusi Di daerah itu. Kera-kera yang sudah punah tersebut mungkin berkerabat dekat dengan gorila dan simpanse yang merupakan kerabat evolusioner paling dekat dengan manusia saat ini (Ibid., hal. 2).

Asumsi ini menemukan keterkaitan dengan hasil penelitian lebih lanjut terhadap perubahan geologis di benua Afrika. Sekitar 15 juta tahun yang lalu, Afrika merupakan daerah dengan hamparan hutan rimba yang terbentang dari barat hingga timur. Lingkungan itu dihuni oleh beragam primata termasuk spesies monyet dan kera. Seiring waktu berlalu, wajah bumi berubah. Daya-daya tektonik pada kerak bumi di bawah benua Afrika mengubah wajah bumi dan merias ulang kondisi alam di atasnya. Hingga 12 juta tahun lalu daya tektonik terus mendesak perubahan muka Afrika. Terbentuklah lembah panjang berliku membentang dari utara ke selatan yang dikenal dengan The Great Rift Valley. Perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Karena itu, topografi Afrika timur dan barat pun berubah, lantas mendorong berkembangnya keadaan puspa-ragam lingkungan. Munculnya keragaman lingkungan dari yang beriklim sejuk, hutan rimbun, hingga dataran rendah yang panas dan gersang memicu pembaruan evolusioner para penghuninya. Primata di bagian Afrika barat terus beradaptasi dengan lingkungan lembab berpohon. Sedangkan manusia lahir dari lingkungan yang memaksa leluhurnya di bagian timur untuk dapat beradaptasi sesuai dengan kondisi alam yang baru. Kondisi alam yang baru ini tidak lagi seluruhnya rimba lembab berpohon, namun lebih beragam dengan kondisi khas padang rumput terbuka. Adaptasi baru pada kera yaitu bipedal (berjalan dengan dua kaki) merupakan bentuk adaptasi yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang puspa-ragam itu. Inilah drama seleksi alam yang menyediakan kemungkinan bertahan hidup atau menghadap pada kemungkinan (Ibid., hal. 19-21).

Bipedal merupakan syarat utama bagi lahirnya manusia karena kondisi itu merupakan awal yang memungkinkan bagi perkembangan kondisi biologis-sosial manusia hingga seperti saat ini. Seperti yang dikemukakan Richard Leakey bahwa “bipedalisme sejalan dengan peningkatan efisiensi energi sebagai kekuatan seleksi alam.” Leluhur manusia, kera bipedal pertama, sudah memenuhi syarat itu meskipun bagian lain dari dirinya selebihnya berciri kera. Desakan perubahan lingkungan yang baru dan beragam menuntut leluhur kita untuk beradaptasi dengan cara hidup yang sesuai. Bipedal memungkinkan tubuh bagian atas bergerak lebih efisien. Keadaan itu menghasilkan keuntungan lainnya berupa kemampuan membuat dan membawa barang melalui kedua tangan. Tangan manusia menjadi salah satu alat bertahan hidup mereka. Kedua tangan dan lima jari pada masing-masingnya. Yang dapat digerakkan secara efisien bisa digunakan manusia untuk membuat perkakas (Engels, 1884: 233-234; Leakey, ibid., hal. 16-25).

Selain syarat bipedal, perkakas merupakan hal utama yang membantu manusia bertahan hidup hingga sekarang (Engels, 1884). Kita lihat saja dunia sekeliling kita saat ini; hidup dan dunia kita dikelilingi beragam macam perkakas. Perkakas yang membantu kita makan saja sudah sangat beragam, dari rice-cooker hingga sendok. Untuk bepergian jauh kita tak perlu melelahkan diri dengan berjalan kaki, beragam jenis kendaraan hadir untuk memudahklan perjalanan kita. Mulai dari barang berukuran kecil seperti sendok yang membantu kita makan hingga bor berukuran besar yang menembus bumi untuk kita ambil minyaknya, perkakaslah yang membantu manusia hidup. Jika kita melihat ke awal kehidupan manusia, semua perkakas ini berawal dari hal yang sangat sederhana yaitu batu.

Kunci bagi arkeolog untuk menguraikan kehidupan awal manusia terletak pada penemuan perkakas batu. Perkakas batu hampir tidak dapat hancur saat menjadi fosil, tidak seperti belulang. Namun justru karena faktor tersebut, ia dapat menjadi petunjuk utama terhadap cara manusia hidup saat itu. Temuan perkakas batu paling awal berasal dari 2,5 juta tahun silam berupa perkakas yang berasal dari batu kali yang dipecah. Temuan pertama ini berasal dari jurang Olduvai, bagian utara Tanzania, Afrika. Hal ini menandakan berlangsungnya kegiatan teknologis manusia (Leakey, op. cit., hal. 15-16).

Meskipun temuan perkakas awal manusia sifatnya seperti kebetulan dan sangat sederhana, hal ini menjadi titik tolak bagi perubahan lebih lanjut. Ditemukannya temuan perkakas batu sekitar 1,4 juta tahun silam di situs St. Acheul menunjukkan seperti adanya kesengajaan dalam membuat bentuk perkakas. Salah satu contoh adalah perkakas berbentuk seperti airmata (teardrop-shaped tool) yang pembuatannya membutuhkan keterampilan tinggi. Temuan lain pada fosil tulang hewan dari situs berumur 1,5 juta tahun di Kenya bagian utara menunjukkan bahwa manusia telah menggunakan perkakas batu tajam untuk memungut daging bangkai hewan dengan cara melolosinya (Leakey, ibid., hal. 47-50). Hal ini menunjukkan bahwa perkakas telah memberikan pengaruh besar terhadap perolehan makanan yang kemudian memacu perkembangan otak sehingga manusia dapat menghasilkan teknologi yang lebih maju dan karenanya, kelak, mengubah hidup manusia (Engels, op. cit., hal. 233-247).

Rentang waktu yang panjang dari awal kemunculan manusia hingga ditemukannya perkakas menimbulkan pertanyaan pada kita, bagaimana kehidupan manusia selama rentang waktu itu? Kita dapat merujuk pada apa yang dikemukakan oleh antropolog mengenai cara hidup awal manusia: berburu dan mengumpulkan. Kunci penjelasan ini ada pada makanan. Selama belum diciptakan perkakas, manusia hanya mengandalkan kebaikan alam yang diperoleh melalui kedua tangannya. Tumbuhan adalah makanan yang relatif mudah didapat ketimbang daging yang harus diperoleh dengan cara membununuh atau menemukan bangkai makanan. Lagipula untuk mendapatkan daging, manusia harus menempuh cara berisiko berhadapan dengan binatang buruan atau pemangsa lain. Bisa dikatakan bahwa pada masa yang sangat lama ini pasokan gizi (terutama protein) yang didapat dari daging jumlahnya sedikit.

Meskipun asupan gizi dari daging selama masa tersebut relatif sedikit, namun hal tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan biologis manusia. Protein yang terdapat dalam daging adalah zat penting yang membantu perkembangan otak manusia. Daging kaya dengan kalori dan lemak yang dapat meningkatkan energi. Seperti yang dikemukakan oleh antropolog Robert Martin, ukuran otak hanya dapat meningkat apabila ada tambahan pasokan energi, yang banyak didapat dari daging. Secara biologis otak adalah organ yang memakan energi paling banyak (Leakey, op. cit, hal. 67).

Maka dari itu, asumsinya, dalam rentang waktu yang panjang manusia memunguti sisa-sisa bangkai hewan bekas pemangsa lain dan dari situ ia memperoleh asupan gizi yang bermanfaat bagi perkembangan otaknya (Engels, op. cit., hal. 239-240). Hal ini diperkuat oleh temuan perkakas paling awal, yang mana para antropolog meyakini bahwa di masa itu bertepatan dengan berkembangnya ukuran otak manusia. Kesimpulan ini didasarkan atas serangkaian penelitian yang menunjukkan bahwa kemampuan membuat perkakas membutuhkan koordinasi keterampilan motorik dan kognitif yang baik (Leakey, op. cit., hal 47-48).

Apa yang dapat kita tarik sebagai pelajaran dari perkakas ini adalah momen saat manusia mengerahkan segala upaya berdasarkan kemampuan yang ia miliki untuk bertahan hidup. Perkakas dilahirkan dari serangkaian kebetulan dan percobaan yang lambat laun dimodifikasi berdasarkan pengalaman. Paduan perkembangan organ otak dan dampak dari bhipedalisme yaitu kedua tangan yang bebas dan dapat digerakkan secara efisien memungkinkan manusia dapat membuat perkakas. Perkakas kemudian digunakan dari mulai melolosi daging bangkai, memecah tulang untuk mendapatkan sumsum, hingga berburu hewan. Manusia melakukan upaya berdasarkan kemampuannya tersebut. Segala upaya itu adalah rangkaian usaha bertahan hidup yang tanpanya manusia bisa punah. Upaya-upaya itulah yang kita maksud dengan kerja (Engels, op. cit.; Marx & Engels, op. cit.).

Namun kerja bukan berarti terjadi dalam taraf individu. Kerja membutuhkan syarat lain yaitu sosial (Marx & Engels, ibid.). Sebagaimana sebagian besar primata hidup secara sosial dan mengandalkan kerjasama kelompok, begitu juga halnya dengan manusia. Meski sudah menggunakan perkakas, tidak lantas manusia dapat bertahan hidup sendirian. Kegesitan manusia seringkali tidak sebanding dengan hewan buruannya, apalagi jika berhadapan dengan hewan yang berukuran besar dan kuat. Manusia bukanlah hewan yang dilengkapi—kemampuan—organ spesifik tangguh yang dapat diandalkan seperti halnya taring tajam dan kecepatan lari seekor cheetah atau kulit tebal dan gigitan mematikan seekor buaya. Fisik manusia yang lemah itu dapat diatasi dengan menggunakan taktik berburu dalam lingkup kelompok. Dengan berburu bersama, kemungkinan mendapatkan buruan jauh lebih besar daripada dilakukan sendirian. Bertolak dari hal tersebut, maka berbagai makanan merupakan hal yang sangat penting karena dengan itu keutuhan kelompok—keberlangsungan hidup—mereka tetap terjaga. Hal lain yang juga didapat dari hidup sosial ini adalah munculnya bahasa lisan. Bahasa lahir dari desakan proses evolusi pada rangka dan organ manusia terutama di seputar tenggorokan yang diiringi dengan cara hidup berburu-meramu dalam kelompok yang menuntut kelancaran komunikasi (Engels, op. cit., hal. 236-237; Leakey, op. cit., hal. 161).

Hubungan pengaruh-mempengaruhi antara manusia dan lingkungannya yang diperantarai kerja menimbulkan sesuatu yang sangat penting dalam menentukan hidup manusia: kesadaran diri dan akal budi. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kemampuan berbahasa dan kehidupan sosial. Interaksi sosial yang erat dan kegiatan yang subsisten yang mengandalkan kerjasama disertai asupan gizi yang potensial menjadi latar munculnya kesadaran pada masa 2,5 juta tahun silam. Masa ini bertepatan dengan perkembangan perkakas dan kemunculan genus Homo awal.

Kesadaran diri menjadi penting sebab melaluinya manusia mulai sadar akan kehidupan pada dirinya dan mulai mengubah alam demi kepentingannya (Leakey, ibid., hal. 184). Kemunculan hal ini adalah implikasi dari membesarnya volume otak. Ketika otak membesar, cara pengorganisasiannya juga ikut berubah. Otak genus Homo berukuran lebih besar daripada Australopithecus. Perbedaan ukuran itu disertai perbedaan dalam ukuran cuping frontal dan occipital. Menurut hasil penelitian Dean Falk, otak Australopithecus pada hakikatnya mirip kera dalam cara pengorganisasiannya. Sedangkan pada otak Homo purba, pengorganisasiannya mirip manusia saat ini (Leakey, ibid., hal. 192).

Hal yang paling menakjubkan dari otak adalah bagaimana ia menghasilkan persepsi atas apa yang dilihat—dunia. Manusia mempunyai persepsi sendiri atas dunia yang berbeda dengan hewan lain. Sepeti halnya kupu-kupu yang mampu menangkap sinar ultraviolet sedangkan manusia tidak. Para biolog, kini tidak lagi berpendapat bahwa hanya manusia saja yang memiliki kesadaran diri. Serangkaian penelitian menunjukkan bahwa hewan lain pun memiliki kesadaran diri pada tarafnya masing-masing. Karena itu, dunia yang kita lihat ini adalah persepsi yang dihasilkan kerja organ biologis otak kita khas manusia. Persepsi dunia dibentuk dari mutu aliran informasi yang masuk melalui indera ke dunia dalam diri dan bagaimana kemampuan dunia dalam itu—organ otak—mengolahnya (Leakey, Ibid., hal. 190).

Serpihan bukti yang dapat dijadikan penanda munculnya kesadaran diri adalah fosil ritual penguburan manusia pada masa sekitar 120.000 tahun silam. Dengan melakukan proses penguburan, berarti manusia telah sadar akan berakhirnya hidup—kematian. Manusia telah memiliki kesadaran terhadap dirinya, kesadaran akan keberadaannya. Inilah titik tolak yang berperan besar pada kehidupan manusia.[]



Jurnal Antropost #1

Tidak ada komentar:

Get Your TAROT Reading