Selamat Datang! | Welcome!

DALAM WAKTU YANG SEMAKIN MENDESAK UNTUK TRANSFORMASI MIMPI, DIMANA RUANG-RUANG HIDUP SUDAH SEDIKIT TERSISA UNTUK KAMI MENGKREASIKAN MIMPI. DIMANA RUANG-RUANG HIDUP BUKAN LAGI BEBAS BERBICARA TENTANG MIMPI SETIAP INDIVIDU, BEBAS MEMILIH JALAN BUDAYA-PERADABAN UNTUK SETIAP KOMUNI, NAMUN SUDAH PENUH DENGAN MIMPI-MIMPI MASSAL DAN JALAN HIDUP BUDAYA-PERADABAN MASSAL DALAM BINGKAI PERBUDAKAN MANUSIA.

IDEOLOGI, PEMERINTAHAN, PASAR, KORPORASI, STRUKTUR HIDUP DALAM SEJARAH TERCIPTA MASIH BELUM MAMPU MEMBEBASKAN MANUSIA DI ATAS ALAM YANG NETRAL INI, MAKA UPAYA-UPAYA UNTUK MENCIPTAKAN RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS ALAM INI ADALAH UPAYA PEMBEBASAN INDIVIDU MANUSIA.

INDIVIDU BUKANLAH APA YANG IA PAKAI, APA YANG IA KENDARAI, APA YANG IA PERCAYAI. INDIVIDU BUKANLAH SETIAP MASALAH-MASALAH YANG MELEKAT PADA DIRINYA, LABEL-LABEL YANG DIBERIKAN KELUARGA DAN LINGKUNGANNYA. INDIVIDU ADALAH ENERGI INDEPENDEN DALAM KETAKDEFINISIAN YANG MAMPU MEMBERIKAN API KEHIDUPAN KEPADA ALAM, DIMANA ENERGI TERSEBUT JUGA BERASAL DARI API KEHIDUPAN ALAM DAN INI DINAMAI DENGAN SPIRIT.

MAKA PEMBEBASAN SPIRIT AKAN MEMBEBASKAN DUNIA, ADALAH VITAL UNTUK MENGHANCURKAN RUANG-RUANG YANG MENDESAK. PERANG TERHADAP MANIPULASI INFORMASI, HARAPAN-HARAPAN PALSU, DAN SEGALA STRUKTUR YANG MELEMAHKAN INDIVIDU DAN MEMBANGUN KEMBALI RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS KEHANCURANNYA SAMBIL MEMELIHARA DAN MENGEMBANGKAN RUANG-RUANG BEBAS YANG SUDAH TERCIPTA.

SUDAH SAATNYA BEBASKAN SPIRITMU MAKA KAMU MEMBEBASKAN DUNIAMU! ANGKAT BERPERANG KARENA INI ADALAH MEDAN PERTEMPURAN & PERTARUNGAN SPIRITUALITAS!


FREE SPIRIT-FREE WORLD
AQUARIAN
aquarian.free@gmail.com

Kunjungi Pustaka Online Aquarian

QUOTES FOR LIFE TRANSFORMATION

Kamis, 12 Maret 2009

RUU APP: FOBIA SEKSUAL PARA ULAMA DAN BIROKRAT ISLAM (Bag. I)

RUU APP: FOBIA SEKSUAL PARA ULAMA DAN BIROKRAT ISLAM (Bag. I)
Represi Seksual oleh Agama dan Pemberontakan Libido


Introduksi


RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), sebelum mencapai keputusan peresmiannya, kini telah mulai memakan korban. Belasan pengecer koran ditangkap karena menjual tabloid-tabloid dan media-media yang dianggap porno, sementara para pemimpin redaksi media tersebut hanya dikenai hukuman wajib lapor; dua orang perempuan yang berprofesi sebagai penari tarian tradisional, ditangkap karena meliuk-liukkan tubuhnya dan dianggap mengundang berahi. RUU ini juga akan mengkriminalkan semua perempuan yang sekedar berpakaian dengan pusar yang terlihat, ia juga akan menyerang siapa saja yang mengekspresikan afeksinya dengan berciuman. Pada hakekatnya, RUU ini, menurut para pendukungnya, akan mengurangi kehancuran moral bangsa Indonesia. Dengan menggunakan pasal-pasal yang multitafsir, sedikit demi sedikit ia mendekati titik final pengesahannya—tidak peduli seberapa banyak penentangnya—pada bulan Juni 2006.

Fenomena lain memperlihatkan bahwa pada akhirnya RUU APP ini mengarah pada tudingan bahwa hal ini adalah agenda politik tertentu, seperti yang dikatakan oleh Ayu Utami bahwa, "Keadilan tidak memiliki batas waktu, politik yang punya batas waktu." Bahkan lebih jauhnya lagi, RUU ini mau tidak mau dicurigai sebagai sebuah agenda politik para elit Islam semata—mengingat bahwa RUU ini dicetuskan pertama kalinya oleh wakil dari PKS, dan didukung di tataran akar rumput oleh para ulama termasuk oleh Aa Gym yang terkenal reaksioner itu, dan bahkan juga oleh teror FPI yang mengancam akan mensweeping siapa saja anggota DPR yang masih tidak setuju pada RUU ini serta yang berpotensi menggagalkan pengesahannya. Kecurigaan ini memang tidak berlebihan, semenjak MUI, selaku elit dan birokrat kediktatoran yang berkedok agama Islam, pada tahun 2005 lalu memfatwakan bahwa pluralisme adalah haram. Saat sebuah fatwa anti-pluralisme diputuskan, maka mutlak para pengikutnya akan memiliki nilai kebenaran yang tak dapat ditawar lagi: selain kebenaran yang mereka pegang, semua kebenaran lain adalah salah dan layak dihancurkan dengan cara apa pun. Tak akan ada lagi tersisa dialog.

Perda Anti-Pelacuran yang diluncurkan di kota Tangerang, bahkan bertindak lebih parah lagi dan mulai mengingatkan pada horor yang dialami oleh perempuan-perempuan di Afghanistan pada era kekuasaan Taliban. Sweeping dilakukan oleh polisi, untuk menangkapi perempuan-perempuan yang berada di luar rumah lewat pukul 7 malam—karena bagi mereka, semua perempuan yang masih berada di luar rumah dianggap pelacur. Korbannya, seorang ibu rumah tangga yang sedang minum teh botol di pinggir jalan, seorang istri yang hamil dua bulan dan sedang menunggu angkutan kota sepulangnya ia dari tempat kerja, seorang istri di kamar hotel yang sedang menunggu suaminya keluar membeli makan. Mengesampingkan semua fakta tersebut, Pemerintah Kota Tangerang mengaku bahwa polisi mereka tidak bertindak asal tangkap, dan selektif dalam memilih siapa yang harus ditangkap.

Di sana, di sini, berbicara tentang pornografi yang berarti berbicara tentang seks, seakan sebuah monster yang mengerikan yang harus dikikis dari dunia yang dianggap bermoral, setidaknya dari sudut pandang agama. Kini pertanyaannya, sehoror apakah seks itu? Mengapa ia selalu dituding sebagai sumber kehancuran kehidupan sebuah bangsa?


Latar Belakang Meletusnya Pemberontakan Libido

Para pendukung RUU APP selalu mengacu pada kenyataan bahwa seks telah menjadi sedemikian tak terkendali di tengah kehidupan masyarakat modern. Dan hal itu yang selalu didengung-dengungkan oleh para imam pengkotbah di masjid-masjid maupun media-media internal mereka. "Seks telah menjadi sangat menyimpang," demikian kata seorang imam di kala ceramah hari Jum’at di sebuah masjid Bandung, "dan sebelum segalanya terlambat dan terlalu merusak, kita harus segera menghentikan semua praktek penyimpangan itu." Maka, dengan kata lain, menurutnya, seks hanyalah sebuah aksi prokreasi alias sekedar untuk memperpanjang keturunan, dan semua aktifitas seksual yang memberi nilai lebih pada sisi kenikmatannya dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Berbicara mengenai penyimpangan, publik Indonesia lebih akrab dengan aktifitas seksual “tak biasa” yang dapat dirunut pada buku yang ditulis oleh seorang penderita voyeurisme, Jakarta Undercover, di mana dilaporkan olehnya bahwa di Jakarta praktik seks memang telah menjadi sedemikian “tak biasa”.

Tapi sebelum langsung mencap hal tersebut sebagai sebuah penyelewengan, ada baiknya kita melihat konsep yang dikemukakan oleh salah seorang penggiat Frankfurt School, Herbert Marcuse, bahwa pada kodratnya seksualitas adalah polymorphous perverse, penyimpangan yang beraneka ragam. Konsep Marcuse tentang seksualitas lahir seiring dengan analisa dan refleksinya tentang revolusi seks yang dicemaskan oleh para ulama Islam di Indonesia.

Abad pertengahan, agama berkaitan erat dengan politik. Sesuatu yang benar menurut politik dan dilegitimasi oleh agama, menjadikan politik itu sendiri sebagai sesuatu yang suci. Segala sesuatu diatur oleh aturan berdasarkan norma agama, termasuk seks. Seks ditentukan oleh kekuatan dan kekuasaan di luar individu, yang artinya seperti apa definisi seks, bagaimana praktik yang diperbolehkan, sejauh apa pemahaman tentangnya diterima, semua didikte keras oleh agama melalui instrumen politiknya. Dan tentu, seperti penyakit kronis yang dialami oleh banyak agama, dengan demikian pandangan soal seks dipersempit dengan hanya mendefinisikannya sebagai aktifitas reproduksi semata.

Situasi ini berubah dengan datangnya masyarakat borjuis. Ciri masyarakat borjuis adalah sikap mental yang mengarah pada efisiensi, penumpukan modal dan perluasan investasi yang kompetitif. Untuk meraih itu semua, diperlukan rasio yang kuat dan dingin. Maka, ciri lain masyarakat tersebut adalah juga rasionalitas. Segala sesuatu dikontrol oleh rasio, dan di bawahnya, seks yang dipersempit maknanya dan ditindas oleh masyarakat agama, kini dikontrol oleh rasio. Rasio mengatur bagaimana agar seks menjadi efektif, tidak hanya sebagai prokreasi, tapi juga untuk memajukan iklim kompetitif itu sendiri. Jelas, upaya ini tidak berhasil, mengingat bahwa seks adalah bagian dari hidup emosi dan afeksi manusia. Seks, tak bisa diatur dan ditundukkan oleh rasio, kecuali apabila semuanya dijalankan oleh represi. Maka, hal itu menjadi pilihan rasionalisme masyarakat borjuis, yang dengan dalih membebaskan seks dari represifitas agama, kembali merepresinya.

Akhir abad sembilan belas, situasi berubah drastis. Seksualitas manusia bangkit membebaskan diri dari represifitas yang dipraktekkan atas mereka selama berabad-abad. Dua orang teoris ternama hadir di garda depan pemberontakan ini, Sigmund Freud dan Herbert Marcuse.

Sigmund Freud dalam menghadapi represi seksual, tampak mendua. Satu sisi ia melakukan protes keras terhadap represi seksual, tapi di sisi lain ia begitu khawatir juga terhadap gelora dahsyat naluri seksual. Seperti pemikir borjuis lain, Freud yakin, bahwa peradaban manusia bisa dipertahankan hanya apabila ia mampu mengontrol naluri seksualnya. Bukan dengan cara merepresinya seperti yang dilakukan oleh para penguasa sebelumnya, tapi dengan mengarahkannya atau dengan kata lain, mensublimasikannya. Bukan represi libido, tapi manajemen libido.

Sementara Herbert Marcuse berpendapat bahwa peradaban modern dibangun di atas represi rasio atas spontanitas manusia. Spontanitas manusia ditindas agar masyarakat mampu menghasilkan lebih dan lebih, sesuai dengan prinsip hasil dan keuntungan dari masyarakat borjuis. Atas penindasan inilah, yang menurut Marcuse akhirnya meletupkan revolusi seksual di tahun 1960-an. Para aktifis revolusi seksual tahun 1960-an, yakin bahwa represi terhadap naluri seksual telah mengarah pada agresifitas yang tak tersalurkan secara seksual dan terepresentasikan melalui agresifitas fasisme dan perang, termasuk kekerasan harian yang melingkari peradaban manusia modern. Menurut mereka, apabila seks dibebaskan, maka ia juga akan membebaskan manusia dari kejahatan-kejahatan yang ditimbulkannya apabila ia direpresi. Maka, praktik seks mulai diumbar di mana-mana dan secara terang-terangan. Di manapun dan kapan pun. Melihat konteks ini maka konsep Marcuse menjadi jelas, bahwa seks adalah sebuah polymorphous perverse. Pertama, karena ragam praktik seksual mulai berlawanan dengan praktik seksual yang biasa; kedua, karena tak kenal batas itu pulalah sesungguhnya kodrat dan hakikat seksualitas manusia itu sendiri. Hanya dengan menuruti kodrat itulah maka manusia tidak hanya menjadi jujur dan otonom, tapi juga terbebas dari penindasan terhadap nalurinya.

Dengan memperhatikan apa yang terjadi di Indonesia, dari meluasnya industri pornografi terselubung hingga praktik seksual yang telah terjadi di kalangan anak-anak muda secara terbuka, masyarakat sedang berjalan menuju keterbukaan. Di bawah bendera keterbukaan, segala sesuatu dituntut menjadi otonom, sementara otonomi menolak dogma-dogma atau ideologi-ideologi yang bersifat mengikat. Dan itulah yang sangat ditakutkan oleh ulama-ulama Islam.

Tidak ada komentar:

Get Your TAROT Reading