Selamat Datang! | Welcome!

DALAM WAKTU YANG SEMAKIN MENDESAK UNTUK TRANSFORMASI MIMPI, DIMANA RUANG-RUANG HIDUP SUDAH SEDIKIT TERSISA UNTUK KAMI MENGKREASIKAN MIMPI. DIMANA RUANG-RUANG HIDUP BUKAN LAGI BEBAS BERBICARA TENTANG MIMPI SETIAP INDIVIDU, BEBAS MEMILIH JALAN BUDAYA-PERADABAN UNTUK SETIAP KOMUNI, NAMUN SUDAH PENUH DENGAN MIMPI-MIMPI MASSAL DAN JALAN HIDUP BUDAYA-PERADABAN MASSAL DALAM BINGKAI PERBUDAKAN MANUSIA.

IDEOLOGI, PEMERINTAHAN, PASAR, KORPORASI, STRUKTUR HIDUP DALAM SEJARAH TERCIPTA MASIH BELUM MAMPU MEMBEBASKAN MANUSIA DI ATAS ALAM YANG NETRAL INI, MAKA UPAYA-UPAYA UNTUK MENCIPTAKAN RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS ALAM INI ADALAH UPAYA PEMBEBASAN INDIVIDU MANUSIA.

INDIVIDU BUKANLAH APA YANG IA PAKAI, APA YANG IA KENDARAI, APA YANG IA PERCAYAI. INDIVIDU BUKANLAH SETIAP MASALAH-MASALAH YANG MELEKAT PADA DIRINYA, LABEL-LABEL YANG DIBERIKAN KELUARGA DAN LINGKUNGANNYA. INDIVIDU ADALAH ENERGI INDEPENDEN DALAM KETAKDEFINISIAN YANG MAMPU MEMBERIKAN API KEHIDUPAN KEPADA ALAM, DIMANA ENERGI TERSEBUT JUGA BERASAL DARI API KEHIDUPAN ALAM DAN INI DINAMAI DENGAN SPIRIT.

MAKA PEMBEBASAN SPIRIT AKAN MEMBEBASKAN DUNIA, ADALAH VITAL UNTUK MENGHANCURKAN RUANG-RUANG YANG MENDESAK. PERANG TERHADAP MANIPULASI INFORMASI, HARAPAN-HARAPAN PALSU, DAN SEGALA STRUKTUR YANG MELEMAHKAN INDIVIDU DAN MEMBANGUN KEMBALI RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS KEHANCURANNYA SAMBIL MEMELIHARA DAN MENGEMBANGKAN RUANG-RUANG BEBAS YANG SUDAH TERCIPTA.

SUDAH SAATNYA BEBASKAN SPIRITMU MAKA KAMU MEMBEBASKAN DUNIAMU! ANGKAT BERPERANG KARENA INI ADALAH MEDAN PERTEMPURAN & PERTARUNGAN SPIRITUALITAS!


FREE SPIRIT-FREE WORLD
AQUARIAN
aquarian.free@gmail.com

Kunjungi Pustaka Online Aquarian

QUOTES FOR LIFE TRANSFORMATION

Selasa, 23 Februari 2010

Peran Intelektual Dalam Rekayasa peradaban

SIAPA INTELEKTUAL ITU?

‘intelektual adalah orang-orang yang memiliki banyak perbedaharaan bahasa planet
sehingga masyarakat tak pernah mampu mengerti maksud dari kalimat-kalimatnya’
--ORANG SAKIT HATI—


Intelektual adalah kata yang sering digunakan untuk melabeli orang-orang yang lebih dibanding masyarakat pada umumnya. Kelebihan yang dimaksud adalah lebih cerdas, lebih pintar dan lebih luas wawasannya dan kelebihan kelebihan yang lain. Mungkin karena kelebihannya inilah sehingga orang yang meiliki label intelektual dipersepsi sebagai orang yang berperan besar dalam perubahan sejarah.

Seorang penjual obat ‘orientalisme’, Edwar W. Said pernah berteriak-teriak bahwa intelektual adalah pencipta sebuah bahasa kebenaran kepada penguasa, menjalankan kebenaran itu dan senantiasa bersifat oposisi terhadap penguasa dan tidak akomodatif. Lain lagi apa yang dikoar-koarkan oleh pedagang sayur “hegemoni’’ di pasar komunis Itali, Antonio Gramsci, menurutnya setiap orang itu intelektual, tetapi tidak semua orang menjalankan fungsi-fungsi intelektual tersebut. Gramsci membagi kangkung –maaf; intelektual maksudnya-- menjadi dua ikat, ikat pertama dinamainya intelektual tradisional dan intelektual organik.

Intelektual tradisional adalah para ilmuan yang menempatkan diri sebagai kelas tersendiri dalam piramida sosial --menempati kelas menengah-perkotaan—mereka memposisikan diri untuk tidak memihak pada kelas sosial tertentu, baik kelas penguasa ataupun kelas rakyat jelata. Mereka terdiri dari para dosen dan dan orang-orang yang mengklaim diri ilmuwan. Sayur seperti inilah menurut Gramsci yang tidak menjalankan kerja-kerja keintelektualannya. Bahkan kelompok ini cendrung menguntungkan kelas penguasa.

Intelektual organik adalah intelektual yang menyatu dan melibatkan diri secara utuh dalam kelas sosial tertentu, baik kelas penguasa ataupun kelas rakyat jelata. Namun, lebih lanjut pedagang ini mengatakan bahwa hanya yang melebur dalam kelas rakyat jelatalah yang bisa dikategorikan menjalankan fungsi-fungsi intelektualitasnya. Inilah intelektual organik itu. Sementara intelektual yang melebur diri kedalam kelas penguasa, tidak ada ubahnya dengan intelektual tradisional.

Lain kata Said, lain pula ujar Gramsci, tapi yang lebih aneh lagi adalah ungkapan-ungkapan Ali Syari’ati, pedagang yang suka menawarkan ‘ideologi kaum intelektual’ ini mengatakan bahwa intelektual adalah ‘rausyanfikr’ –nah loh, makin pusing kan?-- sepenggal kata persia yang dalam ejaan Inggris sering disebut intellectual. Mirip dengan sipenjual kangkung –Gramsci maksudnya—Syari’ati membedakan intelektual dengan ilmuan. Kalau ilmuan menemukan kenyataan, maka intelektual menemukan kebenaran –mirip juga dengan Said kan?.

Masih menurut Syari’ati, seorang intelektual tidaklah berbicara dalam bahasa universal, melainkan berbicara dalam bahasa yang bisa difahami oleh kaummya –buat orang sakit hati, tatian deh loh!. Dia tidak hanya memaparkan fakta dan realita, dia harus mampu memandu kaumnya untuk memberi penilaian atas fakta dan realita tersebut sehingga rausyanfikr, haram hukumnya bersifat netral, justru dia dituntut untuk mel;ibatkan diri secara ideologis.

Pikiran-pikiran bung Syari’ati dirangkum oleh agennya di Indonesia yang bernama Jalaluddin Rakhmat bahwa intelektual bukan hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana, juga bukan sekedar ilmuan yang mendalam upaya penalaran dan penelitian yang dilakukan dalam mengembangkan spesifikasi keilmuannya. Intelektual adalah mereka yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat difahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah.

Bagi Syari’ati, seorang intelektual haruslah memahami sejarah bangsanya dan sanggup melahirkan gagasan-gagasan analitis dan normatif yang cemerlang. Dia juga menambahkan pentingnya seorang intelektual –intelektual muslim maksudnya-- menguasai ajaran Islam. Nah, bila sudah sampai disini pembicaraannya, anda seharusnya menjadi lebih percaya diri, sebab HMI punya rumus tersendiri tentang intelektual versi Islam, ‘ulul albab’ namanya.

KEBUDAYAAN DAN PERADABAN

‘peradaban bukanlah apa-apa
peradaban hanyalah kuburan orang-orang terlindas’
--ORANG SAKIT HATI--


Berbicara tentang sesuatu adalah perdebatan tentang sudut pandang. Kenapa demikian? Karena setiap pendapat lahir dari sudut pandang, bila sudut pandang berbeda, maka berbedalah kesimpulan kita. Meskipun kita berbicara tentang satu obyek yang sama. Begitupun pembicaraan antara kebudayaan dan peradaban. Sebagian besar orang menganggap bahwa kedua hal ini berbeda. Kebudayaan didefenisikan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia, sementara itu, peradaban adalah capaian maksimal atau puncak dari sebuah kebudayaan.

Bagi saya yang suka menyederhanakan persoalan, kebudayaan dan peradaban bukanlah dua hal yang berbeda, melainkan dua hal yang bertali-temali, jalin-menjalin. Sebagai seorang pemulung intelektual saya hanya mengikut kata orang tentang hal ini. Menurut Raymond Williams, kebudayaan sekaligus meliputi seni, nilai, norma-norma, dan benda-benda simbolik dalam hidup sehari-hari, ia merupakan bagian dari totalitas relasi-relasi sosial. Dalam pandangan tetangga David Beckham ini, kebudayaan adalah sesuatu yang hidup dan bukan sesuatu yang terwariskan begitu saja.

Pendapatnya ini mirip dengan Ali Syari’ati –kalau ini masih ingat kan?-- bahwa kebudayaan dan peradaban adalah seluruh kekayaan material dan spiritual suatu ras atau masyarakat. Dari defenisi ini, maka peradaban bukan hanya berbicara tentang Cina-India, Yunani, Romawi, Islam dan Barat-Modern –peradaban universal, tapi juga memberi ruang pembicaraan bagi peradaban etnis seperti Bugis–maklum, aku ini orang bugis, Makassar, Kaili, Mandar, Kajang, dan yang lain.
Satu hal penting untuk dicatat –catat baik-baik-- bahwa setiap kebudayaan dan peradaban melibatkan manusia sebagai subyeknya. Sementara itu, berbicara tentang manusia, maka kita berbincang tentang pembawaan dan kesadarannya. Kesadaran manusia sangat beragam –menurut Syari’ati-- ada yang memiliki kesadaran politis, sosial, keteknikan, artistik, falsafiah dan sebagainya. Namun yang lebih tinggi dari itu semua adalah kesadaran diri –bahasa planetnya, self conciousness atau self awareness--sebagai kesadaran yang independen. Kesadaran diri ini dilabeli oleh Socrates dengan kata ‘sophia’. Sophia beda dengan kesadaran filosofis tapi lebih kepada kesadaran teosofi atau hikmah –ingat Q.S. 2 : 269.

Hikmah tidak dimiliki oleh para filosof, teknokrat, seniman atau birokrat, hikmah hanya dimiliki oleh ‘ulul albab’ atau para intelektual. Hanya orang-orang yang memiliki hikmahlah yang bisa menjadi subyek sejarah. Merekalah para khalifah yang mampu membangun kebudayaan dan peradaban yang manusiawi. Lihat peradaban Yunani yang dibangun oleh para filosof, romawi yang dibangun oleh para tentara profesional atau Mesir yang dibangun oleh para fir’aun –kali ini pendapat orang sahit hati agak benar ya?. Semua kebudayaan dan peradaban itu –kecuali peradaban madinah yang ditegakkan oleh seorang nabi yang ummi-- ditegakkan diatas tumpukan tulang-belulang manusia yang tak pernah dikenal. Begitulah, sejarah adalah biografi orang-orang besar menurut Thomas Carlyle.

INTELEKTUAL DAN REKAYASA PERADABAN

‘kalau kau mau merekayasa peradaban,
bersiaplah untuk tidak dimengerti atau berusahalah menjadi nabi’
--ORANG SAKIT HATI—


Dalam melakukan rekayasa sosial terhadap peradban masyarakatnya, seorang intelektual dituntut oleh seorang penuntut yang bernama Edwar A. Shils untuk menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakatnya; mendidik pemuda dalam tradisi dan keterampilan masyarakatnya; melancarkan dan membimbing pengalaman estetik dan keagamaan berbagai sektor masyarakat.

Teriakan yang lebih lantang telah diteriakkan oleh Ali Syari’ati dan digemakan oleh Jalaluddin Rahmat dalam kalimat berikut; ‘hai ulul albab, anda tidak boleh puas dengan ilmu-ilmu yang sudah anda miliki. Ilmu itu harus anda bawa ketengah-tengah ummat. Lanjutkan perjuangan para rasul. Hidupkan kesadaran diri pada masyarakat Islam untuk merubah dunia dengan bimbingan anda. Untuk melaksanakan tugas anda itu, anda tidak dapat belajar dari barat, tidak juga berguru ketimur, tetapi dengan memahami keyakinan dasar dan proses sejarah yang membentuk mereka. Pada akhirnya tuugas anda ialah merobohkan masyarakat yang berdasarkan penindasan dan kezaliman dengan membentuk ummat yang berdasarkan tauhid dan keadilan. Tugas itulah yang telah dilakukan para rasul sepanjang sejarah dan itu pula tugas anda kini.

Tentang langkah strategis apa yang harus diambil dan dari mana peran intelektual itu akan dimulai, itu menjadi tugas kita bersama untuk merumuskannya. Cukuplah garis besar penyampaian ini menjadi patron bahwa menjadi intelektual berarti menjadi orang yang melakukan pilihan dan tidak pernah netral dalam bersikap. Kita semua dituntut untuk menjadi komunitas cendekia yang santun, radikal dan kritis menurut Mansour Fakih, dimana komunitas itu tidak sekedar ‘memberi makna’ terhadap realitas sosial dan meratapinya, melainkan komunitas yang ikut menciptakan sejarah dengan membangun gerakan pemikiran dan kesadaran kritis unutk memberi makna masa depannya sendiri. Inilah para ulul albab.


Kasman Daeng Matutu
23 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Get Your TAROT Reading