Selamat Datang! | Welcome!

DALAM WAKTU YANG SEMAKIN MENDESAK UNTUK TRANSFORMASI MIMPI, DIMANA RUANG-RUANG HIDUP SUDAH SEDIKIT TERSISA UNTUK KAMI MENGKREASIKAN MIMPI. DIMANA RUANG-RUANG HIDUP BUKAN LAGI BEBAS BERBICARA TENTANG MIMPI SETIAP INDIVIDU, BEBAS MEMILIH JALAN BUDAYA-PERADABAN UNTUK SETIAP KOMUNI, NAMUN SUDAH PENUH DENGAN MIMPI-MIMPI MASSAL DAN JALAN HIDUP BUDAYA-PERADABAN MASSAL DALAM BINGKAI PERBUDAKAN MANUSIA.

IDEOLOGI, PEMERINTAHAN, PASAR, KORPORASI, STRUKTUR HIDUP DALAM SEJARAH TERCIPTA MASIH BELUM MAMPU MEMBEBASKAN MANUSIA DI ATAS ALAM YANG NETRAL INI, MAKA UPAYA-UPAYA UNTUK MENCIPTAKAN RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS ALAM INI ADALAH UPAYA PEMBEBASAN INDIVIDU MANUSIA.

INDIVIDU BUKANLAH APA YANG IA PAKAI, APA YANG IA KENDARAI, APA YANG IA PERCAYAI. INDIVIDU BUKANLAH SETIAP MASALAH-MASALAH YANG MELEKAT PADA DIRINYA, LABEL-LABEL YANG DIBERIKAN KELUARGA DAN LINGKUNGANNYA. INDIVIDU ADALAH ENERGI INDEPENDEN DALAM KETAKDEFINISIAN YANG MAMPU MEMBERIKAN API KEHIDUPAN KEPADA ALAM, DIMANA ENERGI TERSEBUT JUGA BERASAL DARI API KEHIDUPAN ALAM DAN INI DINAMAI DENGAN SPIRIT.

MAKA PEMBEBASAN SPIRIT AKAN MEMBEBASKAN DUNIA, ADALAH VITAL UNTUK MENGHANCURKAN RUANG-RUANG YANG MENDESAK. PERANG TERHADAP MANIPULASI INFORMASI, HARAPAN-HARAPAN PALSU, DAN SEGALA STRUKTUR YANG MELEMAHKAN INDIVIDU DAN MEMBANGUN KEMBALI RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS KEHANCURANNYA SAMBIL MEMELIHARA DAN MENGEMBANGKAN RUANG-RUANG BEBAS YANG SUDAH TERCIPTA.

SUDAH SAATNYA BEBASKAN SPIRITMU MAKA KAMU MEMBEBASKAN DUNIAMU! ANGKAT BERPERANG KARENA INI ADALAH MEDAN PERTEMPURAN & PERTARUNGAN SPIRITUALITAS!


FREE SPIRIT-FREE WORLD
AQUARIAN
aquarian.free@gmail.com

Kunjungi Pustaka Online Aquarian

QUOTES FOR LIFE TRANSFORMATION

Senin, 28 Juni 2010

NASIONALISASI, HARAPAN ATAU ILUSI?

Umumnya, mereka yang terlibat dalam gerakan radikal kontemporer menyetujui bahwa 'nasionalisasi' - pengambilalihan aset swasta oleh negara, adalah agenda strategis perjuangan melawan kapitalisme. Terdapat optimisme yang kuat di antara pengusung nasionalisasi, bahwa dengan mengambil alih kepemilikan asing yang menguasai sumberdaya alam dan industri, kesejahteraan dapat diraih di depan mata. Jika kelompok Kiri memandang nasionalisasi adalah jalan menuju sosialisme, maka bagi para nasionalis adalah proyek menuju kedaulatan nasional.
Di Indonesia, nasionalisasi bukan isu baru. Sejak tahun 1945, kampanye nasionalisasi sering mengemuka seiring atmosfer nasionalisme, bahkan dipraktekkan pada tahun 50an saat pemerintahan Soekarno membuat Program Benteng yang menyita dan mengambilalih aset-aset kolonial, atau renegosiasi dengan profit sharing 60:40.

Di tahun-tahun ini, isu nasionalisasi kembali diteriakkan salah satunya diinspirasi keberhasilan gelombang gerakan di Amerika Latin yang membangkang terhadap neoliberalisme.
Menurut hitung-hitungan kasar, jika Indonesia mampu mengikuti Bolivia dan Venezuela dengan mengusir korporasi asing dan mengelola sendiri sumberdaya alamnya, paling tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat. Sebagai ilustrasi, cadangan minyak Indonesia sekarang sekitar 4,7 miliar barel dan cadangan potensial 5,0 miliar. Bila cadangan terbukti dan 50% cadangan potensial diproduksi dengan asumsi harga minyak dipatok $ 150/barel maka Indonesia akan mendulang $ 1.000 miliar atau Rp. 10.000 triliun. Dan jika diasumsikan biaya investasi dan produksi atau renegosiasi sebesar 25%, maka masih ada Rp.7.500 triliun yang tersisa. Dapat dibayangkan betapa besar nilai komoditi minyak Indonesia. Apa yang mengemuka saat ini bukanlah tanpa sebab. Saat ini produksi minyak nasional mencapai 846.000 barel/hari, namun ironisnya hanya 159.000 barel/hari produksi Pertamina, sisanya 687.000 barel/hari atau sekitar 81,2% dikuasai korporasi multinasional.

Belum lagi sekitar belanja sektor migas sekitar Rp. 100 triliun didominasi jasa dan barang asing. Dalam dinamikanya, propaganda nasionalisasi sangat meminimalkan tinjauan khusus mengenai kapasitas dan kontrol proletariat atas produksi, dan terjebak pada fetisisme terhadap kekuatan negara dan ‘borjuasi progresif’ untuk membebaskan proletariat. Terpesona dengan apa yang berlangsung Amerika Latin lantas menjadikannya panduan absolut, salah satunya dengan menempatkan negara sebagai sesuatu yang sakral - tempat segala perubahan digantungkan. Hal ini sekaligus menegasikan peran historis proletariat dalam pengabolisian masyarakat berkelas.
Otomatisasi bahwa nasionalisasi akan membawa kesejahteraan atau menuju sosialisme dan kedaulatan nasional tersebut akan menimbulkan banyak keraguan jika menyebut deretan BUMN lalu mengkorelasikan keberpihakan ekonominya dengan kepentingan masyarakat secara luas. Tidak mungkin menyimpulkan Perhutani berpihak pada petani, karena Perhutani membunuh petani karena me-reclaiming tanah. Begitu pula PT. Perkebunan Nusantara yang di kalangan petani terkenal dengan reputasinya merampas lahan dan merepresi mereka. Sementara PERTAMINA merepresi pekerjanya yang menuntut hak dan transparansi manajemen, disaat bersamaan pekerja PT. TELKOM menolak keinginan manajemen meliberalisasi sektor telekomunikasi nasional. Hal tersebut memberikan kesimpulan bahwa perusahaan-perusahaan milik negara justru bisa menjadi oposisi bagi kepentingan publik.
Dari sini kita bisa melihat bahwa masalahnya tidak terletak pada siapa yang memiliki, asing atau domestik, swasta ataukah negara. Namun watak apa yang terkandung di baliknya. Dan watak sosial lahir dari relasi sosial yang eksis di dalamnya.

Dan pada akhirnya istilah asing juga kembali harus diperiksa, terkait dengan semakin kaburnya definisi maupun lenturnya operasional modal. Toh, kapital tidak lagi memiliki identitas asing dan domestik saat Medco, Bakri Group, atau Kalla Group sama jahatnya dengan Exxonmobil atau Freeport.

Oleh karenanya, iika kita masih (dan senantiasa) berfikir bahwa seluruh taktik dan strategi mesti terus menerus diperiksa secara kritis, maka pembacaan alternatif atas solusi-solusi tersebut tetap relevan dibutuhkan. Demi menghindari absolutisme dan menghancurkan dogmatisme, dan semenjak sebuah strategi mesti mendapatkan kritiknya terus menerus, untuk menjumpai sebuah 'garis tanpa titik balik', maka juga diperlukan penghancuran mitos-mitos yang menyelimutinya.

Hanya dengan itu kita bisa menilai apakah nasionalisasi adalah harapan bagi pekerja, atau hanya ilusi belaka.[]

Tidak ada komentar:

Get Your TAROT Reading