Selamat Datang! | Welcome!

DALAM WAKTU YANG SEMAKIN MENDESAK UNTUK TRANSFORMASI MIMPI, DIMANA RUANG-RUANG HIDUP SUDAH SEDIKIT TERSISA UNTUK KAMI MENGKREASIKAN MIMPI. DIMANA RUANG-RUANG HIDUP BUKAN LAGI BEBAS BERBICARA TENTANG MIMPI SETIAP INDIVIDU, BEBAS MEMILIH JALAN BUDAYA-PERADABAN UNTUK SETIAP KOMUNI, NAMUN SUDAH PENUH DENGAN MIMPI-MIMPI MASSAL DAN JALAN HIDUP BUDAYA-PERADABAN MASSAL DALAM BINGKAI PERBUDAKAN MANUSIA.

IDEOLOGI, PEMERINTAHAN, PASAR, KORPORASI, STRUKTUR HIDUP DALAM SEJARAH TERCIPTA MASIH BELUM MAMPU MEMBEBASKAN MANUSIA DI ATAS ALAM YANG NETRAL INI, MAKA UPAYA-UPAYA UNTUK MENCIPTAKAN RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS ALAM INI ADALAH UPAYA PEMBEBASAN INDIVIDU MANUSIA.

INDIVIDU BUKANLAH APA YANG IA PAKAI, APA YANG IA KENDARAI, APA YANG IA PERCAYAI. INDIVIDU BUKANLAH SETIAP MASALAH-MASALAH YANG MELEKAT PADA DIRINYA, LABEL-LABEL YANG DIBERIKAN KELUARGA DAN LINGKUNGANNYA. INDIVIDU ADALAH ENERGI INDEPENDEN DALAM KETAKDEFINISIAN YANG MAMPU MEMBERIKAN API KEHIDUPAN KEPADA ALAM, DIMANA ENERGI TERSEBUT JUGA BERASAL DARI API KEHIDUPAN ALAM DAN INI DINAMAI DENGAN SPIRIT.

MAKA PEMBEBASAN SPIRIT AKAN MEMBEBASKAN DUNIA, ADALAH VITAL UNTUK MENGHANCURKAN RUANG-RUANG YANG MENDESAK. PERANG TERHADAP MANIPULASI INFORMASI, HARAPAN-HARAPAN PALSU, DAN SEGALA STRUKTUR YANG MELEMAHKAN INDIVIDU DAN MEMBANGUN KEMBALI RUANG-RUANG BEBAS DI ATAS KEHANCURANNYA SAMBIL MEMELIHARA DAN MENGEMBANGKAN RUANG-RUANG BEBAS YANG SUDAH TERCIPTA.

SUDAH SAATNYA BEBASKAN SPIRITMU MAKA KAMU MEMBEBASKAN DUNIAMU! ANGKAT BERPERANG KARENA INI ADALAH MEDAN PERTEMPURAN & PERTARUNGAN SPIRITUALITAS!


FREE SPIRIT-FREE WORLD
AQUARIAN
aquarian.free@gmail.com

Kunjungi Pustaka Online Aquarian

QUOTES FOR LIFE TRANSFORMATION

Rabu, 08 April 2009

Solidaritas Aksi Korban Kejahatan Korporasi (SAKSI): Jakarta Berteriak!

PENGGUSURAN: Atas Nama Ruang Terbuka Hijau? Atau untuk Membuka Keran Investasi?

Awal tahun 2008 ini Jakarta diwarnai dengan penggusuran. Mulai dari penggususran usaha kaki-5 hingga pemukiman miskin. Argumentasi pemerintah kali ini berkait dengan “kebutuhan” akan adanya ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta. Apabila bicara tentang ruang terbuka hijau, maka dapat dikatakan bahwa luas RTH di Jakarta saat ini belum sesuai dengan target sebagaimana diatur dalam RTRW 2010 dimana RTH ditargetkan sebesar 13.94% dari luas Jakarta atau sebesar 9.544 ha. Untuk “menutupi” angka tersebut maka Pemerintah Jakarta melakukan serangkaian kebijakan, salah satunya adalah penggususran, yang ditujukan utnutk mengembalikan kembali RTH tersebut.

Untuk tahun 2008, Dinas Pertamanan DKI Jakarta menargetkan penambahan RTH mencapai 4-5 hektare. Untuk penambahan RTH seluas itu, Dinas Pertamanan mengajukan anggaran pada Rancangan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) 2008 sebesar Rp 40 milyar. Dalam pernyataannya, Gubernur DKI Jakarta menyatakan bahwa pihaknya menggunakan beberapa pola untuk memenuhi target penambahan RTH. Pertama, mempertahankan RTH seperti taman atau lahan hijau yang sudah ada. Kedua, membeli lahan hijau milik warga, meski luasnya tidak seberapa. Selain dua langkah tersebut, pemerintah DKI Jakarta juga mengambil langkah lain yaitu penggusuran. Penggusuran dan juga pemukiman miskin, yang sering disebut sebagai PEMUKIMAN LIAR oleh Pemerintah.

Sebenarnya upaya penggusuran pemukiman miskin dan mengalihkannya sebagai taman kota sudah dimulai sejak akhir tahun lalu yaitu dengan penggusuran pemukiman miskin di sepanjang Kolong Tol mulai dari Tanjung Priok hingga Rawa Bebek untuk dialihkan fungsikan sebagai taman kota. Penggusuran tersebut telah menghancurkan kehidupan kurang lebih 10 ribu keluarga yang menghuni kolong tol. Solusi yang ditawarkan oleh pemerintah saat itu, relokasi ke rumah susun atau uang kerohiman sebesar 1 juta rupiah, dirasa tidak cukup bagi warga untuk memulai hidup kembali. Penggusuran dan tawaran yang diberikan oleh Pemda juga tidak mampu menyelesaikan masalah. Saat ini, fenomena yang ada adalah bahwa warga mulai kembali lagi ke daerah asalnya yaitu kolong tol. Relokai ke rumah susun Marunda, Cakung dan Muara Kapuk, apalagi uang kerohiman 1 juta rupiah tidak memberikan tawaran yang lebih baik berkait dengan kebutuhan warga untuk berada di pusat ekonomi. Satu-satunya alasan mengapa warga memilih bertempat tinggal di kolong tol, selain tidak ada tempat lain yang lebih terjangkau, adalah bahwa pusaran ekonomi berpusat di sekitar tempat tinggal mereka. Dengan berada di lokasi yang strategis tersebut, beragam pilihan mengais pendapatan lebih terlihat. Mulai dari membuka usaha warung/warung makan, menjadi bururh cuci, tukang ojek, usaha mulung/lapak, usaha palet, dll. Hal yang sama kemudian menarik kembali warga utuk menghuni wilayah yang dilihat oleh berbagai pihak sebagai wilayah yang tidak layak huni, yaitu kolong tol. Fenomena tersebut membuktikan bahwa pendekatan yang diambil oleh pemerintah belum tepat. Relokasi ke rumah susun yang jauh dari pusat ekonomi tidak memberikan perbaikan kehidupan kepada warga.

“Tumpahan” warga kolong tol yang menjadi korban gususran kemudian menempati lahan-lahan kosong di sekitar kolong tol salah satunya Papango, yang merupakan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemukiman baru ini juga kabarnya akan kembali digusur karena wilayah tersebut ditujukan untuk dibangun taman kota dengan logo Bersih, Manusiawi dan Berwibawa (Taman BMW). Pendekatan pemerintah inilah yang disayangkan. Ketika kebutuhan akan RTH dirasakan sebagai kebutuhan bersama, seiring dengan fenomena banjir besar yang menenggelamkan Jakarta tiap tahunnya, perspektif untuk melihat mana yang penting menjadi kabur. Kebutuhan akan adanya RTH mengalahkan kebutuhan dasar warga untuk bermukim. Untuk memiliki tempat tinggal.

Dalam master plan DKI 1965-1985, RTH masih 27,6 persen. Tahun 2000-2010, menurut RUTR, DKI hanya memproyeksi RTH 13 persen. Target RTH DKI pada tahun 2010 itu adalah 9.544 ha. Padahal realisasi tahun 2003 hanya 7.390 ha. Ini menunjukkan adanya eksploitasi besar-besaran terhadap RTH. Dari data tersebut terlihat bahwa ini terjadi pada tahun 1997 dan mengalami peningkatan tajam pada tahun 1999-2001. Contoh alih fungsi yang tampak kasat mata adalah pembangunan apartemen di wilayah Selatan Jakarta, serta hutan kota di Cibubur yang dijual untuk dikonversi menjadi kawasan pembelanjaan, dan juga kawasan komersial, RTH yang berwujud taman publik pun semakin berkurang jumlahnya. Seperti yang dinyatakan oleh perwakilan Dinas Pertamanan Jakarta bahwa sekitar 250 taman telah beralih fungsi, yang paling banyak beralih menjadi pom bensin.

Alih fungsi RTH menjadi bangunan-bangunan apartemen, mal, pom bensin, dan pembangunan kawasan komersial menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada para pemodal. Dengan alasan pembangunan, “warna” peruntukan lahan bisa diubah-ubah. Yang semula hijau bisa menjadi kuning atau bahkan pink. Alih fungsi lahan pun terjadi. Keistimewaan bagi pemodal terus difasilitasi oleh Pemerintah Daerah. Ketika banjir terjadi, Pemerintah Daerah justru mengalihkan sasaran tembak ke rakyat miskin kota yang bermukim di wilayah-wilayah yang dianggap ilegal oleh Pemerintah, seperti bantaran sungai dan kolong tol/jembatan, dan bukan kepada para pemodal yang dengan investasinya telah mengokupasi RTH diwilayah Jakarta.

Kacamata membedakan rakyat miskin dan pemodal yang melihat rakyat miskin sebagai hambatan investasi harus segera diubah. Melihat rakyat miskin sebagai warga yang berdaya merupakan investasi yang baik untuk waktu ke depan. Hingga detik ini, permasalah pemukiman miskin yang kerap dianggap pemerintah sebagai “perusak” keindahan kota dan ditakutkan akan menghambat investasi kerap disikapi dengan cara instan...yaitu MENGGUSUR!! Setiap tahunnya, jumlah uang yang terbilang besar dialokasikan dalam APBD untuk menggususr rakyat miskin. Untuk tahun 2008 saja, dana sebesar Rp 900 milyar dari total 20,7 triliyun dialokasikan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk membiayai “program” penggusuran terhadap rakyat miskin. Keberpihakan kepada pemodal diwujudkan dalam pos-pos alokasi dana APBD seperti:

1. Gususran untuk aluran dan waduk (Rp 610.650.000.000)
2. Gusuran untuk RTH (Rp 25.171.459.000)
3. Gususran untuk jalan dan jembatan (Rp 253.000.000.000)
4. Operasional Linmas, Trantib (Rp 11.469365.000)

Jumlah yang fantastis tersebut dapat dikatakan sebagai pemborosan, dan menghabiskan dana negara, karena pola penggususran tidak bisa menyelesaikan masalah. Penggususran hanya seperti memadamkan api dan tidak mematikan sumber api itu sendiri. Apabila pemerintah memang benar-benar berniat untuk memerangi kemiskinan, dan bukannya memerangi orang miskin, maka pemerintah harus segera mengubah perspektifnya terhadap orang miskin yang selama ini dianggap duri dalam proses pembangunan kota.

Apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Thailand dpat dijadikan contoh. Diformulasikan dalam bentuk kebijakan nasional, Pemerintah Thailand membuat program penyediaan rumah bagi 1 juta keluarga miskin dalam kurun waktu lima tahun yang dimulai dari tahun 2003 (dikenal sebagai Baan Mankong Program). Program yang terkesan ambisius tersebut hingga saat ini telah berhasil mengembangkan sekitar 80 komunitas. Keberhasilan program tersebut tidak terlepas dari perubahan pola pandang pemerintah terhadap rakyat miskin. Dalam program tersebut, pemerintah memberikan dana melalui lembaga (semi pemerintah) yang bernama CODI (Community Organization Development Institute). CODI kemudian menyalurkan dana tersebut langsung kepada warga. Dalam prosesnya, warga yang telah terorganisir dalam bentuk koperai mengajukan pengajuan pinjaman kepada CODI (biasanya untuk membeli lahan dan membangun rumah). Nantinya, uang yang telah dipinjam tersebut akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu (sekitar 15 tahun) melalui kelompok tabungan/koperasi yang telah dibentuk oleh warga. Peran CODI sebagai lembaga tidak hanya terbatas pada penyaluran dana tetapi juga dalam hal mengorganisir warga. CODI juga berperan mendampingi warga dalam meloby pemilik tanah untuk menjual/menyewakan tanah yang ditempati warga dimana sebagian besar tanah yang disewa warga dalam bentuk leasing 15-30 tahun aalah tanah milik pemerintah seperti departemen keuangan, tanah milik pelabuhan, dll.

Prinsip utama yang terkandung dalam program ini adalah kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah terhadap rakyat miskin. Di sini pemerintah Thailand telah mengubah cara pandangnya terhadap rakyat miskin dimana rakyat miskin dilihat sebagai rakyat yang berdaya. Hal penting lainnya adalah diakuinya hakdasar warga untuk memiliki tempat tinggal yang layak. Pada prosesnya, program ini dimulai dari CODI yang melakukan pemetaan atas semua pemukiman miskin di Tahiland, terutama Bangkok. Dari pemetaan tersebut, CODI kemudian mengorganisir warga dimana warga kemudian didorong untuk membentuk kelompok tabungan yang kemudian diformalkan menjadi koperasi (1 koperasi terdiri dari 5-10 kelompok tabungan).

Dalam proses berorganisasi tersebut, warga mengidentifikasikan permasalahannya yang utama yaitu hak atas tempat tinggal. Secara bersama, warga merumuskan strategi bagaimana mendorong terpenuhinya hak tersebut. Warga kemudian meloby pemilik tanah untuk memberikan sewa jangka panjang atas tanah. Warga lalu mengajukan pinjaman kepada CODI untuk membayar sewa dan membangun rumah (penataan komunitas). Ketika lingkungan dimana warga bermukim akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur, warga tidak akan serta merta digusur. Disini pemerintah memberikan kesempatan pada warga untuk memilih lokasi yang tepat untuk direlokasi, biasanya berjarak 1-5 km dari tempat asal. Proses yang sama pun berulang kembali yaitu meloby pemilik tanah, membeli atau menyewa tanah dan membangun rumah.

Bukti nyata dari keberhasilan program tersebut adalah membaiknya kondisi hidup warga. Ketika rakyat miskin punya rasa aman untuk bertempat tinggal, maka rakyat miskin bisa berfokus pada hal lain seperti meningkatkan kesejahteraan, perbaikan lingkungan, dll.

Hal yang sama bisa dilakukan di Indonesia, khususnya Jakarta. Dana besar yang dialokasikan untuk menggususr pemukiman miskin bisa dialihkan untuk rakyat miskin membangun komunitasnya dan memperoleh rasa aman untuk bertempat tinggal. Kampung miskin yang telah tertata pada akhirnya merupakan investasi yang tepat. Dengan bermodalkan kepercayaan dan perubahan pola pandang terhadap rakyat miskin kota maka permasalahan kota dapat diselesaikan. Jumlah pemukiman miskin berkurang, kemiskinan terperangi dan rakyat menjadi meningkat kesejahteraannya.


Dian Tri Irawaty
31 Januari 2008

Tidak ada komentar:

Get Your TAROT Reading